Home » » Membaca Gerakan Membaca

Membaca Gerakan Membaca

Written By Agus M. Irkham on 19 Oct 2009 | 06:15



: agus m. irkham

Prasyarat bagi suatu bangsa agar dapat maju dan berkembang adalah adanya masyarakat pembelajar. Dan salah satu basis dukungan terpenting bagi pembentukan masyarakat pembelajar adalah masyarakat yang gemar membaca.

Kesadaran demikian naga-naganya semakin dimengerti oleh publik luas.
Rekognisi itu dapat dicandra melalui maraknya gerakan membaca (dan menulis). Baik yang diprakarsai oleh individu, kelompok masyarakat, media, lembaga pemerintahan maupun institusi bisnis. Mulai dari pameran buku yang diselenggarakan lebih dari dua kali dalam setahun di banyak kabupaten dan kota, pelatihan menulis, peluncuran dan diskusi buku, penyelenggaraan lomba menulis, pengoperasian perpustakaan berjalan, munculnya rubrik perbukuan (daftar buku baru, resensi buku, dan kabar di balik dunia perbukuan) di media, pemilihan duta baca, hingga pendirian perpustakaan warga.

Khusus untuk terakhir disebut, sekarang ini nyaris ada di tiap kabupaten dan kota. Namanya pun macam-macam. Sekadar contoh, ini yang berada di Jawa Tengah: Taman Pintar (Kota Semarang), Rumah Pelangi (Ungaran dan Muntilan), Pondok Baca (Magelang), Rumah Belajar (Wonosobo), Pondok Maos (Kendal), Jala Pustaka (Pekalongan), Mentari Pagi (Blora), Forum Pinilih (Solo), dan Oasebaca (Batang). Dan ikatan yang digunakan untuk menyebut itu semua bukan lagi ”perpustakaan warga” tapi ”komunitas literasi.”

Pamrih yang hendak disasar dari berbagai macam variasi nama komunitas literasi itu adalah agar hambatan psikologis antara masyarakat dengan perpustakaan (tempat banyak buku dihimpun) jadi hilang. Penyebutan ”Pondok Baca” atau ”Taman Pintar” saya kira memang terdengar lebih ramah, bersahabat, dan mendatangkan kesan nyaman, sekaligus merangkul, dibandingkan ”Perpustakaan”.

Kecenderungan demikian, rupa-rupanya juga tengah terjadi pada komunitas literasi di tingkat yang lebih luas, di belahan propinsi lain di Indonesia. Sekadar menyebut contoh: Rumah Dunia (Serang), Perahu Baca (Tangerang), Rumah Cahaya (Depok), Lentera Kalbu (Pandeglang), Teras Puitika (Banjar Baru), Sanggar Matahari Martapura (Kalimantan), Komunitas Bunga Matahari (Jakarta), Warabal (Bogor), Cahaya Lentera (Bandung), dan Kandangpati (Sumatra).

Perluas perspektif membaca
Penggunaan pola ucap dan istilah baru atas obyek yang sama tersebut pada akhirnya turut pula mengubah aktivitas serta program kerja tiap komunitas literasi—menjadi tidak melulu membaca buku. Tapi bukan berarti menekuni buku sama sekali ditinggalkan, karena tentu saja mendaras buku harus tetap menjadi aktivitas basis. Hanya saja perspektifnya yang diperluas. Aktivitas membaca mereka tafsirkan secara luas. Tidak sebatas teks (buku), tapi juga konteks (kehidupan). Mereka mengaitkan apa yang tertulis di buku dengan praktik kehidupan yang berlaku di mana mereka tinggal (lokalitas).

Apa yang dilakukan Rumah Belajar (RB) Bergema di Wonosobo dapat saya ajukan sebagai salah satu amsal. Bergema singkatan dari “bersama geliat masyarakat”. RB Bergema terletak di desa Patakbanteng, kecamatan Kejajar. Sekitar 27 kilometer sebelah utara kota Wonosobo.

Mereka menggagas program bimbingan belajar, memfasilitasi program Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang lebih akrab disebut dengan kejar paket, bertani kentang, serta merintis pendirian lembaga keuangan mikro.

Program bimbingan belajar dan kejar paket digagas karena rerata pendidikan warga Patakbateng yang masih rendah. Sebagian besar hanya lulus SD. Jadi kedua program tersebut diarahkan sebagai ikhtiar memperbaiki kualitas hidup masyarakat, terutama pendidikan.

Sedangkan bertani kentang dan pendirian lembaga keuangan mikro adalah bagian dari upaya memperbaiki kesejahteraan ekonomi warga. Sekaligus upaya memandirikan Bergema dari sisi pendanaan operasional sekretariat dan program. Guna menambah pengetahuan bertani kentang, Bergema membaca buku-buku pertanian yang tersedia di perpustakaan. Dari buku mereka jadi tahu berbagai jenis penyakit tanaman kentang dan cara mengobatinya. Pola yang sama juga mereka lakukan saat merintis pendirian lembaga keuangan mikro.

Dengan demikian gerakan membaca (keberaksaraan, literasi) yang dilakukan Bergema, selain secara teknis melalui pembukaan PLS, berbarengan dengan itu pula, mereka melakukan ”kampanye” membaca secara fungsional. Bergema diposisikan sebagai laboratorium bagi masyarakat—melalui penyediaan bahan bacaan yang memiliki pertalian yang kuat dengan aktivitas teknis yang mereka sedang dan akan lakoni.

Makna literasi
Kiprah Bergema berkesesuaian dengan makna literasi yang diberikan penganut pandangan relativis/sosiokultural: literasi tidak semata-mata mencakup persoalan membaca dan menulis, namun bergandengan pula dengan aspek lain, seperti ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan sebagainya.

Keberagaman dalam kebudayaan, gaya hidup, dan kepentingan berbagai masyarakat akhirnya juga harus dipakai untuk melihat, menerjemahkan, dan menerapkan sistem keberaksaraan. Keberaksaraan dilihat tidak hanya dalam konteks multi bahasa, tetapi juga dikaitkan dengan berbagai aspek kehidupan, sehingga ada macam-macam keberaksaraan. Mulai dari keberaksaraan media, keberaksaraan ekonomi/keuangan, hingga keberaksaraan moral (Pendit, 2007; 58)

Terakhir, ada informasi menarik, secara amat mengagumkan Indonesia mampu mengikis angka buta huruf. Terhitung sejak tahun 2007 tak kurang dari 10,1 juta orang mampu dientaskan dari kegelapan aksara. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, rerata kurang dari 1,7 juta orang. Artinya angka melek huruf kita sekarang ini lebih dari 90 persen. Jauh di atas rerata negara berkembang yang hanya 69 persen. Itu sebab barangkali, pada tahun 2008, oleh UNESCO Indonesia ditunjuk sebagai model untuk pemberantasan buta aksara di kawasan Asia Pasifik.

Andai itu betul, tentu patut disyukuri. Hanya saja, melek aksara secara teknis tidak akan banyak membantu masyarakat untuk survive—dalam pengertian harfiah dan mendasar yaitu melawan kelaparan bukannya kemiskinan—jika tidak disertai pula dengan kemampuan melek aksara (keberaksaraan) secara fungsional. Pengetahuan tentang sesuatu (declarative knowledge) tidak cukup, masyarakat harus pula memunyai pengetahuan melakukan sesuatu (procedural knowledge).

Nah, pada titik itu pergeseran strategi dan pola gerakan membaca yang dilakukan beragam komunitas literasi saya kira telah mendapati dasarnya.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger