Home » » Melongok Politik Perberasan Kita

Melongok Politik Perberasan Kita

Written By Agus M. Irkham on 8 Mar 2010 | 16:43




Judul Buku :
Politik Beras dan Beras Politik
Penulis :
Purbayu Budi Santosa
Penerbit :
Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Tebal :
xxviii + 289 hlm
Cetakan I :
Maret 2010


”Pengurangan kemiskinan harus dengan program
yang menyentuh langsung mereka yang terjerat kemiskinan.
Sayang, tidak 1 persen pun dari 20 miliar dollar AS
dana Bank Dunia yang mengalir ke kredit mikro.”


—Muhammad Yunus—


Tanda yang sangat kentara bagi hadirnya modernisme akhir (baca: kapitalisme lanjut) adalah pergeseran pola konsumsi dan produksi. Konsumsi yang semula berdasarkan kebutuhan atau nilai guna, bergeser pada nilai tanda (baca: gengsi). Sementara pada sektor produksi, tidak lagi melulu berkutat pada competitive advantage, tapi telah bergeser pada produksi citra (image).

Konsumsi dan produksi kini melaju pada satu titik: hiperealitas. Istilah yang digunakan Baudrillard untuk menjelaskan keadaan runtuhnya realitas, yang diambil oleh rekayasa model-model (citraan, halunisasi, simulasi), yang dianggap lebih nyata dari realitas sendiri, sehingga perbedaan antara keduanya menjadi kabur (Yasraf, 2004).

Dalam bingkai ekonomi, hiperealitas tersebut adalah economic bumble. Kondisi perekonomian yang merujuk pada kondisi besar di luar, tapi kosong di dalam. Apa yang terlihat dari luar, sungguh berbeda dengan apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam.

Salah satu jejak praksis ”ekonomi balon udara” dalam ranah mikro berekonomi—konsumsi—adalah kebijakan pangan (baca: perberasan) di Indonesia
Keinginan pemerintah untuk mengendalikan inflasi—sebagai ukuran kestabilan ekonomi makro—menjadi single digit membuahkan kebijakan: impor beras.

Harga beras di luar negeri memang lebih murah—akibat pengusahaan yang efisien—ketimbang harga di dalam negeri. Tapi bukan berarti hal ini menjadi ayat pembenaran impor. Karena impor yang terus menerus akan berbahaya. Terjadinya peningkatan impor hanya akan memicu kenaikan harga beras internasional. Karena dalam jangka panjang semakin besar ketergantungan terhadap impor, harapan untuk memperoleh pasokan beras murah justru tidak terjamin.

Impor hanya relevan untuk mengendalikan harga dalam jangka pendek. Bukan malah dijadikan salah satu instrumen politis demi memperolah kesan (citra) bahwa pemerintah mampu meraih swasembada pangan (beras). Atau minimal disangka mampu mencipta dan menjaga kestabilan ketersediaan beras.

Stok beras yang diperdagangkan di pasaran dunia hanya 11-12 juta ton per tahun. Atau sekitar 5 persen dari total produksi global. Indonesia jumlah penduduknya besar dan pengeluaran untuk beras sekitar 25 persen dari pendapatan rumah tangga. Sangat riskan jika Indonesia mengandalkan pasokan beras dari pasar internasional. Penekanan terhadap harga kebutuhan pokok (pangan murah), terutama pangan (beras) melalui impor justru menjadi langkah balik komitmen pemerintah merevitalisasi pertanian dan mengangkat hidup petani.

Kebijakan pangan murah (cheap food policy) selama ini menggunakan instrumen operasi pasar. Alasannya berdasarkan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1999, sebagian besar (76 persen) rumah tangga adalah konsumen beras dan hanya 24 persen sisanya produsen beras.

Di perkotaan, konsumen beras sekitar 96 persen atau hanya empat persen saja yang merupakan produsen beras. Di pedesaan, konsumen beras sekitar 60 persen atau hanya 40 persen penduduk desa yang merupakan produsen beras. Implikasinya setiap kenaikan 10 persen harga beras, akan menurunkan daya beli masyarakat perkotaan sebesar 8,6 persen dan masyarakat pedesaan sebesar 1,7 persen atau dapat “menciptakan” dua juta orang miskin baru.

Ironi Petani Indonesia
Bagaimana sebenarnya memahami politik perberasan di Indonesia? Bagaimana mungkin Indonesia, negara agraris (di lihat dari jumlah tenaga kerjanya), yang sebelumnya mampu swasembada berubah menjadi negara pengimpor beras terbesar di dunia. Centang perenang politik perberasan nasional salah satunya bersumber pada struktur pasar beras.

Ternyata struktur pasar beras di Indonesia bersifat oligopolis. Beras yang ada di pasar hanya sekitar 20 persen dari total produksi. Sementara sebanyak 80 persen lagi digunakan petani sebagai produsen untuk dikonsumsi. Kondisi ini mengakibatkan petani selalu dalam posisi tawar yang tidak menguntungkan. Mudah sekali untuk dipermainkan.

Selama ini bentuk intervensi pemerintah terhadap perberasan nasional melalui kebijakan Harga Dasar Gabah (HDG). Kebijakan HDG merupakan komitmen pemerintah untuk menjamin harga pasar, paling tidak sama dengan harga dasar. Kebijakan ini akan efektif apabila ada ketercukupan dana untuk membeli seluruh kelebihan produksi maupun kemampuan menghalangi impor.

Hal mendasar dilakukannya kebijakan harga beras adalah memberikan rangsangan bagi petani untuk berproduksi. Melindungi dan menjamin harga yang layak bagi konsumen, memberikan keuntungan yang wajar bagi pedagang dan pengusaha penggilingan. Dan menciptakan hubungan fluktuasi harga yang wajar di dalam negeri terhadap harga beras di pasar dunia.

Tapi, ternyata implementasinya relatif sulit. Karena volume pengadaan variabel (beras) selalu berubah, sesuai dengan dinamika pasar. Ditambah dengan sifat usaha tani yang sangat tergantung dengan musim/pola musiman panen padi serta jumlah penduduk.

Contohnya ketika musim panen tahun 2000, HDG ditetapkan sebesar Rp1400 per kilogram. Kenyataan di lapangan hanya Rp700-800. Rendahnya harga gabah pada tahun 2000 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat sebanyak 47,96 persen dari 4.825 observasi—menunjukkan harga gabah di bawah/sama dengan harga dasar.
Saat itu banyak petani yang mengeluh bahwa HDG hanya berlaku di subdolog yang sedang melakukan pengadaan pangan nasional. Karena petani tidak bisa berhubungan langsung dengan sub dolog saat menjual gabahnya. Pedaganglah yang menikmati harga dasar gabah tersebut. Sementara petani tidak.

Pemerintah juga tidak serius untuk meningkatkan pendapatan petani melalui HDG. Terbukti setiap kenaikan HDG diikuti pula dengan kenaikan harga pupuk. Belum lagi setiap kenaikan harga dasar gabah selalu diikuti dengan kenaikan harga-harga makanan selain beras, dan sarana produksi tani (saprotan) lainnya.
INTP yang Rendah
Sebenarnya hal mendesak yang perlu dilakukan adalah memperbaiki mekanisme penyaluran beras petani ke dolog, menurunkan harga pupuk dan obat-obatan serta desentralisasi manajemen persedian pangan. Karena tingginya harga pupuk serta saprotan membuat Indeks Nilai Tukar Petani (INTP) menjadi relatif kecil. Berkisar 103 hingga 105.

INTP adalah rasio antara indeks harga yang diterima petani dari pasar terhadap produksi pertaniannya, dengan indeks harga yang dibayar petani untuk mendapatkan sarana produksi pertaniannya, barang serta jasa yang dikonsumsinya. Jika INTP di atas 100, secara implisit menunjukkan tingkat kesejahteraan petani meningkat. Namun bila di bawah 100 yang terjadi adalah sebaliknya. Kesejahteraan petani turun dan cenderung semakin memerihatinkan.

Intervensi pemerintah terhadap perberasan melalui penggunaan tarif (harga dasar) tidak bekerja efektif. Bahkan gagal menjadi instrumen yang dapat melindungi petani. Tarif yang rendah membuat petani semakin terpuruk. Sejalan dengan tidak terbendungnya limpahan beras impor dari negara-negara produsen beras. Petani (Indonesia) justru mati di lumbung (negerinya) sendiri. Ironi.

Ironi perberasan. Entri itulah menjadi isi Bagian Kedua buku yang tengah Anda genggam ini. Beras dalam konteks jalannya roda pemerintahan di Indonesia, memang telah menjadi lema penting, jika tidak mau dikatakan paling penting. Maka bagi siapapun yang memerintah, ia akan ”dipaksa” untuk menomorsatukan persoalan ketahanan pangan (beras). Keberhasilan dan kegagalan suatu kabinet pun (pemerintah) selalu dilekatkan dengan sejauh mana ia bisa memberikan kepastian dan kecukupan pangan—ketersediaan—beras bagi segenap warga negara. Bahkan, penyebab jatuhnya kekuasaan Orde Lama (Soekarno), dan Orde Baru (Soeharto) kalau mau dikejar lebih jauh, ujung-ujungnya disebabkan oleh karena keduanya gagal mempertahankan ”swasembada pangan”. Dari sini lahirlah dua terma kunci: ”politik beras” dan ”beras politik”.

***

Sungguh, saya ingin sekali Anda menjadikan buku ini sebagai “peta” ketika Anda akan memulai meniti jejak perjalanan pembangunan di Indonesia. Terutama setelah memasuki era reformasi. Melalui proses dokumentasi yang tekun, serta pisau analisis yang tajam Prof. Purbayu mampu menampilkan tulisan-tulisan yang tidak saja analitik dan kritis, tapi juga mudah dipahami.

Jika pada Bagian Pertama Anda telah diperlihatkan ”wajah” politik perberasan kita, maka pada bab sebelumnya, Bagian Pertama Anda akan diajak menelisik perkembangan sektor pertanian serta praksis politik pembangunan.

Sejauh ini sektor pertanian, terutama pangan, diposisikan sebagai sektor yang menunjang sektor industri. Artinya demi kemajuan dan berkembangnya sektor industri, sektor pertanian ”dikendalikan”. Pengendalian yang justru melahirkan dua bentuk tekanan-himpitan pembangunan (double squeeze development). Harga produk pertanian dipertahankan rendah agar bisa menunjang proses sektor industri. Tapi pada waktu yang sama, pemerintah tidak mampu menekan harga-harga input pertanian, yang note bene-nya merupakan hasil aktivitas industri. Dua bentuk himpitan pembangunan tersebut telah sukses mengantarkan mayoritas petani dalam kubang kemiskinan dan tekanan hidup.

Kondisi tersebut diperparah dengan strategi politik pembangunanisme (developmentalism) yang mendewakan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada akhirnya memang tinggi, tapi karena minus pemerataan (equality), yang kemudian terjadi adalah yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Jarak ketimpangan pendapatan perkapita riil antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain bisa sangat lebar dan dalam.

Karena itu Prof. Purbayu memberikan rekomendasi untuk memutar arah strategi pembangunan. Yang semula condong ke industri (berteknologi canggih dan berbasis bahan baku impor), beralih ke pertanian (modern, agroindustri). Yang semula kelompok sasaran (target groups) kebijakan lebih banyak untuk masyarakat kota, hendaknya mulai sekarang harus digeser ke kawasan pinggiran (masyarakat pedesaan).

Sementara pada Bagian Ketiga, Prof. Purbayu mengintroduksi tentang betapa pentingnya (jiwa) wirausaha bagi upaya mengurangi—jika tidak bisa dihilangkan sama sekali—tingginya jumlah pengangguran (terdidik) dan kemiskinan. Dan kalau kita mau menilik lebih jauh, ternyata jiwa kewirausahaan tersebut merupakan wujud kontekstual semangat Sumpah Pemuda. Yaitu semangat untuk berani beda dan berani pulang!

Sumpah Pemuda 1928 meledak karena adanya kesadaran yang bersifat monoklausal. Ada kesamaan persepsi, mengenai siapa yang harus dijadikan musuh bersama (common enemy), dan kesadaran tentang penyebab utama kegagalan menendang kolonialisme (ketercerai-beraian). Para pemuda saat itu, sadar betul bahwa identitas kebangsaan itu tidak bisa didasari pada diversifikasi rasial dan kultural.

Lahirnya kesadaran satu nusa, bangsa, dan bahasa dipicu oleh tiadanya persatuan dan kesatuan mengusir kolonialisme Belanda. Hasil penting sumpah pemuda di satu sisi adalah tercapainya kesimpulan bersama bahwa Belanda adalah musuh bersama, dan di sisi lain disepakatinya satu cara ”tercepat” untuk mencapai kemerdekaan, yaitu persatuan.

Sekarang ini yang menjadi musuh bersama adalah persoalan kemiskinan dan pengangguran. Yang pada akhirnya kualitas hidup masyarakat jadi rendah. Tidak hanya ekonomi tapi juga kualitas partisipasi politik, sosial, dan budaya. Kalau diukur dari sini, Indonesia tergolong negara gagal. Gagal memberikan jaminan kesejahteraan hidup bagi tiap warga negara.

Nah, salah satu solusi untuk mengatasi problem kemiskinan dan pengangguran tersebut adalah dengan menjadikan pilihan hidup berwirausaha sebagai jihad akbar. Keberanian memulai berwirausaha inilah yang saya sebut sebagai berani beda. Berani berbeda dengan pilihan sebagian besar orang yang menginginkan bekerja di kantor. Melamar pekerjaan sebagai staf dan karyawan.

Menurut Prof. Purbayu, secara sederhana kewirausahaan dapat diartikan sebagai kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumberdaya untuk mencari peluang menuju sukses. Kreatifitas adalah kemampuan mengembangkan ide dan cara-cara baru dalam memecahkan masalah dan menemukan peluang. Inovasi adalah kemampuan menerapkan kreativitas dalam rangka memecahkan masalah dan menemukan peluang.

David McCleland, seorang psikolog sosial berpendapat suatu negara akan menjadi makmur apabila mempunyai wirausahawan (entrepreuneur) sedikitnya dua persen dari jumlah penduduk. McCleland tidak berlebihan. Paling tidak jika kita membaca struktur masyarakat yang terdapat di beberapa negara manca.

Singapura misalnya. Menurut laporan Global Entrepreuneurship Monitor (GEM) tahun 2005, negara transit ini memiliki wirausaha sebanyak 7,2 persen dari total penduduk (tahun 2001 hanya sebesar 2,1 persen). Amerika Serikat, yang mendapat sebutan lokomotif perekonomian dunia, pada tahun 1983, dengan penduduk sebanyak 280 juta sudah memiliki enam juta wirausaha ( 2,14 persen) dari total penduduknya.

Bagaimana kita? Di Indonesia diperkirakan hanya 400.000 orang yang menjadi pelaku usaha mandiri, sekitar 0,18 persen dari populasi. Padahal menurut rekomendasi McCleland paling kurang kita membutuhkan 4,4 juta wirausaha.

Berani pulang kampung, dalam konteks sekarang adalah keberanian kaum sarjana untuk kembali ke rumah tempat mereka lahir dan besar. Bukannya melakukan migrasi intelektual dengan pergi ke kota yang lebih banyak didorong oleh motivasi bersifat material. Semangat berani pulang adalah semangat yang dimiliki oleh seorang intelektual sejati. Yaitu intelektual, golongan sarjana yang dapat berfungsi di tempat mana pun yang membutuhkan kemanusiaan mereka. Termasuk di kampung asal mereka.

Langkah “bunuh diri sosial” ini sangat diperlukan, mengingat terbatasnya kualitas sumber daya manusia (dilihat dari pendidikan terakhir yang ditamatkan) di kampung, terutama di desa-desa. Akibatnya, masyarakat desa hidup tanpa ada advokasi dan perlindungan atas serangan nilai yang datang dari luar. Kalau kondisi demikian dibiarkan, maka kesenjangan antara kehidupan desa-kota akan terus berlangsung. Padahal persentase terbesar warga negara adalah mereka yang tinggal di desa.

***

“Siapa yang tidak percaya dan merasa tidak bisa,” Ungkap Muhammad Yunus, peraih Hadiah Nobel 2006 untuk bidang Ekonomi. “Hendaknya jangan menghalangi yang merasa bisa dan mampu.”

Ungkapan Yunus terebut memberikan isyarat kepada kita bahwa dirinya yakin bisa dan mampu dengan apa yang telah ia mulai kerjakan—mengentaskan para pengemis di Bangladesh dari kenistaan hidup. Dan keyakinan Yunus terlunasi. Tahun 2006 The Royal Swedish Academy of Sciences mengganjar Muhammad Yunus dengan Hadiah Nobel berkat perjuangannya—melalui lembaga keuangan yang ia rintis sejak berusia 27 tahun, Grameen Bank—Yunus berhasil meningkatkan harkat, martabat, dan kualitas hidup ekonomi rakyat Bangladesh yang sebelumnya tertanam di lubang kemiskinan.

Menariknya, saat ditanya apa yang menginspirasi Yunus hingga mendirikan Bank untuk Pengemis itu. Dengan jujur guru besar ilmu ekonomi kelahiran Chittagong 1940 itu menjawab: “Saya terinspirasi setelah melihat cara kerja Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang memberikan berbagai kredit pedesaan dengan tanggungjawab bersama.”

Jawaban Yunus itu tentu saja membuat kita kaget sekaligus malu. Sepertinya Yunus hendak mengatakan keberhasilan atau kegagalan, sesungguhnya lebih disebabkan oleh sikap mental daripada kapasitas mental.

Kalau dibawa ke ranah yang lebih riil—dalam konteks pembangunan di Indonesia—sikap mental tidak percaya diri terhadap konsep dan strategi pembangunan yang berbasis pada kearifan lokal dan teramat percaya dengan konsep-pemikiran Barat, justru telah sukses mengantarkan bangsa ini pada stagnasi pemerataan kesejahteraan (ekonomi) masyarakat.

Padahal sudah cukup lama juga, Ann Dunham, ibu Barack Obama yang telah banyak menghabiskan waktunya di Indonesia, mengingatkan. “Pemerintah Indonesia,” tulis Ann dalam disertasinya ”Peasant Blacksmiting in Indonesia: Surviving and Thriving Against All Odds (1992), “Terlalu terjebak kepada pemikiran para pakar Barat, yang menganggap sepele dan tidak berarti keberadaan Ekonomi Kerakyatan.”

Pandangan yang pertahankan Ann di jurusan Antropology University of Hawaii at Manoa (UHM) itu ini membantah pandangannya dua orang Indonesianis ternama Boeke dan Geertz, yang menyatakan: pertanian dan industri kecil pedesaan tidak akan memajukan ekonomi rakyat pribumi.

Akibat dari jerat pemikiran yang membelenggu tersebut para pemegang kuasa politik, dan ekonomi di Indonesia justru mengembangkan model pembangunan negara Barat. Padahal model pembangunan itu tidak cocok dengan negara Indonesia.

Meskipun begitu, bukan berarti kita mengharamkan konsep Barat. Kemungkinan untuk kita ambil tetap ada. Hanya saja pelaksanaannya harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi (faktor kelokalan) yang senyatanya ada dan terjadi di Indonesia. Pentingnya belajar dari negara lain—terutama asia dan Amerika Latin serta beberapa tokoh ekonomi peraih Hadiah Nobel—sebagai bagian dari ikhtiar melepaskan perangkap (utang) menjadi fokus Prof. Purbayu pada Bagian Keempat buku ini.

***
Meskipun “Politik Beras, dan Beras Politik” merupakan buku kumpulan tulisan, linearitas tema, konsistensi sikap, dan penjelasan yang diberikan penulisnya masih tetap menuju pada satu lokus: Politik Pertanian, Kemandirian, dan Pembangunan. Jika di sana-sini masih ditemukan semacam pengulangan-pengulangan, maka sesungguhnya itu untuk menunjukkan betapa yang diulang tersebut sangat penting kedudukannya.

Terakhir, mudah-mudahan setelah Anda selesai mendaras buku ini, Anda akan menjadi lebih mafhum mengapa ada banyak paradoks, dan kontradiksi terjadi di negeri ini. Nah, dari titik kepahaman dan kesadaran terhadap anomali itu, Anda bisa meneruskan perjalanan: menentukan diri akan berada di posisi mana, akan mengambil inisiatif sebagai apa, dan hendak terhimpun dalam barisan yang mana. Menjadi bagian dari solusi atau sebaliknya, ironi!♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger