Home » » Ketika Dee & Ayu Utami Tergoda

Ketika Dee & Ayu Utami Tergoda

Written By Agus M. Irkham on 10 Jun 2009 | 23:59




: agus m. irkham

Salam buku! Sudahkah Anda membaca SUPERNOVA episode PETIR? Ada satu tokoh sentral—bernama Elektra. Elektra adalah seorang gadis yang terlahir dari keluarga sederhana. Sesederhana cara pandangnya dalam melihat kenyataan hidup. Polos, tanpa prasangka. Elektra hidup dalam jumlah keluarga minimalis. Piatu, hanya bersama ayah dan Watti—kakak perempuannya. Elektra menyebut kakaknya dengan Cica—Cina Cakep, sedangkan untuk dirinya sendiri—Cia alias Cina aja.

Ayahnya seorang tukang listrik, bernama Wijaya. Membuka usaha yang tentu saja masih tentang kelistrikan, Wijaya Elektronik namanya. Rupanya soal kelistrikan telah menjadi takdir buat si ayah, hingga putrinya pun diberi nama Elektra. Tukang listrik, berusaha Wijaya Elektronik, berputri Elektra, dan Watt (dengan dua ‘t’—satuan daya listrik). Elektra harus bersyukur karena Ayahnya tidak memberi nama Voltasia atau Sri Sekring. Sampai di sini saya tersenyum membaca ‘keisengan’ dan tentu saja kelincahan Dewi untuk bermain-main kata.

Elektra adalah sosok yang unik, tepatnya ganjil. Semenjak kecil ia senang sekali menonton kilatan petir. Keganjilan tersebut akibat pernah tersetrum (lagi-lagi masih lengket dengan kata) listrik. Kematian fisik seringkali tidak membawa perubahan apa-apa. Namun, buat Elektra kematian ayahnya membawa perubahan berarti. Mendorong ia semakin akrab dengan kenyataan hidup. Tidak memiliki dan dimiliki oleh satu apapun. Sendiri. Kakaknya, Watti (membaca nama Watti, saya jadi teringat buku bahasa Indonesia saat sekolah dasar dulu; Budi, Wati, Arman) menikah dan harus pergi mengikuti suaminya ke Tembagapura.

Tinggalah Elektra seorang diri, berusaha menyelamatkan Wijaya Elektronik dari ancaman pailit. Berhadapan dengan masalah piutang tak tertagih mencapai 8.756.304.005,889 rupiah!. Serta berkas-berkas administrasi yang hanya membuat kening Elektra kian berkerut. Akhirnya ia tak mampu mengelola Wijaya Elektronik dan harus menutupnya. Joblees, hopeless. Memaksa Elektra memasukan beragam istilah; downline, kaki-kaki, piramida ke dalam memori otaknya. Hingga suatu hari Elektra menerima surat dari STIGAN (Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional) yang menawari dirinya untuk menjadi staf pengajar (asisten dosen).

Pada awal Januari 2005, saya membaca email dari salah satu anggota mailing list pasar buku, begini kutipan emailnya.

“Aku baru membaca Petir (baru sebagian sih), di hal. 48 ada sub judul STIGAN (Sekolah Tinggi Ilmu Gaib Nasional), pas aku baca, kok isinya nyaris sama dengan esai Ayu Utami, Surat dari Jelangkung di buku si Parasit Lajang (dalam buku kumpulan esai tersebut Ayu Utami menulis, surat tersebut berasal dari INSTUPA—Institut Supranatural Sangkan Paran—AMI), yang ingin saya tanyakan:

Pertama, apakah itu hanya suatu kebetulan? atau kedua pengarang tadi memang mengalami hal serupa dalam dunia nyata (menerima surat dari STIGAN), kemudian keduanya menuangkan dalam tulisannya, yang satu berbentuk esai, yang satu dalam novel.

Kedua, berhubung esai Ayu duluan terbit, apakah ini bisa dikategorikan sebagai maaf "pencomotan" ide? atau memang suatu esai diperbolehkan untuk dijadikan referensi dalam pembuatan sebuah novel? Jadi hal ini sah-sah saja. Mungkin ada rekan di milis yang bisa memberikan penjelasan. Terima kasih. (Diana)

Sebelum menjawab pertanyaan Diana, ada baiknya kita buka kembali PETIR. Di halaman thanks to buku ini (Supernova 2.2 PETIR), tertulis: Elektra berterima kasih pada: ...INSTUPA dan para founder-nya. STIGAN (Dee), INSTUPA (Ayu Utami). Diantara mereka, ada hubungan apa ya?

Saya akan coba bantu Diana, sekaligus mencari titik hubung antara STIGAN (Dee), INSTUPA (Ayu Utami). Begini ceritanya. Sekitar awal April 2002. Saya dengan dua orang teman—salah satunya akrab dengan dunia perkerisan dan benda bertuah—merasa gerah dengan maraknya acara misteri di televisi. Tidak saja televisi, bahkan dunia perbukuan, koran, tabloid, majalah, radio juga menyajikan menu gaib. Pada satu titik, menyadari itu semua, dengan kelakar saya melontarkan ide, mengapa tidak sekalian saja membuat sebuah perguruan tinggi ilmu gaib dan supranatural. Agar tujuan kapitalisasinya semakin jelas.

Paling tidak ada enam pledoi yang saya ajukan, berkaitan dengan pembuatan konsep perguruan gaib tersebut. (1)April Mop, (2)Melumerkan wacana gaib yang sudah kadung menguat di masyarakat, (3)Mengejek hiperkomersialiasi gaib (televisi) maupun praktik perdukunan, 4)Perguruan gaib, kami analogkan sebagai bola salju. Saya hanya bertugas menggelindingkan saja.

Akan menjadi seberapa besar, dan ke arah mana bola tersebut menggelinding, sepenuhnya saya serahkan pada “korban” yang saya bidik. (5)Bentuk kejengkelanku juga, mengapa golongan masyarakat yang mengaku budayawan, antropolog dan sosiolog, ada proses penggaiban masyarakat kok, nyantai-nyantai saja. Suara tidak terdengar, tulisan tidak terbaca. (6)Kritik juga terhadap carut sengkarut dunia pendidikan kita. Terutama perguruan tinggi.

Atas dasar pledoi tersebut, kedua temanku sepakat. INSTUPA (Institut Supranatural Sangkan Paran), demikian kami memberikan nama. Draft pendirian INSTUPA seluruhnya berjumlah empat lebar. Lembar pertama berisi surat penawaran menjadi staf pengajar, lembar kedua berisi inspirasi mengapa INSTUPA didirikan, lembar ketiga memuat jenjang pendidikan sekaligus fasilitas pendidikan yang dimiliki, dan lembar keempat memuat semua jenis dan nama mata kuliah, jumlah SKS, serta dosen pengampu. Gambaran ditailnya persis seperti yang di tulis Dee (PETIR) dan Ayu Utami (Surat dari Jelangkung).

INSTUPA saya kirimkan ke beberapa key person. Diantaranya Semarang (Prof. Abu Suud, Prof. Eko Budiharjo, & Prof. Sacipto Raharjo). Yogyakarta (komunitas KUNCI—Antariksa dkk, Romo Dening Sindunata). Jakarta (Mira Lesmana, Ayu Utami, Ahmad Sahal, Ulil Absar Abdalla). Dan Bandung (Dewi Lestari).

Yang tercatat dalam ingatanku ada tiga orang yang tergoda pada INSTUPA. Prof. Abu Suud (INSTUPA, Kolom Gayeng Semarang, Suara Merdeka, April 2002), Ayu Utami (Surat dari Jelangkung, Majalah Djakarta, Mei 2002) yang kemudian dibukukan dalam kumpulan esai, Si Parasit Lajang (Agustus 2003). Dan di penghujung tahun 2004. Lewat perantara Dewi Lestari, INSTUPA lahir kembali (reinkarnasi) menjadi STIGAN.

Sebelumnya saya sendiri di Semarang awal tahun 2003, pernah bertemu langsung dengan Dee. INSTUPA sempat kami bicarakan. Dua bulan berikutnya giliranku yang ke Bandung (ke rumah Dee). Sedangkan untuk Ayu Utami, sekitar Mei 2003 di Semarang kami bertiga (founder INSTUPA) bertemu dengannya. Bahkan salah satu dari kami memoderasi Ayu dalam sebuah diskusi tentang budaya pop. Tapi, kepada Ayu, kami tidak menyinggung sedikit pun tentang INSTUPA.

Dari INSTUPA saya bisa belajar ternyata sesuatu yang misterius, gaib, ganjil, menyeramkan, jika kita mau melumerkan justru bisa mengendorkan syaraf-syaraf yang tegang. Gaib itu lucu dan perlu. Buktinya ya PETIR ini. Dibandingkan dengan “adik-adiknya”—Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh, serta Supernova 2.1 AKAR—PETIR lebih menjangkau bumi (down to earth), kenyal, mengalir, memasukkan canda-canda cerdas, enak dicerna. Dengan karakter tokoh yang lebih realistis.

Dee juga mulai berani bermain-main dengan kata. Bermantra dengan kata; Wijaya Elektronik, tukang listrik, Elektra. Watti, Voltasia, Sri Sekring, Elektra Si Manusia Milenium (ingat Panji Manusia Milenium?). Menyandingkan Ganesha (ITB) dengan Ganesha Operation (salah satu nama bimbingan belajar), Bong Pret menjadi tempe bongpret (bongkrek maksudnya). Elektra Pop dengan Selekta Pop, makhluk sosial menjadi makhluk so Sial. Dan berderet karikata lainnya yang akan membuat Anda tersenyum, tertawa bahkan.

Kepada pembaca, PETIR memberikan situasi dan pengalaman yang berbeda. Saya tidak tahu perubahan ini adalah sesuatu yang by design, bertujuan memberikan pengalaman yang berbeda kepada pembaca di setiap episode Supernova. Atau by nature, tidak sengaja. Alam bawah sadar Dee begitu tergoda dengan ruh INSTUPA—melumerkan misteri, gaib, ganjil, supranatural, dan sejenisnya. Bahkan akrab, mencandai serta menertawakannya. Pernah, suatu kali Elektra berucap:

”...wahai kawan. Pada saat engkau mengira telah berhasil menebak logika hidup, pada saat itulah ia kembali memuntir dirinya ke arah tak terduga dan jadilah engkau objek lawakan semesta.”♦

(tulisan ini pernah termuat di Jawa Pos, dan buku Prigel Menulis Artikel)
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger