Home » » Mengintip Jeroan Tv

Mengintip Jeroan Tv

Written By Agus M. Irkham on 26 May 2009 | 19:30




: agus m. Irkham


Judul Buku
Matikan TV-Mu! Teror Media Televisi di Indonesia

Penulis
Sunardian Wirodono

Penerbit
Resist Book

Cetakan I
Desember 2005

Jumlah Hlm
xix + 177 hlm (termasuk Indeks)

Berdasarkan sumber pendapatan yang dapat menjamin continuity siaran, tv dapat dibedakan dalam dua kategori: televisi kabel/satelit berlangganan (cable/satelit television), dan televisi komersial (broadcast television). Di Indonesia perkembangan tv berlangganan terbilang masih seret. Maklum, harus bayar, karena tidak mengandalkan perolehan iklan. Lain halnya dengan perkembangan televisi komersial. Tv jenis ini mengandalkan perolehan iklan untuk menjamin keberlangsungan siaran dan stok acara. Pemirsa tidak dikenakan ongkos. Stasiun tv di Indonesia, macam RCTI, TPI, Indosiar, ANTV, Lativi, MetroTV, TV7, SCTV, tergolong ke dalam tv komersial (broadcast).

Dari mana tv broadcast ini mendapat iklan? Tentu saja dari program acara yang ditayangkan. Salahsatunya sinetron (hlm. 26). Sinetron menjadi wadah bagi bertemunya kepentingan tv ( perolehan iklan), PH (nominal harga jual program acara yang tinggi), dan pengiklan (keterjualan produk). Dan ketiganya bertemu dalam satu locus: audience rating.

Audience rating adalah persentase suatu acara tv yang ditonton oleh pemilik televisi dalam satu populasi. Jadi audience rating menunjukkan jumlah orang yang menonton satu mata acara tertentu dibagi dengan total kepemilikan tv dalam satu populasi tertentu. Audience rating dijadikan ukuran buat pemasang iklan untuk beriklan di tv. Jadi logikanya jika audience rating tinggi maka promosi produk jadi efisien, kemungkinan keterjualan produk juga tinggi.

Buat stasiun tv, audience rating bisa dijadikan ‘barang dagangan’—keunggulan komparatif (comparative advantaged) ketika menawarkan programnya ke calon pengiklan (perusahaan). Jadi kalau audience rating tinggi maka perolehan iklannya juga tinggi. Dan anehnya, PH pun menempatkan audience rating sebagai bobot penaik nominal harga jual program yang ditawarkan ke stasiun tv. Sebelum program acara ditayangakan, PH sudah memastikankan digit audience rating yang bakal didapat.

Sebuah episode sinetron yang mestinya sudah habis, lantaran beraudience rating tinggi, stasiun tv pun bisa ‘memaksa’ PH untuk memproduksi kembali. Lahirlah apa yang dinamakan sebagai sinetron kejar tayang, sinetron tambal sulam. PH, awalnya usaha rumahan (sesuai dengan namanya: rumah produksi) tapi kini telah menjadi pabrikan. Yang dalam sehari bisa memproduksi lebih dari satu episode sinetron.

(Pabrik sinetron) Multivision Plus dalam sehari bisa memproduksi 9 (episode) sinetron sekaligus untuk ditayangkan di tiga teve, Star Vision, Prima Entertainment, Rapi Film sehari bisa 3 produksi. Satu pemain karena terikat dengan kontrak eksklusif seperti yang diterapkan Multivision Plus, sehari bisa shooting tiga sinetron sekaligus.

Penulis skenario benar-benar hanya menjadi tukang tulis (hlm. 32). Dalam satu hari harus menulis 3 naskah sekaligus. Hingga tak jarang ketika semua kru dan pemain sudah siap di lokasi shooting, naskah belum turun, atau naskah dikembangkan sesaat sebelum shooting dimulai, atau untuk menghabiskan waktu dengan menambah dialog panjang yang sebenarnya tidak perlu. Relasi antara produser tv dan PH yang demikian menjadi bukti betapa modal ekonomi telah mendominasi wilayah pemilik modal kebudayaan.

Di samping menjadi pembonceng gratis, karena safety, telah terbukti meraup audience rating tinggi, dan siklus produk bisa langsung dipacu untuk sampai pada titik optimal keuntungan, ada juga stasiun tv yang bereksperimentasi dengan meluncurkan program baru. Inovasi, yang harapannya bisa menjadi trend setter. Dengan tetap mengorder ke PH.

Kondisi ini menjadi dasar pijakan tv menawarkan program acara yang ‘gado-gado’, supermarket. Segala acara ada, satu sinetron bisa ditonton untuk segala umur. Apalagi melihat kenyataan bahwa kepadatan kepemilikan teve yang masih rendah. 1 televisi bisa ditonton oleh lebih dari 3 orang. Naifnya, oleh produser tv, sinetron yang menjual mimpi dikatakan bentuk empati mereka terhadap masyarakat miskin. Mereka diberi sesuatu yang dimiliki masyarakat atas, tidak sebaliknya. Kalah di realitas sesungguhnya, menang di kehidupan sinetron. Biar tetap ‘waras’ orang miskin harus terus diberi mimpi.

Membaca buku Sunardian wirodono, kita diajak mengintip jeroan tv. Hanya saja jeroan yang dikuak Sunardian demikian pekat dengan sisi negatifnya saja. Tanpa solusi.. Sepertinya buku ini oleh Sunardian, sengaja dijadikan katarsis. Bentuk apology, sebagai praktisi pertelevisian yang tidak berdaya. Sunardiann hanya memberikan satu pilihan: matikan tv mu!

Jelas ajakan tersebut mengada-ada. Tidak realistis. Apalagi untuk sementara orang yang sudah kadung menjadikan tv sebagai satelit bagi keseluruhan orbit wadag, akal, gerak, dan perasaan. Menjadi kiblat bagi ukuran sistem nilai: baik-buruk, benar-salah, cantik-jelek, bermoral-immoral, kaya-miskin. Mereka rela menjadwal ulang aktivitas keseharian demi dapat ”masuk” ke dalam tv.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger