Home » » Daya Memahamkan

Daya Memahamkan

Written By Agus M. Irkham on 11 Mar 2012 | 17:21


:: agus m. Irkham

Tibalah saatnya saya pada bagian akhir dari tulisan tentang syarat suatu tulisan yang baik. Setelah daya ketuk, dan daya isi, berikutnya adalah daya memahamkan. Salah satu pernyakit kita—kalau boleh mengkita-kan saya—saat menulis selalu dibarengi dengan semangat memberi tahu. Memposisikan diri kitalah yang paling tahu, saat menulis adalah saat memberi tahu. Akibatnya kita pun jadi terbebani. Tidak bisa lepas. Karena yang kemudian berlangsung adalah kekuatiran dan ketakutan kalau-kalau tulisan kita membuat bingung pembaca. Akibat paling fatal, jadi urung menulis. Kalau pun jadi, tulisan itu jadi sangat teknis, rumit, melingkar-lingkar, dan membuat kening banyak pembaca berkerut.

Contoh paling dekat tulisan atau buku yang ditulis dengan semangat memberi tahu adalah buku-buku teks kuliah yang mayoritas ditulis oleh para dosen. Karena yang menulis dosen, dan buku itu diperuntukan buat mahasiswa—dengan demikian sebelum buku tersebut ditulis sudah terjadi relasi yang mensubordinat—tingkat pemahaman, pengetahuan, dan kematangan intelektual mahasiswa dianggap pasti di bawah dosen, akhirnya terjadi otoritarisasi kebenaran oleh si penulis. Itu sebab, hampir tidak ada buku teks kuliah yang menyisakan, alih-alih mengundang para pembacanya (mahasiswa) untuk memberikan kritik, saran, dan negasi atas buku tersebut.

Maka dapat ditebak buku-buku yang ditulis dengan semangat memberi tahu tidak akan mengajak para pembacanya berbicara. Buku tidak lagi ditempatkan sebagai ruang dialog. Tapi khutbah (jumat) semata.

Saya pun perlu berjuang saat menulis catatan ini. Karena menulis sesuatu yang bersifat how to, sering kali memunculkan godaan besar untuk menempatkan saya seolah-olah yang paling tahu. Maka saya lebih menempatkan tulisan ini sekadar sharing saja. Artinya para pembaca memiliki kebebasan untuk melakukan dekontektualisasi teks. Bentuk luarannya bisa mengafirmasi, atau bahkan menegasi tulisan ini.

Pertanyaan pentingnya, lantas tulisan seperti apa yang memiliki daya memahamkan itu.
Pertama, penulis harus mengetahui siapa yang akan menjadi “market” atau calon pembaca tulisannya. Dengan mengetahui karakteristik calon pembaca, ia bisa memperkirakan kemampuan mamah kertas (memahami dan mencerna kata dan bahasa) irisan terbesar pembaca.

Kedua, hindari penggunaan bahasa asing. Jika tidak bisa hindari, seperlunya saja. Itu pun digunakan karena sulit menemukan padanannya dalam bahasa Indonesia.
Ketiga, penulisan istilah-isitilah baru harus disertai pula dengan pengertian atau definisi dari istilah tersebut. Jika dalam bentuk buku di awal-awal halaman sebelum masuk ke isi buku bisa disertakan terlebih dahulu daftar istilah (glosarium).

Keempat, don’t tell, but show it. Jangan katakan tapi tunjukkan. Menulis untuk mata dan imajinasi. Bukan semata-mata untuk otak (pikiran). Caranya? Ini saya pinjam dari teknis menulis fiksi. Untuk mengatakan hari sudah pagi. Anda jangan hanya menulis “hari telah pagi” tapi bisa dengan “udara dingin menembus dinding papan kamarku. Secepat kilat kutarik selimut melanjutkan mimpi indahku yang terputus. Urung. Sayup-sayup terdengar di telingaku, suara azan mengingatkan bahwa sholat lebih mulia ketimbang tidur.”

Kalau dalam penulisan non fiksi berarti harus menghadirkan data konkrit (kuantitatif). “Inflasi di Jawa Tengah bulan Februari 2012 lalu sangat tinggi.” Tapi jika dibandingkan dengan satu bulan sebelumnya kalah tinggi.” Ada dua penggunaan kata tinggi. Tapi para pembaca tidak bisa membayangkan sebenarnya yang dimaksudkan tinggi oleh penulisnya itu berapa persen. Maka kalimat tersebut akan memahamkan para pembaca jika ganti menjadi: “Inflasi di Jawa Tengah bulan Februari 2012 lalu mencapai 10 persen. Lebih rendah dibandingkan sebulan sebelumnya yang mencapai 15 persen.

Tentang tulisan yang memahamkan ini, Allah telah memberikan contoh kepada kita. Coba tengok isi kitab suci Al-Quran yang menceritakan tentang surga dan neraka. Allah tidak mengatakan—ini contoh saja dari saya--Orang yang beribadah, lantaran didasarkan melulu rasa cinta dan penghambaan akan mendapat surga.” Titik. Tidak begitu.

Oleh Allah surga itu dideskripsikan begitu sangat jelas, seolah-olah sedang hadir di depan mata kita. Misalnya dengan kalimat penjelas: Di bawahnya mengalir sungai-sungai. Mereka duduk bertelekan. Pohon-pohon penuh buah-buahan yang bisa dijangkau langsung oleh tangan. Para pelayannya adalah anak-anak yang umurnya seragam hilir mudik memberikan pelayanan pada para ahli surga.

Bahkan dari soal minuman, makanan, cara saling sapa para ahli surga, juga dijelaskan oleh sedemikian detailnya. Hingga begitu kita selesai membaca ayat yang menceritakan tentang surga ini, tanpa kita sadari mata kita menggenang, dan pelan-pelan turun meniti pipi dan hidung kita. Tangis kerinduan yang mendalam terhadap surga. Pun saat Allah menjelaskan tentang neraka dan para ahli neraka.
Atas dasar deskripsi di atas, tentu akan menjadi sebuah sikap tidak terpuji, jika saat menulis bukan pemahaman yang didapat para pembaca. Sebaliknya, membingungkan dan memusingkan kepala. Karena dengan begitu, berarti kita telah menegasi contoh yang telah diajarkan Allah melalui kitab suci-Nya. WaAllahu’alam bi showab.

Gringsing, Batang
Senin ba’da subuh 12/3/2012
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger