Home » » Terbitkan atau Minggirlah!

Terbitkan atau Minggirlah!

Written By Agus M. Irkham on 30 Sept 2009 | 06:57



: agus m. irkham
(pernah termuat di harian KOMPAS, 15 September 2009)

Publish or Perish. Terbitkan atau minggirlah. Ungkapan itu populer di kalangan akademisi Amerika Serikat. Satu ungkapan yang merujuk pada kondisi: semua akademisi/ilmuan/intelektual sama, sampai satu di antara mereka menulis buku. Beruntung, cetusan itu tidak populer di kalangan akademisi kita.

Apa pasal? Karena jika acuan tersebut digunakan, dapat dipastikan banyak perguruan tinggi di tanah air akan kekurangan dosen. Lantaran sebagian besar dari mereka belum menulis buku. Jangankan buku, dosen yang menulis di jurnal berakreditasi nasional atau artikel ilmiah populer di koran saja jumlahnya masih sedikit. Alih-alih menulis di jurnal berakreditasi internasional atau menulis buku yang memunyai pasar pembaca berskala dunia (internasional).

Berdasarkan data yang dikemukakan Fasli Jalal, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional—seperti yang pernah dilansir Kompas (Baru 116 Jurnal Ilmiah Berakreditasi Nasional; 15/4)—kemampuan ilmuwan kita untuk menyumbang penelitian ke jurnal ilmiah hanya 0,8 artikel per 1 juta penduduk. Padahal, di Indonesia saat ini ada 7.900 peneliti dari LIPI, BPPT, dan lembaga penelitian di departemen, sedangkan di perguruan tinggi ada sekitar 155.000 dosen.

Karenanya, kita tak perlu heran kalau ternyata kontribusi kaum intelektual Indonesia, khususnya dosen dalam dunia akademik di tingkat asia tenggara hanya menempati posisi keenam. Sejak tahun 1970 hingga 2000, produksi pengetahuan mereka hanya 10 artikel per tahun.

Kalau pun ada satu dua dosen yang menerbitkan buku, buku tersebut tidak ditulis secara sengaja. Biasanya hasil daur ulang disertasi atau tesis. Akibatnya buku itu menjadi buku pertama sekaligus terakhir. Seperti pohon pisang, ejek Ignatius Haryanto (2006). Sekali berbuah lalu mati.

PTN dan PTS
Bagaimana dengan para akademisi dari perguruan tinggi negeri dan swasta (PTN dan PTS) di Jawa Tengah? Kondisinya bak pinang tak berbelah dengan yang berlangsung di tingkat nasional. Simpulan awal itu saya peroleh seusai mengunjungi
pameran jurnal yang di adakan Pusat Jurnal Ilmiah Indonesia (PJII) di aula STIE Widya Manggala Semarang, akhir Agustus lalu.

Jumlah PTN dan PTS di Jateng yang mengikuti pameran (dengan asumsi yang tidak mengikuti pameran berarti tidak memunyai jurnal ilmiah) hanya sekitar 15 perguruan tinggi. Atau sekitar 6,7 persen dari total PTN dan PTS di Jawa Tengah yang berjumlah 222 (data situs wikipedia). Kelima belas PTN-PTS tersebut di antaranya: UNDIP, UNNES, UNSOED, UNISSULA, UNS, IAIN Walisongo, STAIN Pekalongan, STAIN Kudus, POLINES, UNIKA Soegijapranata, UKSW, STIE Widya Manggala, dan UMS (Universitas Muhammadiyah, Solo). Dari 15 PTN-PTS tersebut total jurnal ilmiah yang dipamerkan 61 jenis jurnal. Tertinggi adalah UMS (17 jenis), di susul UNDIP (7), dan STAIN Kudus (6). Selebihnya rerata antara 1 hingga 4 macam jurnal.

Tentu, angka 61 masih terbilang sangat kecil, jika dibandingkan dengan jumlah PTN-PTS di Jateng, belum lagi jika kita pecah (break down) ke dalam jumlah fakultas di tiap-tiap PTN-PTS. Sudah begitu, jurnal yang dipamerkan pun tidak memuat informasi tingkatan akreditasi. Sudah mendapat akreditasi atau belum? Kalau sudah, akreditasi tingkat nasional atau internasional? Artinya selain dari segi kuantitas masih terbilang rendah, kualitasnya pun masih menjadi pertanyaan besar.

Secara tidak langsung, fakta yang terjadi saat pameran jurnal ilmiah tersebut memberikan informasi awal kepada kita tentang apa yang tengah berlangsung di perguruan tinggi di Jateng—dalam konteks gairah dosen meneliti, menulis, dan menerbitkan laporan penelitiannya ke dalam bentuk jurnal ilmiah dan media teks lainnya—masih rendah.

Pertanyannya, apa penyebab utama rendahnya budaya meneliti, menulis, dan menerbitkan tulisan di sebagian besar perguruan tinggi, terutama para dosen?

Mengejar kuota
Gejala yang paling nampak akibat liberalisasi (baca: persaingan sempurna) pendidikan tinggi adalah pemassalan, dan popularisme citra dan tanda. Kini, perguruan tinggi lebih disibukkan dengan mengejar kuota mahasiswa. Menambah jumlah kelas, yang artinya juga memperbesar jumlah jam mengajar. Alasan yang mengemuka lebih banyak bersifat ekonomis ketimbang akademis.

Akibatnya para dosen lebih disibukkan dengan aktivitas di ruang perkuliahan. Sudah begitu yang berlangsung bukan lagi learning (pemelajaran) yang kuyup dengan dimensi sosial, moral, kultural, dan spiritual. Tapi lebih ke pengajaran (teaching). Hubungan antara mahasiswa dan dosen sekadar relasi teknis fungsional belaka.

Dalam situasi demikian, sulit mengharapkan dosen menginisiasi sendiri suatu penelitian. Sekarang, kecenderungan yang tengah berlangsung, keinginan meneliti timbul, begitu ada proyek. Makanya hasil penelitiannya pun pada akhirnya dapat ditebak: sekadar untuk mendapatkan/melaksanakan proyek. Bukan penelitian yang lahir dari rasa cinta terhadap pengembangan ilmu pengetahuan (Jurnal Ilmiah Seret, Inilah Cermin Mutu Penelitian Kita; Kompas 12/8).

Solusi apa yang dapat ditempuh? Karena sumber masalahnya timbul dari pertimbangan ekonomi (jumlah kelas, jam mengajar), maka untuk menggairahkan budaya meneliti dan menulis pada dosen, keharusan menerbitkan tulisan hasil penelitian di jurnal ilmiah dapat dijadikan sebagai syarat untuk memeroleh kenaikan pangkat. Bukankah yang sudah-sudah, kenaikan pangkat linear dengan tambahan perolehan ekonomi? Tapi tentu dengan syarat kualifikasi yang ketat.

Selain itu, baiknya ada sistem: bagi (calon) dosen yang tengah mengikuti kuliah pascasarjana (S2) dan doktoral (S3) sebagai syarat mengikuti sidang akhir kelulusan mau tidak mau, mereka wajib memublikasikan karya ilmiahnya di jurnal ilmiah. Taruhlah untuk mahasiswa S2 minimal dua tulisan di jurnal ilmiah berakreditasi nasional, sedangkan mahasiswa S3, satu tulisan di jurnal ilmiah berakreditasi internasional.

Dengan demikian di tiap-tiap perguruan tinggi, ada mekanisme yang bersifat built in: para dosen yang malas meneliti dan menulis silakan minggir. Sehingga pemassalan jumlah mahasiswa dan perbesaran jumlah kelas tidak serta merta menunjukkan rendahnya kualitas perkuliahan/mutu suatu perguruan tinggi.♦
Share this article :

+ komentar + 2 komentar

Wednesday, October 28, 2009 11:41:00 pm

hai pak, blog saya bagus juga nih..... asik juga di baca nih. dan slm knlya ya pak.

slm

mangoloi silalahi

Tuesday, November 03, 2009 7:47:00 pm

thanks! salam kenal juga
btw, dah selesai lum kuliahnya? :)

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger