Home » » Kuasa Baru Minus Buku?

Kuasa Baru Minus Buku?

Written By Agus M. Irkham on 2 Jun 2009 | 07:59



: agus m. Irkham

Membaca adalah fitrah asasi setiap anak manusia. Kita semua lahir dibekali oleh yang namanya rasa ingin tahu atau curiosita. Sebuah dorongan instingtif alamiah pemberian Tuhan yang harus dipenuhi. Sebagaimana makan untuk memenuhi rasa lapar, maka membaca adalah upaya untuk memberi makan kepada otak kita agar tidak kelaparan.

Membaca adalah bagian dari ikhtiar untuk memenangi masa depan. Generasi awal—para pendiri negeri ini telah jauh-jauh hari memberikan bukti. Sebut saja mulai dari Soekarno, Mohamad Hatta, Haji Agus Salim, Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, Adam Malik, I.J. Kasimo, Soepomo, Mohammad Yamin, A.A. Maramis, Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, hingga Tan Malaka.

Bahkan Bung Karno secara eksplisit menyakini hubungan yang erat antara membaca buku dengan perolehan kuasa politik. Wartawan senior sekaligus penyerta sejarah, Rosihan Anwar dalam buku Musim Berganti memberikan kesaksian tentang itu.

Tahun 1938, saat Bung Karno sedang menjalani masa pembuangan di Bengkulu, seorang mahasiswa Belanda bertanya pada Bung Karno. “Tuan, saya lihat tuan telah membaca semua buku yang Tuan pesan dengan sungguh-sungguh sekali. Mengapa Tuan belajar begitu giat?” Bung Karno menjawab, “Orang muda, saya harus belajar giat sekali karena insya allah saya akan menjadi presiden di negeri ini”. Tujuh tahun kemudian hal itu menjadi kenyataan.

Tak berlebihan kiranya jika novelis Harmau-Harimau, Mochtar Lubis menyebut buku sebagai senjata yang kukuh dan berdaya hebat untuk melakukan serangan maupun pertahanan terhadap perubahan sosial, termasuk nilai-nilai kemanusiaan dan kemasyarakatan.

Buat para founding fathers, buku menjadi tahapan yang haram dilewatkan dalam jelujur waktu kehidupan dan perjuangan mereka. Dan kebiasaan, tepatnya kecintaan membaca buku itu, mereka lakukan sejak usia dini, yaitu saat kuliah. Misalnya seperti yang dilakukan Bung Hatta. Selagi menjadi mahasiswa di Rotterdam, ia ke Jerman dan keliling Eropa Tengah. Di Hamburg ia memborong banyak buku di Toko Meissner.

Sepulangnya ke Belanda, ia sampai membutuhkan tukang panggul untuk membawa buku-bukunya ke kamarnya. Perlu waktu tiga hari untuk mengatur buku-buku itu di lemari. “Mungkin di waktu itu, aku sendirilah seorang mahasiswa tingkat pertama yang memiliki buku begitu banyak….” (Fahmi, 2005).

Pesta, cinta, dan buku
Pertanyaan pentingnya adalah, bagaimana dengan generasi sekarang? Terutama angkatan muda, generasi yang dalam kesemestian sejarah pasti akan tampil menjadi pemimpin baru. Pemilik kuasa baru. Baik dalam ranah politik, ekonomi, sosial maupun budaya.

Membicarakan generasi muda, kita akan dibawa kepada sebuah frase yang berbunyi: ”pesta, cinta, dan buku.” Sebuah frase yang menggambarkan betapa kehidupan generasi muda yang penuh dengan gairah dan optimisme, berpesta pemikiran, jatuh cinta terhadap kehidupan, serta asyik mendaras buku.

Untuk memudahkan bayangan Anda tentang generasi pesta, cinta dan buku ini saya hadirkan sosok Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib. Keduanya tergolong angkatan ’60-an. Hok Gie dikenal lewat buku hariannya yang kemudian diterbitkan dan diberi judul Catatan Seorang Demonstran. Sementara Wahib kita kenal lewat buku Pergolakan Pemikiran Islam.

Buku terakhir disebut juga berasal dari catatan harian. Catatan harian kedua sosok generasi muda ini betul-betul gambaran yang akurat tentang “kesempurnaan” generasi pesta, cinta dan buku. Generasi yang memiliki tingkat keberaksaraan tinggi. Satu waktu merenung, menulis, membaca buku. Tidak hanya membaca teks, tapi juga konteks. Mengurai dan memahami pertalian (realita) yang terjadi hingga membentuk suatu teks (fakta).

Lain waktu larut dalam pembicaraan tentang cinta baik dalam pengertian sempit yakni mencintai lawan jenis maupun dalam arti universial, mencintai kehidupan. Mata batin keduanya tajam. Bergelut dengan hidup yang penuh pilihan. Pilihan antara harus bertahan (survive) secara fisik, dengan pilihan guna memberikan arti terhadap perbaikan-perbaikan nasib kemanusiaan secara universal. Sayang, keduanya meningal dalam usia yang masih muda, Hok Gie 27 tahun sementara Wahib 28 tahun.

Bagaimana generasi setelah Gie dan Wahib?

Generasi muda yang memunyai tingkat kesadaran keberaksaraan (membaca dan menulis) tinggi pun saat ini sudah bermekaran. Baik tampil sebagai individu, maupun mengikatkan diri ke dalam satu komunitas tertentu. Baik bersifat fisik (offline) maupun maya (online). Sekadar menyebut contoh: Komunitas Puisi Bunga Matahari (Buma), Komunitas Pasar Buku, Komunitas Bambu, Klub Buku Kick Andy, Forum Indonesia Membaca, Mitra Netra, komunitas Historia, Indo-Harry Potter, Rumah Pelangi, Masyarakat Tjerita Silat, Rumah Dunia, 1001buku, Ibnu Hajar, Bergema, Library Lover’s Club, Forum Lingkar Pena (FLP), dan masih banyak lagi.

Meskipun masing-masing komunitas memunyai bentuk, struktur, dan agenda program/aktivitas berbeda, mereka bertemu dalam dua lokus yang sama. Pertama, menjadikan buku (budaya baca) sebagai pijakan awal. Kedua, tampilnya golongan muda sebagai penggerak utama (prime mover), sekaligus menjadi salah satu sasaran kelompok (target group). Dalam siklus produksi (penulis, penerbit, percetakan, pelatihan/sekolah menulis), distribusi (agen, distributor), dan konsumsi (pasar buku) industri mulia (penerbitan buku), hampir seluruhnya digerakkan oleh golongan muda.


Tingginya budaya membaca (dan menulis) pada golongan muda juga dapat dicandra melalui rubrik di koran yang secara khusus menyediakan space untuk memuat tulisan dari para pelajar dan mahasiswa. Misalnya rubrik Forum, Muda, dan Akademia (Kompas), Prokon Aktivis (Jawa Pos), Debat (Suara Merdeka), Universitaria (Kedaulatan Rakyat).

Basis kesadaran berpolitik
Keberaksaran, aktivitas membaca dan menulis, sejatinya merupakan bagian dari aktivitas berpolitik. Dasar bagi keberaksaraan adalah melek huruf (baca-tulis-hitung) secara budaya. Yaitu kesanggupan untuk mendaras informasi, baik berupa teks maupun non teks di luar hal-hal yang bersifat teknis fungsional (profesi). Calistung budaya memungkinkan tumbuhnya kepedulian (empati), sikap kritis, sportif, dan kesediaan untuk turut ambil bagian dalam proses penyelesaian masalah-masalah kolektif—budaya demokrasi.

Atas dasar tesis itu, maka kualitas keberaksaraan (generasi muda), linear dengan kualitas kehidupan berdemokrasi. Dalam deskripsi yang berbeda, meskipun hari-hari ini banyak kalangan menilai kualitas berdemokrasi kita kian buruk, saya optimis di masa-masa yang akan datang akan semakin baik. Dengan syarat, budaya baca—kesadaran masyarakat (terutama golongan muda) terhadap arti penting informasi—semakin tinggi.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger