Home »
» Lima Kepusingan Generasi Muda
Lima Kepusingan Generasi Muda
Written By Agus M. Irkham on 11 Nov 2009 | 00:02
: agus m. irkham
Dalam sejarah perjalanan bangsa kita, generasi muda senantiasa mememang peran kunci. Mulai terbentuknya organisasi modern Boedi Oetomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), Proklamasi Kemerdekaan (1945), kelahiran Orde Baru (1966), hingga Era Reformasi (1998). Satu sebab mereka berhasil mememang kunci adalah, berupa cara pandang yang sama terhadap sesuatu yang dianggap sebagai masalah, musuh bersama (common enemy).
Sumpah Pemuda misalnya, kesadaran tentang penyebab gagalnya mendupak kolonialisme Belanda, serta tiadanya kebersamaan dan kebersatuan dalam meraih tujuan yang satu, yaitu kemerdekaan, melahirkan ikrar Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa—Indonesia. Spirit Sumpah Pemuda terbukti sukses menjadi ruh mencapai kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Sekarang, setelah 81 tahun, masihkah spirit Sumpah Pemuda tersebut mujarab? Di tengah kehidupan generasi muda yang riuh dengan berbagai persoalan hidup, problem identitas, masalah konsumerisme. Pesta, Cinta, dan Buku. Sebuah frase yang menggambarkan betapa kehidupan generasi muda penuh dengan gairah, warna-warni, sekaligus mengisyaratkan rasa ketertarikan luar biasa terhadap problema kehidupan yang kian beragam.
Satu waktu merenung, menulis, membaca buku, lain waktu larut dalam pembicaraan tentang cinta baik dalam pengertian sempit yakni mencintai lawan jenis maupun dalam arti universial, mencintai kehidupan. Bergelut dengan hidup yang penuh pilihan. Pilihan antara harus bertahan (survive) secara fisik, dengan pilihan guna memberikan arti terhadap perbaikan-perbaikan nasib kemanusiaan secara universal.
Namun, frase tersebut kini telah mengalami penyempitan sekaligus pemburukan makna; Pesta berarti foya-foya, buang-buang waktu, memburu kesenangan, hanya menghabiskan waktu senggang, dan lain-lain aktivitas yang tidak produktif, ramai tapi sejatinya sepi. Penuh, namun sebenarnya kosong. Sepi akan pesta pemikiran dan kosong akan harap dan kecemasan.
Cinta melulu dimaknai sebagai “hubungan khusus” antara pria dan wanita. Mencintai benda (konsumerisme), bahkan mengarah kepada pola hidup hedon. Persentase terbesar dari dua empat jam waktu dalam sehari adalah untuk gerak fisikal, sibuk dengan aktivitas pribadi yang semakin meneguhkan keberadaan fisik bukan kehadiran secara eksistensial. Apalagi generasi muda kini tengah mengalami 5 (lima) bentuk kepusingan.
Pertama, pusing karena tumbuh menjadi generasi ahistoris. Generasi yang mengalami keterputusan sejarah. Ada semacam pameo bahwa sejarah adalah biografi orang-orang besar. Sejarah adalah milik beberapa orang saja. Yakni mereka yang berkuasa saat itu. Contoh yang dekat adalah bangsa kita sendiri, Indonesia. Bagaimana sejarah mengalami dekonstruksi dan konstruksi berulang kali.
Sejarah saat orde lama (Soekarno) dikoreksi oleh orde baru (Soeharto), dan selanjutnya dipaksa lengser oleh orde reformasi (Amin Rais dkk). Kegagalan kita menyajikan sejarah yang jujur mengakibatkan upaya rekonsiliasi, komitmen membangun bangsa, persoalan identitas dan nasionalime tidak pernah bertemu kata usai (final)
Kepusingan kedua, berupa kekuatiran menjadi generasi hilang (lost generation). Disadari atau tidak pendidikan kini telah disettup sebagai fungsi ekonomi. Dan ini sudah ditanamkan sejak seorang anak memasuki jenjang pendidikan dasar. Semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan, diharapkan pendapatan yang akan diperoleh juga semakin tinggi. Tugas orang tua/dewasa adalah memastikan proses transisi dari usia anak, remaja dan memasuki awal dewasa berjalan secara smooth. Maka ketika masuk perguruan tinggi, ya masih tetap sebagai fungsi ekonomi.
Usia muda, yang identik dengan generasi pesta (pemikiran), cinta (kehidupan, kebenaran) dan (membaca)buku, lewat begitu saja. Kalau sudah begini maka yang lahir kemudian adalah generasi-generasi hilang (lost generation), hilang tanpa jejak sejarah. Karena gerak hidupnya semata gerak hidup yang ditujukan untuk semakin memperkuat eksistensi fisik. Secara cepat generasi muda akan 'didorong' pada usia 30 tahun - 40 tahun. Yang artinya usia awal dewasa dan dewasa sudah mereka masuki. Kesempatan membuat sejarah di usia muda, yang identik dengan generasi pesta, cinta dan buku, berlalu begitu saja.
Ketiga, kepusingan akibat kegersangan spiritual. Awalnya, orang menganggap sumber dari krisis adalah ketidakmapanan (materi). Sumber bahagia, keselarasan hidup adalah materi. Maka cara yang ditempuh pun berpijak pada ikhtiar-ikhtiar fisikal/material semata. Pada masa berikutnya, setelah kemampanan didapat. Tapi, ternyata hati yang krisis tersebut tetap saja hinggap. Gaya hidup hedon (dugem, minum, nyandu, free sex), salah satu pemicu utama adalah bermula dari kehampaan spiritual tersebut.
Keempat, kepusingan lantaran ancaman pengangguran (terdidik). Meskipun pendidikan disettup sebagai fungsi ekonomi, nyatanya tetap saja lulusan pendidikan sekolahan mengalami kesulitan ketika mencari kerja. Untuk lebih memberikan gambaran yang jelas. Yaitu ketika pembukaan calon pegawai negeri sipil (CPNS). Mengetahui proporsi antara jumlah pendaftar dan kursi yang disediakan, alasan terpenting para pendaftar (sebagian besar dari kelompok umur generasi muda) adalah betul-betul ingin mendapat pekerjaan (baca: cari makan). Fenomena tersebut sebuah bukti betapa generasi muda ini betul-betul mengalami hopeless.
Kelima, kepusingan akibat carut sengkarut sistem pendidikan. Pendidikan diakui sebagai metode paling efektif melakukan perubahan yang bersifat masif sekaligus berorientasi jauh ke depan. Tapi di sisi lain pendidikan sekolah dicitrakan hanya sebagai 'candu', kapitalistik yang licik. Bagaimana mungkin generasi muda ini bisa belajar dengan baik, di tengah sistem pendidikan sekolah yang centang perenang. Dari mulai pemberlakuan 'pajak kebodohan' (seorang siswa diterima di suatu sekolah/perguruan tinggi jika memberikan sejumlah tertentu uang). Hingga masalah kurikulum yang kerap mengalami revisi.
Buat generasi muda, sungguh ini sebuah suasana dilematis yang membuat kening berkerut. Tentu menjadi pekerjaan yang tidak mudah buat generasi muda sekarang untuk merumuskan satu klausal demi terwujudnya kesatuan komitmen.♦
Post a Comment