Home » » Minat Baca Anak Indonesia

Minat Baca Anak Indonesia

Written By Agus M. Irkham on 10 Aug 2010 | 18:56



: agus m. irkham

Membaca buku itu penting! Ini semua orang tahu, dan pasti setuju. Oleh sebab itu menjadi sangat beralasan, mengenalkan buku dan kegiatan membaca pada anak-anak. Karena dengan kebiasaan dan kecintaan membaca sejak dini, mereka ketika memelajari apapun akan menjadi lebih mudah. Semakin tinggi kemampuan dan kecintaan terhadap kegiatan membaca, akan semakin tinggi pula tingat kesenangan dan kegembiraan anak-anak ketika belajar. Mereka akan lebih mudah memahami setiap pelajaran di sekolah. Yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi akademik.

Pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana dengan minat baca anak Indonesia?

Berdasarkan riset lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in International Reading Literacy Study, yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.

Ada tiga realita, paling kurang, di balik fakta temuan PIRLS tersebut. Pertama, jumlah perpustakaan Sekolah Dasar di Indonesia masih sangat sedikit. Mengapa demikian? Karena mayoritas anak kenal, dan membaca buku adalah dari perpustakaan sekolah. Meskipun sekarang ini Taman Bacaan Masyarakat sudah bertebaran di mana-mana.

Berdasarkan data terakhir, di Indonesia terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Artinya, jika tiap sekolah memiliki satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan oleh UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, maka ada 169.031 perpustakaan. Jika kondisi demikian dapat terwujud, tentu anak-anak akan memperoleh kemudahan dalam mengakses bahan bacaan. Dan pasti hasil riset PIRLS akan berbicara lain.

Tapi yang terjadi tidak begitu. Di Indonesia, Sekolah Dasar yang memiliki perpustakaan baru sekitar 1 persen lebih sedikit. Persentase sekecil itu pun belum ditilik lebih dalam. Jika iya, saya pastikan angkanya akan semakin menciut. Misalnya menyangkut seberapa banyak koleksi buku yang dipunyai. Apakah keragaman bacaan yang dimiliki sudah cukup memenuhi harapan pemustaka. Bagaimana kondisi fisik perpustakaan (sarana), dan prasarana lainya (buku, rak buku, sistem pengolahannya).

Belum lagi jika pertanyaan kunci ini dilontarkan pula: apakah petugas yang mengelola perpustakaan adalah pustakawan, atau sekadar guru non job yang dikaryakan. Sehingga perpustakaan yang ada sekadar menjadi tempat buku-buku berhimpun, bertumpuk-tumpuk, kumal, terselimuti debu tebal. Tanpa ada program-program kreatif dan gila yang ditujukan untuk memarketing-kan perpustakaan.

Realita kedua dari fakta rendahnya minat baca anak Indonesia adalah karena tidak ada integrasi yang nyata, jelas, dan tegas antara matapelajaran yang diberikan dengan kewajiban siswa untuk membaca. Siswa tidak diberi keleluasaan dan kebebasan untuk mencari sumber pemelajaran di luar buku teks yang digunakan oleh guru.

Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki standar minimal tentang bacaan wajib buku yang harus dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah itu berdasarkan jumlah (quantity) maupun judul-judul tertentu (quality). Alih-alih secara bertahap dan rutin ada pengecekan tingkat kemajuan bacaan siswa, baik yang menyangkut bacaan yang diwajibkan (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), dan bacaan menyangkut pengetahuan umum (general knowledge).

Sekadar cermin: perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku!

Realita ketiga, rendahnya minat baca anak Indonesia karena, pengalaman pramembaca dan membaca (berkenalan dengan buku) yang dialami anak kurang menyenangkan, jika enggan menyebutnya buruk. Buku, sebagai media teks yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat minat baca dikenalkan pada anak-anak dengan cara yang tidak menarik. Bahkan menimbulkan pengalaman yang traumatik.

Biasanya mereka dikenalkan pada buku untuk pertama kalinya adalah berupa buku pelajaran yang tebal (menurut ukuran anak), sudah begitu, isinya melulu tulisan, ukuran hurufnya pun kecil-kecil, tidak ada gambarnya lagi. Tentu saja keharusan membaca buku yang demikian, laksana menyuruh anak untuk membenci buku secara berjamaah.

Namun giliran anak-anak tengah mendapatkan keasyikan membaca buku, meskipun dalam bentuk komik atau cergam (cerita bergambar), buru-buru—terutama para orangtua—melarang keras, disertai semburan kata ancaman. Difatwakan pada anak-anak bahwa membaca komik dan cergam hanya akan membuat si anak malas belajar dan bodoh. Padahal komik bisa menjadi pintu masuk bagi anak untuk mengembangkan imajinasi, serta ragam bacaannya tingkat yang lebih luas dan tinggi. Karena apa yang dibaca sesungguhnya mengikuti perkembangan wawasan, cara berfikir, dan kebutuhan pembacanya.

Di luar itu, promosi yang buruk dari orangtua tentang buku pada anak juga turut menyukseskan rendahnya minat baca anak. Promosi buruk itu berupa ketiadaan bahan bacaan di rumah, serta minusnya keteladanan dari orangtua.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger