Home » » Heboh Sastra Islami dalam Perspektif Komunitas dan Industri Perbukuan

Heboh Sastra Islami dalam Perspektif Komunitas dan Industri Perbukuan

Written By Agus M. Irkham on 22 Apr 2009 | 00:57




: agus m. irkham

Dirakit sebagai pengantar diskusi “Setelah Heboh Sastra Islami”, yang diprakarsai Lembaga Penerbitan Mahasiswa Hayam Wuruk, Fakultas Sastra Undip, Semarang. Gedung Prof. Ir. Soenardi, Senin, 27 April 2009 jam 13.00 wib – selesai.

Berbicara tentang heboh sastra islami, kita akan dihadapkan pada dua bentuk pemantik kehebohan. Pertama, kehebohan yang dipicu oleh karya sastra yang menghadirkan (praktik) islam sebagai pegangan yang belum selesai. Banyak kontradiksi, oleh karenanya harus didekonstruksi. Spasi interpretasi yang selanjutnya menumbuhsuburkan kontroversi. Kontroversi ini yang memproduksi kehebohan.

Karya sastra demikian, biasanya karya invidual, bukan komunal. Bukan pesanan pasar, melalui penerbit, tapi merupakan karya “idealis”. Dan tak jarang penerbitnya tergolong ”teman sendiri”. Meskipun heboh, penjualan karya sastra islami jenis ini tidak terlalu tinggi. Paling banter hanya sampai pada cetakan ke-3. Karena membeli dinilai sama dengan menyetujui isi karya—yang seringkali secara sosial justru mengudang rasa tidak aman. Hal yang sama kemungkinan besar juga dirasakan media dan penerbit. Oleh karenanya karya sastra islami kontroversial tidak mampu menjadi trend setter tema buku.

Sebagaimana umur kehebohannya yang pendek, orbitnya pun tidak terlalu luas. Biasanya hanya terbatas pada kolompok-kelompok tertentu (terbatas dan tertutup). Misalnya komunitas pembaca sastra, kelompok pengajian (halaqoh), atau gerakan keagamaan (haroki). Jumlah orang yang hebohpun tidak identik dengan jumlah pembaca, alih-alih serapan pasar (pembeli). Termasuk ke dalam jenis ini adalah, novel Kabar Buruk dari Langit; Tuhan Ijinkan Aku Jadi Pelacur; Adam – Hawa; dan Perempuan Berkalung Surban.

Islam siap telan
Kedua, kehebohan yang dipantik oleh karya sastra yang menghidangkan (praktik) islam sebagai sajian yang siap telan. Tanpa perlu lagi mengunyahnya. Menempatkan karya sastra sebagai media mengafirmasi konsep-konsep islam.

Meneroka kehebohan jenis ini, ”dosa besar” bagi saya jika tidak menyebut komunitas penulis bernama Forum Lingkar Pena (FLP). Forum ini lahir tahun 1997. Namun baru tahun 2002, karya-karya anggota FLP (mayoritas cerpen dan novel islami) di terima (baca: dibeli) publik pembaca secara luas.

”Saat itu begitu mudahnya menerbitkan buku,” aku salah satu eksponen FLP yang tidak mau disebut namanya. ”Banyak penerbit baru bermunculan, dan langsung mengikatkan diri ke FLP, menjadi penerbit yang hanya menerbitkan karya-karya anggota FLP,” tambahnya. Pada gelombang pertama kejayaan inilah, kehebohan sastra islami lebih ditentukan oleh pengarang, dan penerbit.
Hingga tidak berlebihan jika ada yang mengatakan: industri perbukuan Indonesia berhutang besar pada (pengarang-pengarang) FLP. Bagaimana dengan media? Media belum menempatkan FLP (karya dan eksponennya) sebagai pemantik liputan yang memiliki nilai berita tinggi. Itu sebab barangkali, meskipun kue pembaca sastra islami terbukti besar, hanya segelintir penulis non FLP yang turut meramaikan. Demikian pula toko buku. Meskipun kuantitas karya sastra islami dari FLP terus menggelontor, maqom-nya dinilai masih rendah. Terbukti display atau penempatannya masih terpisah dengan rak buku berisi karya sastra mainstream.

Gelombang pertama kejayaan karya sastra islami FLP berjalan tidak lama. Memasuki tahun 2004. Serapan pasar karya fiksi islami turun drastis. Apa pasal? Di satu sisi FLP dipaksa menelurkan karya dengan jumlah melampaui dari yang semestinya dihasilkan—tidak ada waktu belajar dan berproses secara intens— karya anggota FLP jadi sangat homogen. Mereka menghasilkan karya yang gampang ditebak. Tidak hanya isi tapi juga kemasan.

Misalnya kover depan yang dapat dipastikan berisi ilustrasi perempuan berjilbab. Pada umumnya buku kumpulan cerpen. Baik sendiri maupun antologi. Kalaupun ada novel, di lihat dari sisi ketebalannya masih sedikit yang layak koleksi. Umumnya tipis. Di segi lain, ternyata para pembaca karya-karya FLP adalah pembaca yang belajar. Tingkat kebutuhan kualitas bacaan sastra mereka meningkat. Sementara penambahan pasar baru tidak sebesar jumlah pasar lama.

Menyadari adanya pergeseran preferensi pembaca sastra islami yang demikian, oleh FLP bukannya dijawab dengan semakin serius menggarap karya fiksi islami, tapi justru menggeser pusat perhatiannya ke karya non fiksi dalam bingkai ”islam formal”. Boleh dikatakan memasuki tahun 2004 hingga bulan November di tahun yang sama, sastra islami mengalami kematian (suri).

Sampai akhirnya ”diselamatkan” oleh munculnya novel Ayat-Ayat Cinta pada Desember 2004. A2C meledak! Selama tahun 2005 mengalami cetak ulang sembilan kali! Dan terus cetak ulang (per Maret 2008 cet. XXXIII).

Kesuksesan A2C memicu kemerebakan karya-karya sejenis (2005 - 2007) yang dapat dicandra dari pertandaan yang ada: masjid, gurun Mesir, perempuan bercadar, El, dan cinta . Sekadar menyebut contoh: Lafaz Cinta, Makrifat Cinta, Bait-Bait Cinta, Dzikir-Dzikir Cinta, Sabda-Sabda Cinta, Syahadat Cinta, dan Kasidah-Kasidah Cinta. Dari berderet judul itu, beberapa di antaranya ada yang bestseller. Bahkan ada yang diangkat ke layar lebar.

Meledaknya A2C dan banyaknya novel yang membuntutinya, memunculkan dua pertanyaan penting. Pertama, apakah kecenderungan demikian dapat dibaca sebagai bentuk bangkitnya kembali sastra islami? Bangkit dari keterpurukan di gelombang pertama kejayaan? Artinya dalam perspektif komunitas, para anggota FLP mau belajar dari “kesalahan” masa lalu? Ada upaya memindah kesuksesan individual dan tanpa sengaja yang dicapai A2C menjadi kesuksesan yang komunal dan disengaja?

Kedua, serapan pasar yang sedemikian luas dan dalam atas A2C dan karya sastra islami pengekor apakah dapat disamaartikan dengan sudah diterimanya sastra dakwah sebagai salah satu gagrak karya sastra oleh masyarakat luas?

Kebangkitan sastra islami?

Karya sastra islami bangkit kembali. Benar begitu? Sepintas memang demikian.
Tapi kalau ditelisik lebih jauh, jawabannya akan lain. Ternyata mayoritas pengekor A2C justru bukan datang dari FLP tapi para pengarang di luar FLP yang ”ahistoris” dan terhitung pendatang baru. Penerbit yang turut bermain pun bukan penerbit yang sebelumnya dikenal karib dengan karya-karya FLP.

Yang muncul kemudian, bukannya membuat bangunan sastra islami semakin kokoh, dan kian mapan, sebaliknya memunculkan beragam syak wasangka. Mulai dari sangkaan terhadap pengarangnya yang tidak memunyai idealisme, miskinnya daya cipta, malas baca, instan, hingga simpulan bahwa novel islami epigon itu adalah indikasi ketidakberdayaan pengarang di hadapan kepentingan penerbit. Termasuk tukasan sementara pihak, penerbit hanya berkepentingan menumpuk keuntungan ekonomi, bukannya memperkaya ragam dan kualitas karya sastra (islami) di Indonesia. Pada titik ini, hebohnya karya sastra islami jilid dua, lebih merupakan peristiwa industrial, ketimbang pamrih mengangkat khazanah sastra islami itu sendiri.

Dominasi karya sastra islami dari luar FLP sekaligus menjadi bukti pula bahwa FLP tidak belajar dari kesalahan masa lalu. Sepinya pasar fiksi islami, tidak dijadikan kesempatan untuk menggarap diri dan membenahi organisasi, melakukan penjelajahan-eksperimentasi angle cerita yang beragam, serta meningkatkan capaian kualitas kebahasaan—malah sibuk memasuki lahan baru: menulis non fiksi. Itu sebab, begitu A2C muncul, ia melenggang sendiri. Dan ketika secara tak terduga diterima publik pembaca secara luas, dan membuka jalan bagi masuknya pasar baru yang begitu besar, FLP tidak mampu memanfaatkannya. Setelah Kang Abik, tidak ada yang lain. Begitu A2C selesai dibicarakan, selesai pula pembicaraan tentang karya sastra islami (FLP).

Ini sekaligus menjadi bukti bahwa apa yang dicapai Habiburrahman dengan A2C-nya semata-mata bersifat personal, bukan komunal. Kontinuitas itu ada, tapi tetap perpusat pada Kang Abik. Maka ketika media melansir pemberitaan tentang A2C dan karya-karya Kang Abik, yang diekspose bukan FLP (sebagai penggerak utama gagrak sastra islami, tempat Kang Abik ”bernaung”), tapi Kang Abik sebagai seorang novelis, sarjana Al Azhar, Mesir. Bahkan ketika Kang Abik diminta menulis kolum di beberapa media, inisialnya bukan “Anggota Majelis Penulis Forum Lingkar Pena”, tapi “Budayawan Muda”. Tak pelak, kehebohan sastra islami (A2C dan epigonnya) merupakan ironi buat perkembangan sastra islami itu sendiri.

Kemenangan nilai tanda

Dalam perspektif industri perbukuan, hebohnya karya sastra islami lebih dimengerti sebagai besarnya serapan karya jenis itu. Menyita perhatian pembaca buku (umum), serta banyaknya media yang melansir.

Berdasarkan preseden yang berulang kali terjadi pada buku-buku kategori bestseller, media menjadi satu dari lima faktor penentu (saluran pemasaran) buku laku. Lainnya, melalui obrolan-obrolan yang terjadi di komunitas-komunitas literasi, baik secara online, (mailing list), maupun off line (bedah buku, jumpa penulis, dsb); efek Kick Andy-nya Metro Tv; Resensi buku; efek Gramedia; dan display di toko buku.

Hasil pembacaan saya terhadap karakteristik pembaca (baca: pembeli) buku di Indonesia: tidak secara tegas menyatakan ke(tidak)sukaannya terhadap satu jenis buku tertentu; cenderung maunya hanya main aman; lebih sering karena tidak sengaja; gampang berpindah-pindah sesuai keinginan; kebanyakan masih bersifat fungsional; sensitif terhadap harga; menuruti apa kata media; bersifat personal, sentimental, dan cenderung emosional.

Bukti terdekat adalah apa yang telah dicapai A2C. Jika klaim FLP benar, bahwa mereka memunyai anggota aktif hingga 8000 orang, dan taruhlah seluruhnya membeli A2C, maka jumlah itu sangatlah kecil, dibandingkan dengan pembeli di luar FLP yang mencapai ratusan ribu. Dan sebagai pembaca karya sastra islami, mereka tergolong pemula.

Mereka menjadikan tema perguncingan banyak pembaca senior/mapan sebagai pertimbangan membeli buku. Yang ingin dikejar pembaca pemula adalah rasa aman secara sosial. Pada situasi seperti itu, karena terbatasnya pengetahuan dan informasi tentang perbukuan, mereka menjadi kurang selektif. Tidak mampu membedakan antara karya asli dan epigon. Dengan asumsi seperti itu, dapat disimpulkan hebohnya karya sastra islami (dari sisi serapan pasarnya) hanya bersifat kebetulan. Bukan sebuah kesengajaan.

Apalagi secara sengaja oleh penerbitnya, A2C diarahkan sebagai “bacaan wajib” umat muslim. Dibangun sebuah kesan, belum beriman jika belum membeli novel-nya Habiburrahman. Ditamblah lagi dengan besarnya perhatian media terhadap karya sastra islami (dengan A2C sebagai pemantiknya, terutama setelah beredarnya kabar jadwal pemutaran versi filmnya yang diundur) telah benar-benar berhasil memancing para pembaca emosional keluar.

Dalam alam bawah sadar para pembaca pemula, membeli dan membaca novel islami (tidak hanya A2C, tapi juga epigonnya), sama dengan membeli kitab suci. Untuk memeroleh surga, haram hukumnya menawar. Harga menjadi tak layak direwelkan. Membeli dan membaca buku yang semula lebih mengedepankan aspek nilai guna, bergeser menjadi nilai tanda.

Soal tipis tebalnya kesan/nuansa islam di setiap lembar novel-novel itu, mereka tidak memperdulikan. Asal penulisnya alumnus Kairo, Mesir, di kovernya terdapat sosok perempuan timur tengah bercandar, judulnya ada kata “cinta”—jelas sudah itu pasti karya sastra islami. Rupan-rupanya adigium “masifikasi melahirkan pendangkalan” pada akhirnya menyapa karya sastra islami juga.

Tapi pembaca bukanlah entitas yang bersifat tetap. Seiring dengan berjalannya waktu, mereka akan tumbuh dewasa, semakin kritis, dan rasional. Mengingat membaca adalah aktivitas bersifat eksistensial. Aktivitas yang akan memampukan pelakunya menentukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan nilai guna.

Memasuki tahun 2009, bahkan 3-4 bulan sebelum itu, boleh dikatakan umur kehebohan sastra islami habis. Baik secara kuantitas (judul buku baru) maupun kualitas (serapan pasar). Di pameran dan toko buku, novel islami berebut diskon gede-gedean. Pertanda burukah itu?

Jawabannya bisa ya bisa tidak. Ya, jika dilihat dari kepentingan penerbit dan komunitas. Tidak, jika dilihat dari kepentingan pembaca. Usainya kehebohan sastra islami justru menunjukkan bertambah dewasanya pembaca buku di Indonesia. Respon paling tepat atas mandeg-nya sastra islami adalah: anggap saja dunia perbukuan (relasi antara pembaca – penerbit – penulis) tengah mencari titik keseimbangan baru. Harapan kita tentu saja, titik ekuilibrium tersebut posisinya lebih tinggi dibandingkan titik sebelumnya.

Catatan akhir
Dalam perspektif komunitas (proses kreatif) dan dunia perbukuan (penerbit – pembaca), ada banyak dampak postif yang ditimbulkan oleh hebohnya karya sastra islami. Pertama, melahirkan banyak komunitas kepenulisan. Komunitas yang dapat dijadikan wadah berproses, ketimbang tukang stempel. Menjadi semacam masterminds. Ajang saling ledek, memprovokasi, menyemangati, sekaligus belajar menulis. Isi (anggota) dan wadah (komunitas) tumbuh bersamaan.

Kedua, kehebohan sastra islami, memunculkan teriakan kesadaran “Semua bisa menulis sastra”. Sastra menjadi lahan terbuka, tidak lagi menjadi milik sementara golongan yang mengklaim diri sebagai pemegang otoritas kebenaran sastra. Sastra menjadi semakin karib dengan pembacanya. Sastra menjadi lumer.

Ketiga, karena ada “kepastian” diterbitkan, menambah kuat motivasi pengarang untuk berkarya. Pada akhirnya turut pula meningkatkan jumlah judul buku baru pertahun secara signifikan. Selama peningkatan produktivitas itu diikuti pula oleh peningkatan kualitas. Tentu ini menjadi kabar baik buat pamrih memasarkan kegemaran membaca dan menulis di wilayah publik yang lebih luas.

Keempat, heboh sastra islami turut pula memunculkan optimisme dunia kepenulisan dan kepengarangan (secara finansial). Menjadi penulis-pengarang, mulai diperhitungkan sebagai pilihan profesi utama. Menerbitkan buku kesannya menjadi demikian gampang. Sekarang ini, hampir tiap pekan, dapat dipastikan muncul penulis-pengarang baru.

Kelima, heboh sastra islami membuat intensitas hubungan antara penulis dengan penerbit kian kental. Akibatnya para penulis tambah pintar. Kini penulis-pengarang saat berhubungan dengan penerbit, memiliki bargaining position tinggi. Dalam konteks misalnya: menentukan sistem pembayaran (apakah dengan sistem sewa, royalti, atau jual putus), memberikan masukan dan materi untuk disen kover, layout isi, usulan model pemasaran, hingga mencari endorser dan ikon yang akan dimintai kata pengantar. Saking pintarnya, tidak sedikit penulis dan pengarang yang akhirnya direkrut oleh penerbit. Malahan ada yang mendirikan penerbitan.☺
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger