Home »
» Sensor Buku? Alamak!
Sensor Buku? Alamak!
Written By Agus M. Irkham on 19 Oct 2009 | 06:17
: agus m. irkham
Usai tandas mengunyah tulisan Anang Harris Himawan tentang pertalian antara buku dan aksi terorisme (Jawa Pos, 26/8), saya menjadi tidak bisa menahan diri untuk segera menanggapi. Paling kurang ada dua rekomendasi yang diberikan Anang agar buku tidak menjadi penyebar virus terorisme. Pertama, membentuk lembaga sensor buku. Kedua, membentuk Desk antiteror kontra ideologi. Layaknya Densus 88, tapi hanya terkait dengan persoalan penyebaran ideologi.
Sebagai sebuah usulan, tentu sah-sah saja. Namun jika usulan itu menuntut untuk segera dilaksanakan, ya nanti dulu. Apa pasal? Pertama, berdasarkan hasil pencandraan saya, usulan itu lahir dari sebuah persepsi yang salah tentang kegiatan membaca. Tepatnya salah memaknai pertalian antara teks (buku) dan pembacanya.
Disadari atau tidak Anang telah menempatkan pembaca sebagai pihak yang tidak berdaya atas ”serangan” yang dilancarkan buku. Sehingga pembaca mau melakukan apapun yang diinginkan penulisnya. Maka yang muncul kemudian, you’re what you read dalam pola yang pasti dan baku. Anda adalah apa yang Anda baca. Jika Anda membaca buku kiri, wacana sosialisme-komunisme, maka otomatis Anda adalah seorang komunis. Minimal sedang berproses menjadi komunis.
Jadi, jika di rak buku Anda banyak terdapat buku-buku tentang Islam radikal, terorisme, jihad, dan bunuh diri, maka dapat dipastikan Anda seorang teroris. Lebih-lebih jika buku-buku itu terletak di tempat yang paling mudah Anda jangkau. Faktor penisbian pengaruh pembaca terhadap teks ini pula yang melahirkan aksi sweeping, pelarangan, dan pembakaran buku.
Pembaca tidak bodoh
Cara pandang Anda adalah apa yang Anda baca, dalam beberapa segi tidaklah salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Mengapa? Karena kendali utama yang memutuskan (tidak) menyetujui isi suatu buku, tetap ada pada pembaca. Pembaca bukanlah publik bodoh. Mereka akan berproses menemukan kediriannya melalui apa yang mereka baca. Seiring dengan berjalannya waktu, pembaca akan tumbuh dewasa, dan semakin kritis. Pembaca bukanlah entitas yang bersifat tetap. Mereka akan berubah. Mereka akan mengerti mana karya yang bermutu (ide-ide yang ditawarkan realistis), dan mana yang sekadar meramaikan pasar dan mencari sensasi (perubahan yang diajukan bersifat utopia).
Keyakinan tanpa keraguan itu saya sandarkan pada sebuah tesis bahwa membaca adalah aktivitas bersifat eksistensial. Aktivitas yang akan memampukan mereka melakukan berbagai kemungkinan pilihan. Termasuk keputusan untuk selektif dalam membeli dan membaca buku-buku Islam. Serta menolak isi suatu buku.
Dengan begitu, membaca buku kiri belum tentu menjadi kiri, membaca buku jihad, bunuh diri, dan terorisme tidak serta akan membuat pembacanya menjadi teroris. Bukti paling dekat, Arwan—sebut saja begitu—salah satu kolega saya, seorang pendaras tekun buku-buku bertema komunisme dan Islam radikal. Mulai dari Jihad Sepanjang Hayat (2001), Darus Islam dan Kartosuwirjo (Holk H. Dengel, 1995), hingga Das Capital-nya Karl Marx. Tapi bacaaan-bacaan itu tak kunjung membuat ia radikal, baik sebagai kiri maupun kanan jauh.
Kontra produktif
Kedua, lembaga sensor buku, bisa menjadi kontra produktif dengan gairah yang tengah berlangsung di industri perbukuan. Boleh dibilang, selama ini perkembangan dunia perbukuan tidak pernah diurus serius oleh pemerintah. Nir campur tangan pemerintah. Mereka, para kerani perbukuan dan penerbit jatuh bangun sendiri menghidupkan industri mulia (noble industry) itu . Eh giliran sudah mekar dan berkembang, bukannya memberikan fasilitasi agar semakin maju, justru menekan perkembangan itu dengan sensor buku.
Saya kira sensor yang paling sahih atas suatu buku adalah (calon) pembaca itu sendiri. Pelarangan, pencekalan hanya akan membuat orang tambah penasaran, dan justru tergoda untuk memburu buku yang dilarang itu. Bahkan akan dibela-belain memfoto kopi segala. Seperti yang dahulu pernah terjadi pada karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Dengan demikian sensor buku menjadi tidak efektif. Ia tidak bisa membatalkan niatan seseorang untuk membaca suatu buku, justru akan semakin menguatkan. Yang berlaku kemudian adalah hukum 3 Newton: besarnya tekanan (aksi) berbanding lurus dengan besarnya perlawanan (reaksi).
Belum lagi perselisihan yang bakal terjadi menyangkut kriteria suatu buku tergolong haram atau halal dikunyah. Karena label itu sangat tergantung pada kondisi sosial dan budaya masing-masing daerah—satu sama lainnnya berbeda. Belum tentu ketika masyarakat di suatu tempat meributkan isi satu buku, secara otomatis akan menjadi persoalan atau kontroversi pula di lain tepat.
Industri perbukuan tidaklah hidup dalam ruang hampa udara. Sebagai anak budaya ia senantiasa berkelindan dengan perubahan situasi dan kondisi lingkungan. Termasuk menyangkut tema apa yang halal atau haram diterbitkan. Tentu saja kondisi demikian, pelembagaan sensor buku hanya akan menjadi bibit perselisihan antar (masyarakat) pembaca antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.
Faktor orang atau struktur yang akan terlibat di lembaga sensor itu sendiri juga tak kalah memusingkan. Yakni menyangkut siapa yang dipandang memunyai kompetensi, pengetahuan, wawasan, dan kecakapan di bidang kontra ideologi sekaligus proses kreatif penulisan buku dan teknis penerbitan/percetakan. Taruhlah memasukkan orang perbukuan (penerbit). Bukankah yang begitu malah akan menciptakan peluang pelanggaran, akibat adanya konflik kepentingan?
Cara mengerem paling efektif perkembangan buku bertema jihad, bunuh diri, dan yang sejenis itu bukanlah dengan mendirikan lembaga sensor buku, tapi adalah dengan membiarkannya. Biarkan ia mengikuti mekanisme pasar, seperti yang berlaku saat ini untuk (sebagian) buku-buku bertema kiri. Toh, kini ia tidak lagi begitu laku justru pada saat publik luas tidak menganggap tabu.♦
+ komentar + 2 komentar
wah, jadi inget das kapitalnya karml marx. dulu ada yang gencar melarangnya. namun, segala macam sensor agaknya tak banyak berpengaruh. pembaca makin cerdas. utk apa mesti ada sensor segala. tak bakalan menjadi teroris hanya karena baca2 buku ttg teror. orang juga ndak akan jadi komunis karena baca2 buku kiri. doh! salam kenal juga mas irkham. saya sering baca tulisan sampeyan di media.
saya dapat nama pak sawali dari mas doni riadi (sd alam arridho semarang).katanya beliau pernah diajak mas budi-nya SM ngisi acara yang bapak gagas.
btw,saya sekarang tinggal di Gringsing.kalau teman kopdar,kontak saya ya pak. insyaAllah saya datang.
salam. tks
Post a Comment