Home »
» Berani Beda, Berani Pulang!
Berani Beda, Berani Pulang!
Written By Agus M. Irkham on 11 Nov 2009 | 00:01
: agus m. irkham
Dua pesan kontekstual dari momen Sumpah Pemuda 1928 adalah agar kita, para generasi muda berani untuk berbeda, serta berani untuk pulang (kampung). Saat itu mereka, para pemuda anonimus berani beda dengan golongan tua yang masih pekat dengan nuansa dan kepentingan kelompok (suku, bahasa, agama). Mereka yang sebelumnya tergabung dalam Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Sekar Roekoen, Jong Ambon, Jong Batak, Long Celebes dengan bersemangat meleburkan diri ke dalam Indonesia Moeda.
Prakarsa mereka muncul, jauh sebelum negara dan pemerintah Indonesia ada. Hingga Sindhunata ketika merayakan 1000 tahun Nusantara perlu mengutip kembali orasi kebudayaan penyair Rendra saat di Pergelaran Keraton Yogyakarta, 20 Agustus 1998:
“Kebangsaan Indonesia adalah ciptaan rakyat Indonesia, bukan ciptaan Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia tinggal mewarisi saja dari rakyat. Tahun 1928, tujuh belas tahun sebelum kemerdekaan, beberapa pemuda yang kita tidak ingat lagi namanya atau anonimus, …. Pada waktu itu, pemuda menyatakan prasetya , bahwa kami adalah satu bangsa yaitu bangsa Indonesia, satu tanah air yaitu Tanah Air Indonesia, satu bahasa yaitu bahasa Indonesia…itu dari rakyat....”
Berani pulang. Karena begitu kongres selesai mereka bergegas kembali ke tempat masing-masing. Bersegera menanamkan pengertian kepada publik luas tentang telah terbitnya kesadaran baru perjuangan meretas kemerdekaan: satu nusa, satu bangsa, satu bahasa. Mereka dapat berfikir besar tanpa harus tercerabut dari akar mula mereka lahir, dan bertumbuh.
Sumpah Pemuda 1928 meledak karena adanya kesadaran yang bersifat monoklausal. Ada kesamaan persepsi, mengenai siapa yang harus dijadikan musuh bersama (common enemy), dan kesadaran tentang penyebab utama kegagalan menendang kolonialisme (ketercerai-beraian). Para pemuda saat itu, sadar betul bahwa identitas kebangsaan itu tidak bisa didasari pada diversifikasi rasial dan kultural.
Lantas, apa wujud berani beda, berani pulang dalam konteks kehidupan generasi muda saat ini?
Jika di era ‘20-an gerakan golongan muda merupakan wujud resistensi dan ketidaksetujuan atas pola, dan strategi gerakan golongan tua, maka untuk generasi muda era 2000-an ini sumber resistensi justru berasal dari sesama golongan muda.Gelanggang perjuangan spirit berani beda adalah keberanian untuk hidup mandiri, di saat sebagaian besar golongan muda—lulusan perguruan tinggi—bercita-cita ingin menjadi pegawai negeri atau kerja kantoran. Semangat kemandirian itu lebih kita kenal sebagai jiwa kewirausahaan (entrepreneurship)
Apa sebab, kewirausahaan saya sebut sebagai bentuk kontekstual semangat sumpah pemuda?
Lahirnya kesadaran satu nusa, bangsa, dan bahasa dipicu oleh tiadanya persatuan dan kesatuan mengusir kolonialisme Belanda. Hasil penting sumpah pemuda di satu sisi adalah tercapainya kesimpulan bersama bahwa Belanda adalah musuh bersama, dan di sisi lain disepakatinya satu cara ”tercepat” untuk mencapai kemerdekaan, yaitu persatuan.
Sekarang ini yang menjadi musuh bersama adalah persoalan kemiskinan dan pengangguran. Yang pada akhirnya kualitas hidup masyarakat jadi rendah. Tidak hanya ekonomi tapi juga kualitas partisipasi politik, sosial, dan budaya. Kalau diukur dari sini, Indonesia tergolong negara gagal. Gagal memberikan jaminan kesejahteraan hidup bagi tiap warga negara. Nah, salah satu solusi untuk mengatasi problem kemiskinan dan pengangguran tersebut adalah dengan menjadikan pilihan hidup berwirausaha sebagai jihad akbar.
Menurut Purbayu Budi Santosa (2004), secara sederhana kewirausahaan dapat diartikan sebagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang menuju sukses. Kreatifitas adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang.
David McCleland, seorang psikolog sosial berpendapat suatu negara akan menjadi makmur apabila mempunyai wirausahawan (entrepreuneur) sedikitnya dua persen dari jumlah penduduk. McCleland tidak berlebihan. Paling tidak jika kita membaca struktur masyarakat yang terdapat di beberapa negara manca.
Singapura misalnya. Menurut laporan Global Entrepreuneurship Monitor (GEM) tahun 2005, negara transit ini memiliki wirausaha sebanyak 7,2 persen dari total penduduk (tahun 2001 hanya sebesar 2,1 persen). Amerika Serikat, yang mendapat sebutan lokomotif perekonomian dunia, pada tahun 1983, dengan penduduk sebanyak 280 juta sudah memiliki enam juta wirausaha ( 2,14 persen) dari total penduduknya.
Bagaimana kita? Di Indonesia diperkirakan hanya 400.000 orang yang menjadi pelaku usaha mandiri, sekitar 0,18 persen dari populasi. Padahal menurut rekomendasi McCleland paling kurang kita membutuhkan 4,4 juta wirausaha.
Berani pulang kampung, dalam konteks sekarang adalah keberanian kaum sarjana untuk kembali ke rumah tempat mereka lahir dan besar. Bukannya melakukan migrasi intelektual dengan pergi ke kota yang lebih banyak didorong oleh motivasi bersifat material. Semangat berani pulang adalah semangat yang dimiliki oleh seorang intelektual sejati. Yaitu intelektual, golongan sarjana yang dapat berfungsi di tempat mana pun yang membutuhkan kemanusiaan mereka. Termasuk di kampung asal mereka.
Langkah “bunuh diri sosial” ini sangat diperlukan, mengingat terbatasnya kualitas sumber daya manusia (dilihat dari pendidikan terakhir yang ditamatkan) di kampung, terutama di desa-desa. Akibatnya, masyarakat desa hidup tanpa ada advokasi dan perlindungan atas serangan nilai yang datang dari luar. Kalau kondisi demikian dibiarkan, maka kesenjangan antara kehidupan desa-kota akan terus berlangsung. Padahal persentase terbesar warga negara adalah mereka yang tinggal di desa.♦
Post a Comment