Home » » Televisi dalam Pusaran Prasangka

Televisi dalam Pusaran Prasangka

Written By Agus M. Irkham on 26 May 2009 | 19:31




: agus m. irkham

Judul Buku
Berani Notak TV?!

Penulis
Kun Sri Budiasih

Penerbit
DAR! Mizan, Bandung

Tahun Terbit
2005

Kata Pengantar
Idi Subandhy Ibrahim

Tebal Buku
190 halaman


Kalau Saya tanya: Apakah Anda pernah menonton sinetron? Dan Anda menjawab: Tidak pernah! Barangkali Anda tengah belajar berdusta. Sesibuk apapun Anda, secuek apapun Anda, setabah apapun Anda, tetap, suatu saat, entah itu pagi, tengah hari, malam, atau dini hari, sinetron akan memaksa mata Anda memperhatikannya. Kalau tidak dari televisi, minimal dari orang lain. Mengapa? Karena Anda hidup di dunia yang mayoritas manusia tidak akan mematikan televisi.

Mendengar kata televisi, besar kemungkinan yang akan mampir di benak kita adalah segala bentuk prasangka: Dehumanisasi (ini istilah Kuntowijoyo alm.). Istilah yang merujuk pada proses pemretelan kemanusiaan yang dimiliki penontonnya (biasa disebut pemirsa). Pemretalan tersebut menyebabkan pemirsa mengalami ketertelanjangan (cabul). Gaya hidup mewah, menafikan proses, menjual mimpi, penglepasan tak terkendali atas hasrat seksual (pacaran, selingkuh, seks bebas), perebutan harta tak berkesudahan, kekerasan fisik, perendahan mental, menjual kedodolan, mistik—menjadi modus sinetron Indonesia—menggiring pemirsa ke gelanggang ketercabulan sosial. Penelanjangan segala bentuk rahasia, pengeksposan segala bentuk tanda, pengungkapan segala bentuk makna, unlimited, tanpa reserve

Menu Restoran Teve
Membaca pagina demi pagina buku ‘Berani Nolak TV?!’ karya Bunda Kun (demikian ia akrab dipanggil) ini, kita dibawa pada sikap kritis terhadap menu acara teve. Dari madu hingga racun, tulis Bunda. Televisi bisa menjadi madu karena informasi pendidikan politik, kesehatan, kerumahtanggaan, dan lain-lain informasi dapat disajikan dengan tampilan yang menarik, atraktif nan menghibur. Contohnya adalah berbagai acara kuis dan talk show. Kuis menawarkan uji kepekaan dan wawasan pada penonton (hlm 65).
Televisi—racun, melalui sinetron yang mengumbar air mata, keculasan, film yang mempertontonkan syahwat dan mengundang birahi, telenovela yang jauh dari kenyataan hidup yang dijalani, serta tayangan yang mengkampanyekan kesyirikan: Dunia Lain, Gentayangan, Uka-Uka, Di Sini Ada Setan. Hingga Bunda menulis bahwa hantu merupakan bintang teve masa kini (hlm 80).

Penonton teve Indonesia yang notebene-nya adalah negara berkembang, memunyai karakteristik sama. Yaitu sama-sama tidak mempunyai referensi/ literasi dalam menonton atau membaca media. Tidak ada reserve terlebih critism terhadap acara teve. Sekaligus masih tetap berlakunya salah satu ciri manusia Indonesia, temuan Mochtar Lubis (2001)—bahwa manusia Indonesia suka hal-hal yang berbau klenik dan misteri, di samping instan, dan suka menyalahkan pihak lain. Kenyataan ini menyadarkan kita tentang betapa teve kita telah menjadi industri budaya. George Gerbner menyebut sebagai agama baru.

Pada pagina ke-98 Bunda menyajikan data menarik, yaitu kategorisasi sejumlah reality show yang ternyata berpola. Dari lelucon (Spontan, Ngacir, Kopaja, Kacian Deh Lo, Berani Dong, Ide Jahil, Tantangan), cinta remaja (Katakan Cinta, H2C, Playboy Kabel), jumpa artis (Mimpi Kali Yee, Selebriti Nginep, Ketok Pintu, CCK), memancing emosi (Mbikin Orang Panik, Susahnya Minta Maaf, Emosi, Bikin Kejutan), dan horor (paranoid)

Disamping soal reality show, bisnis aib juga menjadi sasaran kritik Bunda: Kabar-Kabari, KISS, Hot Shot, Buah Bibir, Bibir Plus, Mafia Gosip, Peri Gosip, Hot Gosip, dlsb. Berderet nama acara tersebut Bunda simpulkan dengan ajakan satir: “Mari kita makan saudara.” (hlm. 84)
Spasi Intepretasi
Mengetahui perkembangan teve dari sisi acara—salah satu gizi yang dapat kita peroleh dari buku mungil ini. Menerbitkan buku ini, boleh jadi Bunda Kun memunyai empati tinggi terhadap kegerahan sementara orang (penonton teve). Lantaran buku ini hadir di saat banyak pihak membicarakan program acara yang tidak mendidik. Sebelumnya, buku-buku tentang teve jarang sekali yang menjadikan program acara sebagai pusat perhatian. Kalau boleh menyebut contoh, Neil Postman (1995) Menghibur Diri Sampai Mati. Yang isinya pekat dengan pandangan pesimistik Postman terhadap teve. Atau Dedy Mulyana (Bercinta dengan Televisi, 1997) yang lebih melihat dampak sosial dan psikologi teve terhadap manusia/ penonton. Atau Veven Sp. Wardana (2000) yang mencoba membaca teve sebagai bagian dari perkembangan budaya massa.

Maka buku ini mengambil positioning lain. Merupakan spasi intepretasi, bagian dari memberikan advokasi kepada masyarakat berupa media literacy (pendidikan melek media). Membaca buku ini kita jadi paham betapa teve memang pisau bermata dua. Bisa berguna sekaligus dapat melukai.

Meski content/ isi suatu buku penting, tapi belum menjadi formula kemenangan. Rupa-rupanya, karena Bunda Kun lebih menaruh porsi perhatiannya kepada isi, aspek kemasan (context) agak terabaikan. Terbukti tampilan isi melulu didominasi oleh tulisan (abjad). Alangkah lebih menariknya jika mau ditambahkan grafik, diagram pie, gambar contoh tayangan teve, dan lain-lain hingga membuat mata tetap berbinar, bukannya berkaca-kaca karena menahan kantuk.
Kekurangan buku ini, kalau tidak mau disebut kelemahan adalah penggunaan metode analisis isi (contents analysis) ketika mencoba mengkritisi teve, jelas sangat bersifat sementara. Karena program acara bisa dengan cepat berubah. Tidak dalam hitungan tahun, bulan bahkan. Jadi besar kemungkinan kalau buku ini dibaca pada tahun 2007, artinya 2-3 tahun setelah penerbitannya, sudah tidak lagi up to date. Solusi yang ditawarkan pun masih sangat bersifat normatif. Padahal jalan keluar yang bersifat praktis, macam “Mantra Penjinak Teve,” sangat ditunggu-tunggu orang. Yang normatif itu pun dilihat dari sisi produser acara (jujur, efektif, objektif, perkataan mulia, etik bahasa, dan pilihan kata yang baik).

Bunda Kun, ibu rumah tangga yang menjalani kehidupannya sebagai single parent lantaran sang suami tercinta tengah belajar di luar negeri ini, pernah ikut seleksi KPID (Komite Penyiaran Independen Daerah), mengasuh putrinya—Hanifa—yang ketika review ini ditulis baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-5. Dus, plus-minus kita harus mengakui betul-betul diperlukan keuletan sekaligus kebetahan menongkrongi teve. Hingga Bunda Kun berhasil menghadirkan buku ini di hadapan pembaca.♦
Share this article :

+ komentar + 1 komentar

Monday, June 08, 2009 8:29:00 pm

tulisannya bagus2.

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger