Home » » Membaca Laksamana Cheng Ho

Membaca Laksamana Cheng Ho

Written By Agus M. Irkham on 2 Jun 2009 | 08:11



: agus m. irkham

--tulisan ini saya rakit dari beberapa buku tentang Cheng Ho--

Membicarakan sejarah Nusantara (Indonesia) di awal abad 14, sulit rasanya menghindar dari kisah penjelajahan yang dilakukan seorang muslim Cina—Cheng Ho. Cheng Ho dikenal pula dengan sebutan: Zheng He, San Bao, Ma He, dan Sam Po Kong, lahir di Kunyang, Provinsi Yunnan, Cina pada tahun 1371.

Syahdan pada 1398 M Kaisar pertama Dinasti Ming, Zhu Yuanzhang mangkat. Zhu Yunwen, cucu Zhu Yuanzhang naik tahta, karena putra mahkotanya, Zhu Biao mati muda. Kebijakan Kaisar muda Zhu Yunwen banyak menuai ketidakpuasan. Hal ini memicu Zhu Di melakukan kudeta militer. Kudeta berlangsung lebih dari 3 tahun, Zhu Di berhasil menduduki Nanjing, dan naik tahta menggantikan Zhu Yunwen.

Sejak pertempuran pertama (tahun 1399, ketika Ma He berusia 28 tahun), hingga berhasil menggulingkan kekuasaan Zhu Yunwen (1402), Ma He selalu mendampingi Zhu Di, bertempur dengan kegigihan dan keberanian yang membuat lawan gentar. Kaisar Zhu Di menghargai keberanian dan kejeniusan strategi perang Ma He, dengan menganugrah-kan nama marga Cheng. Kemudian nama He diganti dengan Ho. Sejak itu Ma He diganti menjadi Cheng Ho. Penganugrahan nama ini terjadi pada tanggal 1 Januari Imlek tahun Yong Le ke-2 (1404M).

Sejak Zhu Di naik tahta, sistem tahun Jian Wen diganti dengan tahun Yong Le (Tahun Kegembiraan Abadi). Dalam rangka perayaan Tahun Kegembiraan Abadi inilah Kaisar Zhu Di menempuh kebijakan politik luar negeri, melalui pelayaran-pelayaran ke Samudera Barat demi memajukan persahabatan, membuka jalur perdagangan dan memelihara perdamaian antara Cina dengan negara-negara asing. Akhirnya Cheng Ho dipilih sebagai laksamana untuk memimpin pelayaran ke Samudera Barat.

Berbeda dengan bahariawan Eropa yang berbekal semangat imperialis, aramada raksasa pimpinan Cheng Ho tak pernah serakah menduduki tempat-tempat yang disinggahi. Mereka hanya mempropagandakan kejayaan Dinasti Ming, menyebarluaskan pengaruh politik ke negeri asing, serta mendorong perniagaan Cina. Dalam majalah Star Weekly (18/3/1961), HAMKA pernah menulis “Senjata alat pembunuh tidak banyak dalam kapal itu, yang banyak adalah senjata budi yang akan dipersembahkan kepada raja-raja yang diziarahi.”

Zona Perdagangan Asia-Afrika
Kawasan Asia Afrika yang dikunjungi armada Cheng Ho dalam 7 masa pelayarannya, 600 tahun lalu, antara lain: Kamboja, Thailand, Vietnam, Indonesia, Malaysia, Filipina, India, Srilanka, Saudi Arabia, Kenya, Somalia, dan Arab Saudi. Ada tiga hal penting yang dilakukan Cheng Ho di setiap daerah yang disinggahinya:

Pertama, menemui raja/penguasa setempat, dan menyampaikan harapan Kaisar Cina agar negara-negara asing (luar negeri) ini mau hidup bersama, mewujudkan ketenteraman, dan meminta penguasa setempat untuk mengakui Kaisar Zhu Di sebagai Kaisar yang dipertuan agung. Sambil menekankan bahwa kekuasaan Cina tidak akan mengintervensi, memaksakan hukum-hukum dan aturan, apalagi berambisi mencaplok negara lain. Kaisar Zhu Di/Ming justru ingin banyak memberi, dengan sedikit saja menerima.

Pengakuan diwujudkan dengan pemberian upeti dan pangkat kerajaan. Itu pun, kemudian oleh Cheng Ho diganti dengan hadiah yang nilainya lebih tinggi dibandingkan dengan upeti yang diberikan. Upeti hanya semacam simbol kesetujuan saja. Pengakuan (penyampaian upeti) untuk Kaisar Ming sekaligus menjadi titik mula terjalinnya kerja sama perdagangan dengan Cina. Cheng Ho juga mempersilakan para raja setempat untuk datang, melakukan kunjungan timbal balik ke Cina.

Dalam kunjungan timbal balik, terdapat peristiwa yang amat penting dan menarik, tulis Prof. Kong Yuanzhi di buku Muslim TiongHoa Cheng Ho (2000). Pada bulan September 1423, kira-kira 1.200 utusan dari 16 negara Asia Afrika tiba di Beijing, Ibu kota Cina. Mereka diundang oleh Cheng Ho untuk mengunjungi kerajaan Ming dengan menumpang armada Cheng Ho yang sedang dalam perjalanan pulang dari pelayarannya ke ke-6. Keenambelas negara itu adalah Chola, Kalkuta, Ormuz, Ceylon, Aden, Jofar, Rasa, Brawa, Somalia, Cochin, Cail, Maladeva, Lambri, Samudra Pasai, Aru dan Malaka.

Selama tahun 1403-1424, yang mengirimkan utusan ke Cina antara lain: Campa 18 kali, Siam, 22 kali, Malaka 15 kali, Samudra Pasai 13 kali, Jawa 15 kali, dan Brunei 8 kali. Selama 100 tahun sejak didirikannya Dinasti Ming pada tahun 1368, kerajaan di Jawa Tengah telah mengirim utusan muhibahnya ke Cina lebih dari 20 kali.

Kedua, menemui para pengusaha/saudagar untuk menyampaikan salam muhibah Kaisar Yong Le (Kaisar Zhu Di/Ming). Saat itu kebanyakan pengusaha berasal dari kalangan raja-raja, dan para pembesar. Jika pengusaha itu bersedia menyatakan pengakuan hak dipertuan agung Kaisar Ming, dengan disertai upeti dan penyerahan tanda-tanda pangkat, mereka diperbolehkan berdagang dengan Cina. Serta mendapat jaminan keamanan penuh dan berbagai kemudahan/ keringanan.

Menurut peraturan Dinasti Ming yang berlaku kembali tahun 1403, pajak yang dipungut oleh penguasa Cina pada barang-barang dagangan yang dibawa oleh kapal asing untuk penyampaian upeti akan dikurangi 50 persen. Pemberian upeti jadi sesuatu yang justru melancarkan proses perdagangan. Karena besarnya nominal potongan pajak jauh melampaui angka nominal upeti yang diberikan. Apalagi soal upeti Kaisar Zhu Di tidak ribet, tidak harus yang sangat mahal, yang penting cukup baik untuk dapat menyatakan rasa hormat dan rasa tulus ikhlas. Karena itu banyak perniagaan atau barter yang dilakukan oleh negara-negara asing dengan Cina melalui sistem di mana sebagian barangnya disebut sebagai ‘upeti yang kan disampaikan’ kepada Kaisar Ming. (Prof. Kong Yuanzhi, Ibid)

Para pengusaha juga diperbolehkan kelencer ke Cina melihat perkembangan perdagangan di Cina dengan menumpang armada Cheng Ho. Namun, tidak sedikit para pengusaha yang lebih memilih langsung bertransaksi jual beli maupun barter di tempat armada Cheng Ho melepas jangkar.

Misalnya transaksi antara Cheng Ho dengan saudagar dan para raja di kepulauan Nusantara (Pasai, Palembang, Kalimantan, Jawa), Cina memperoleh hasil bumi antara lain: minyak tanah, kapuk, belerang, rempah-rempah (Seperti cengkeh, merica, kapulaga), kemenyan, kayu-kayuan (seperti kayu gaharu), dan sarang burung layang-layang (edible bird’s nest), binatang-binatang langka (jerapah, macan tutul, singa), gading, wangi-wangian, dan ratna mutu manikam yang berharga. Sementara Indonesia mendapatkan dari negeri Cina antara lain sutra dewangga, kain, porselen, alat bercat, alat emas, perak, alat perunggu, alat besi, alat pertanian, kertas, teh, obat-obatan, dan berbagai hasil kerajinan tangan.

Ketiga, menemui masyarakat/rakyat jelata. Cheng Ho memperkenalkan pada mereka teknologi bercocok tanam (pertanian), memberikan (atau dengan barter) alat pertanian, memberi tahu bagaimana cara membuat gerabah, keramik, dan kerajinan tangan lainnya, menyebar pengetahuan cara meramu obat-obatan dari tanaman (herbal), mengenalkan sistem alat tukar dengan uang logam sekaligus cara penghitungannya (akuntansi), mengembangkan sikap tolerani, dan mendakwahkan agama Islam—salah satu tugas Cheng Ho, sebagai seorang muslim.

Cheng Ho meniggal pada usia 62 tahun (1433), saat perjalanan ke Cina pada pelayaran ke-7. Sejarah mencatat bahwa Cheng Ho memiliki peran besar dalam merintis jalan bagi terbukanya hubungan antar negara dan perdagangan internasional, khusus di kawasan Asia. Sebuah hubungan unilateral mutualism yang mengusung asas persamaan, keikhlasan, kasih sayang, saling menaruh hormat meski berbeda (bahasa, ras, suku, warna kulit, agama).

Warisan Penting Cheng Ho
Moralitas kehadiran Cheng Ho bagi daerah yang pernah dikunjunginya, banyak menyimpan kenangan yang mendalam. Cheng Ho banyak meninggalkan pengetahuan yang sungguh berguna bagi kehidupan. Diantaranya 24 peta navigasi—Zheng He’s Navigation Map—yang berisi pokok-pokok mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, berbagai pelabuhan (nama, letak, karakteristik).

Termasuk teknologi pertanian, peningkatan sumber daya manusia, pengenalan tentang pentingnya pembagian kerja (job description), pengetahuan tentang obat-obatan, dan tentu saja memperkenalkan kegiatan pariwisata. Keberadaan hewan eksotik, seperti jerapah di kebun binatang dekat tembok besar Cina, dipercaya sebagai salah satu jasa Cheng Ho. Di setiap tempat yang disinggahi, Cheng Ho selalu membawa satu atau sepasang binatang langka untuk di hadiahkan kepada Kaisar.

Membaca Cheng Ho, kita disadarkan pada arti penting menjalin kerjasama (baik bilateral maupun unilateral) dalam bingkai saling menghormati, berkasih sayang, dan selamat menyelamatkan. Cheng Ho, sebagai seorang manusia biasa—retasan politik luar negeri, multikulturalisme, inklusivitas, zona perdagangan (bebas)—menjadi bukti betapa bentangan visi Cheng Ho telah telah melampaui zamannya.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger