Home » » Pesan Kartini Satu Abad Lalu

Pesan Kartini Satu Abad Lalu

Written By Agus M. Irkham on 22 Apr 2009 | 00:08



: agus m. irkham

Pahlawan nasional perempuan tidak hanya Kartini. Ada Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Dewi Sartika, Martha Khristina Tiyahahu, dan masih banyak lagi. Tapi mengapa yang sering disebut Kartini semata? Kartini menjadi ikon perjuangan perempuan. Bahkan menjadi kata ganti perempuan itu sendiri. Padahal masa lahir-matinya demikian pendek, hanya 25 tahun. Itu pun sebagian besar dihabiskan di dalam tembok istana kabupaten Jepara dan Rembang. Hidup kartini pun diliputi kelimpahan. Tidak ada leleran keringat tenat apalagi ceceran darah luka senjata.

Satu-satunya jejak perjuangan kartini ”hanya” tumpukan kertas surat untuk para temannya, terutama orang-orang Belanda. Surat yang ia tulis sejak usia 20 hingga 25 tahun, yang kemudian dibukukan oleh Mr. J.H. Abendanon pada tahun 1911 (tujuh tahun setelah Kartini meninggal) dan diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis Tot Licht)—judul yang lebih terasa sebagai bagian dari politik etis kolonialis Belanda saat itu.

Hanya ada satu jalan buat kita, agar bisa memahami kedirian Kartini dalam posisinya sebagai perempuan pejuang—yang membuatnya beda dengan perempuan pejuang lainnya, dalam pengertian saling melengkapi (komplementer), bukan menegasi (subsitusi). Yaitu dengan mendaras surat-suratnya. Mendaras tidak saja memahami isi surat itu semata, tapi juga berupaya memasuki suasana batin penulisnya, sambil membayangkan situasi yang berlaku saat itu, dalam konteks menulis sebagai pilihan cara berjuang.

Melalui buku Surat-surat Kartini—Renungan Tentang dan untuk Bangsanya, yang disulih bahasakan oleh Sulastin Sutrisno (Djambatan, 1979), kita bisa memulai perjalanan menziarahi Kartini.

Menziarahi Kartini
Kartini terlahir dari rahim istri kedua Bupati Jepara, R.M.A.A. Sosroningrat pada 21 April 1879. Pada masa kanak-kanak Kartini berkesempatan mengenyam pendidikan dasar. Sesuatu yang tidak lazim kala itu. Disebabkan oleh suatu keyakinan bahwa anak perempuan tidak memerlukan kepandaian apa pun di dalam hidupnya. Hanya saja ketika berumur 12 tahun, saat Kartini berniat melanjutkan studi ke HBS Semarang, ia mendapatkan kata ”tidak” dari ayahnya. Sejak saat itu ia dipingit.

Sebagai kompensasi, ayahnya membebaskan kartini melahap beragam bacaan. Mulai dari buku, majalah, sampai surat kabar. Termasuk tulisan Multatuli (Max Havelaar). Bahkan melanggankan De Hollandse Lelie . Majalah wanita berbahasa Belanda yang saat itu sangat terkenal lantaran banyak menyajikan kajian sosial dan sastra di setiap edisinya.

Melalui bacaan itulah Kartini melihat dunia luar. Mata batinnya semakin awas. Sensitivitas kemanusiaannya terhadap keterbelakangan bangsa dan kaumnya kian mengental. Sambil membaca, tak lupa ia mengikatnya. Tidak hanya dalam bentuk catatan-catatan yang sifatnya pribadi, tapi juga dalam bentuk puisi dan artikel utuh! Dalam suratnya yang ditujukan kepada E.H. Zeehandelaar (6/11/1899) Kartini menulis:

”Saya mengirim kepadamu karangan Bijdragen Koninklijk Instituut untuk Ilmu Bumi, Bahasa dan Bangsa-Bangsa di Hindia Belanda. Karangan itu saya tulis kira-kira empat tahun lalu...karangan batik membatik, yang saya tulis tahun yang lalu untuk Pameran Karya Wanita, yang beritanya tidak pernah lagi saya dengar, dimuat dalam karya standar (buku) mengenai batik-membatik, yang akan segera terbit.”

Di suratnya yang lain, Kartini pernah menulis ”Rampaslah semua harta benda saya, asal jangan pena saya.” Ungkapan yang di dalamnya mengisyaratkan adanya pertalian yang kuat antara membaca dan menulis sebagai bagian dari upaya meningkatkan harkat diri, kualitas hidup, serta mempertahankan optimisme hidup. Bahkan hidup itu sendiri.

“Walaupun saya tidak beruntung sampai kepada ujung jalan itu, walaupun saya akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Jalan sudah terbuka dan saya telah merintis jalan menuju ke kebebasan dan kemerdekaan (perempuan) Bumiputera.” Tulis kartini di surat yang ia tujukan kepada Abendanon.

Kartini telah mendapati dirinya sebagai bukti nyata bahwa membaca bukanlah bagian terpisah dari menulis. Keduanya merupakan bagian yang memungkinkan perkembangan penalaran individual, pemikiran kritis yang independen, pembangkitan kepekaan terhadap kemanusiaan. Sistem nilai yang diyakini juga oleh generasi sesudahnya, satu abad kemudian.

Aktualitas pesan Kartini
Pesan Kartini di sebagian besar surat-suratnya yang berjumlah 119 itu (dalam setahun ia menulis paling kurang 24 surat) adalah betapa pentingnya keberaksaraan perempuan (kemampuan membaca dan menulis). Dan kemampuan itu dapat diperoleh, salah satunya adalah melalui pendidikan (sekolah). Dengan kata lain, tujuan meningkatkan kualitas hidup perempuan, berada dalam satu tarikan nafas dengan upaya membuka akses yang selebar-lebarnya pada perempuan agar mereka bisa mencecap bangku pendidikan.

Sebuah isu yang tetap aktual, meski Kartini telah tiada, lebih dari satu abad lalu. Aktual dalam pengertian, apa yang dicita-citakan Kartini belum sepenuhnya terwujud.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger