Home »
» Komunitas Literasi Generasi Kedua
Komunitas Literasi Generasi Kedua
Written By Agus M. Irkham on 10 Jun 2009 | 23:43
: agus m. Irkham
Komunitas literasi. Dua lema itu menjadi frase yang demikian lekat dengan dunia perbukuan. Terutama dari segi minat baca. Lainnya ada yang menghubungkannya dengan perpustakaan, sebagai basis bagi gerakan memasarkan aktivitas membaca dan menulis.
Benarkah demikian? Komunitas literasi sama dengan buku dan perpustakaan? Pertanyaan ini dapat kita jawab setelah mengetahui batasan konsepsi tentang ”komunitas” dan ”literasi” itu sendiri.
Salah satu defini ”komunitas” yang disepakati oleh sebagian besar penggerak literasi adalah: sekelompok orang yang peduli satu sama lain lebih dari yang seharusnya, sehingga terjadi relasi pribadi yang erat antar anggotanya karena kesamaan interest atau values. Dengan kata lain ”komunitas” adalah suatu bentuk identifikasi dan interaksi sosial yang dibangun dengan berbagai dimensi kebutuhan fungsional. Kekuatan pengikat suatu komunitas, terutama, adalah kepentingan bersama dalam memenuhi kebutuhan sosialnya yang umumnya didasarkan atas kesamaan latar belakang budaya, sosial, dan hobby.
Sedangkan makna literasi, oleh Laxman Pendit (2007) mengutip batasan yang diberikan Free Body dan Luke dalam buku Literacy Lexicon (2003): ...mencakup semua kemampuan yang diperlukan oleh seorang atau sebuah komunitas untuk ambil bagian dalam semua kegiatan yang berkaitan dengan teks dan wacana (diskursus).
Keberaksaraan juga dilihat sebagai sebuah rentang (extent) yang mengandung berbagai tingkatan ukuran, seperti fasih, efektif, dan kritis. Menjadi orang yang literate berarti menjadi orang yang mampu berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam komunikasi tekstual, termasuk dalam komunikasi menggunakan media cetak, visual, analog, dan juga media digital.
Dua pandangan
Tentang literasi (keberaksaraan) kini muncul dua pandangan, yaitu pertama, pandangan universalis: keberaksaraan bersifat tunggal dan mengandung satu teknik penggunaan bahasa yang seragam. Sebab itu, keberaksaraan dianggap sebagai sesuatu yang secara jelas dan pasti memiliki dampak terhadap perkembangan kultur dan kemampuan berfikir. Pandangan ini berkembang dari kajian sejarah tentang perkembangan teknologi cetak dan keyakinan bahwa keberaksaraan adalah bagian dari teknologi intelek.
Kedua, pandangan relativis (sosiokultural): keberaksaraan secara intrinsik bersifat beragam. Setiap sistem aksara memiliki sejarah dan variasi kebudayaan serta praktik-praktik yang beragam, sehingga tidak ada keberaksaraan yang seragam. Pandangan ini pada umumnya didukung oleh penelitian-penelitian antropologis dan para sejarawan penganut pandangan kritis yang meragukan hubungan sebab akibat yang jelas dan pasti antara perkembangan intelektualitas dan keberaksaraan di sebuah masyarakat.
Saya lebih condong kepada amatan kedua. Dalam bingkai tilikan relativis, keberaksaraan bukan hanya berkaitan dengan teknik membaca dan menulis, melainkan bergandengan pula dengan aspek lain, seperti ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya. Keberagaman dalam kebudayaan, gaya hidup, dan kepentingan berbagai masyarakat akhirnya juga harus dipakai untuk melihat, menerjemahkan, dan menerapkan sistem keberaksaraan.
Kini, keberaksaraan dilihat tidak hanya dalam konteks multi bahasa, tetapi juga dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan, sehingga ada macam-macam keberaksaraan. Mulai dari keberaksaraan informasi dan komputer, keberaksaraan ekonomi, hingga keberaksaraan moral (Laxman Pendit, 2007; ibid)
Lebih-lebih dengan adanya pengaruh kemajuan teknologi informasi, terutama internet telah benar-benar mengubah corak gerakan dan ragam bentuk komunitas literasi. Perubahan itu, pertama, pertemuan fisik tidak lagi dominan. Hanya untuk kerja-kerja besar yang sifatnya selebrasi dan membutuhkan mobilisasi fisik saja, para eksponenya bertemu.
Kedua, pola gerakan yang semula memusat (konvergen), terikat pada tempat, waktu, dan ikon tertentu berubah menjadi menyebar (divergen). Tidak terikat ruang dan waktu. Tiap eksponennya mampu menjadi ikon. Terjadi desentralisasi manajerial komunitas.
Ketiga, tidak terbatas pada buku (taman baca, pondok baca, perpustakaan), tapi sudah kian variatif. Mulai dari film, teater, lukis, animasi, kajian sejarah, kelompok hobby hingga komunitas game online. Contoh paling dekat adalah yang baru-baru ini terjadi di World Book Day Indonesia 2009 (16-17/5). Sebagian besar komunitas literasi yang mengikuti acara Minggu Komunitas adalah komunitas “non buku dan perpustakaan”. Seperti komunitas Yoyo Indonesia, Historia, Sahabat Komodo, Stereo Foto Id, Indo Star-Trek, Le Gong Centrine, Green Life Style, Rotrack Area, Britzone Speaking Club, Jelajah Budaya, Fosca, Pelukis Mulut, dan Indo Hogwarts.
IndoHogwarts, adalah komunitas penggemar Harry Potter. Mereka—kebanyakan anak usia SMP dan SMA—membangun sebuah sistem game online berupa permainan karakter dalam bentuk tulisan. Harry Potter hanya digunakan sebagai pintu masuk, setelah itu mereka tinggalkan. Persis bunyi tagline mereka: empowering, netwriting and get value.
IndoHogwarts merupakan representasi komunitas literasi generasi kedua yang naga-naganya akan mendominasi bentuk dan arah gerakan komunitas-komunitas literasi di masa mendatang. Itu sebab, IndoHogwarts memeroleh anugerah literasi WBD Indonesia 2009.
Dengan demikian, paparan ini sekaligus menjadi elakan atas sangkaan arti komunitas literasi yang dipersamakan melulu buku dan perpustakaan.♦
Post a Comment