Home » » Gairah Literasi Kota Semarang

Gairah Literasi Kota Semarang

Written By Agus M. Irkham on 18 Apr 2009 | 06:10



: agus m. irkham

Semarang, membaca, menulis. Dulu ketika akhir tahun 90-an, tiga lema itu sangat sulit dijejerkan. Sujiwo Tejo, Ayu Utami, Eep Saefullah Fatah, Ayu Utami, adalah sedikit nama yang turut menjadi saksi betapa budaya baca tulis di Semarang mengalami kemandekan.

Padahal Semarang, di Era tahun 20-an dikenal sebagai kota paling dinamis. Baik dari sisi pergerakan politik, maupun segi kebudayaan. Khususnya literasi atau keberaksaraan. Dua asnad yang paling menonjol adalah keberadaan penerbit dan surat kabar. Di akhir tahun 1926 terdapat empat usaha penerbitan. Sinar Hindia, Soera Ra’jat, Si Tetap, dan Barisan Moeda. Sedangkan surat kabar, paling kurang ada lima, satu berbahasa Indonesia, dua berbahasa Belanda, dan dua berbahasa Tionghoa. (P. Swantoro dkk., 2002).

Nah, jejujur waktu zaman rupa-rupanya berulang. Tiga tahun terakhir ini, gairah literasi kian menghangat. Beberapa yang dapat saya jadikan ukuran yaitu pertama, keberadaan toko buku. Sedikitnya ada 8 toko buku yang tergolong besar. Ada toko buku Trubus di jalan pamularsih, Gunung Agung di Citra Land – Simpang Lima, Merbabu di jalan pandanaran dan Matahari Simpang Lima, Toha Putra di Kauman, Aneka Ilmu di Johar, dan Gramedia di jalan pandanaran dan Java Mall. Semuanya ramai, dan laku.

Kedua, gairah keberaksaraan di kota Semarang juga dapat ditilik dari bernekarannya usaha penerbitan, yang mayoritas adalah pemain baru. Sekadar menyebut contoh, penerbit Karya Toha Putra, Wildan Pustaka Salam, Pustaka Rizki Putra, Dahara Prize, Bening Publishing, dan Basmala.

Ketiga, maraknya berbagai pelatihan penulisan. Dari cerpen, artikel, novel,
Karya ilmiah, hingga skenario film. Inisiatif datang tidak saja dari dalam kampus, tapi juga di luar kampus. Dalam catatan saya ketika menjadi pemateri, rerata 29 hingga 50 peserta tiap pelatihannya. Bahkan di akhir september lalu, ketika saya ngisi di kampus teknik kimia Undip, peserta pelatihan mendekati angka seratus.

Itu sebuah pertanda bahwa Warga Kota Semarang yang sebelumnya hanya menjadi penonton (pembaca) dalam lalu lintas wacana, kini tergerak beralih posisi menjadi produsen gagasan, pemikiran, dan wacana. Tidak didominasi oleh wacana yang dilontarkan para penulis di Yogya, Jakarta, Bandung atau kota-kota lainnya.

Keempat, gairah keberaksaraan juga dapat ditengok melalui acara perbukuan. Toko buku sebagai gerai wisata adab, kini tidak hanya jualan, tapi juga menggelar acara perbukuan. Misalnya peluncuran buku, temu penulis dan bincang buku. Pameran buku yang sebelumnya, setahun sekali saja belum tentu, sekarang minimal dua kali digelar. Itu belum termasuk pameran yang diprakarsai oleh masyarakat kampus.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger