Home » » Peluang Usaha Kerani Pustaka

Peluang Usaha Kerani Pustaka

Written By Agus M. Irkham on 1 Aug 2010 | 15:56


: agus m. irkham

PENGANTAR
Kebetulan sabtu, 5 juni saya diminta jurusan perpustakaan UNDIP, semarang untuk menjadi salah satu narasumber seminar nasional bertajuk “Peluang Bisnis dalam Perpustakaan”. Seminar yang berlangsung di Gedung Prof. Soedarto, Tembalang, Semarang, yang diikuti tak kurang 200 peserta itu—sebagian besar mahasiswa perpustakaan—menghadirkan pula Dr. Ir. Putut Irwan Pudjiono, M.Sc selaku kepala PDII LIPI) dan Dra. Ninis Agustini Damayani, M. Lib (sekprog Magister IIP UNPAD).

Berikut adalah petikan makalah yang saya sajikan.
----------------------------------------------

Ada tiga syarat kunci paling tidak, agar aktivitas bisnis atau wirausaha bisa dicangkokkan di dalam perpustakaan. Tanpa ada tiga asumsi kunci itu, maka kegiatan bisnis di perpustakaan, saya pastikan akan berhenti hanya pada kata peluang, untuk tidak menyebut wacana. Di luar itu, aktivitas bisnis justru bisa menjadi pemicu timbulnya perpecahan di antara para kerani buku itu sendiri.

Apakah tiga faktor kunci itu?

Pertama adalah berkaitan dengan payung hukum (aturan tertulis). Dibenarkan atau tidak di dalam perpustakaan ada kegiatan bisnis, atau aktivitas yang memang diarahkan pada perolehan keuntungan dan pendapatan ekonomi (uang). Ini harus clear dulu. Karena, seperti yang sudah kita ketahui, keberadaan perpustakaan selalu disandingkan dengan misi mencerdaskan anak bangsa. Dan di dalam upaya mencapai misi itu perpustakaan (biasanya) diharamkan untuk mencari keuntungan ekonomi. Kalau ternyata berdasarkan aturan tertulis tidak boleh, ya jelas upaya menindihkan aktivitas bisnis ke dalam perpustakaan akan menjadi sulit, jika enggan menyebutnya mustahil. Jika tidak ada payung hukum yang jelas dan kuat—yang membolehkan—otomatis pembicaraan mengenai peluang usaha dalam perpustakaan kita hentikan sampai di sini saja.

Faktor kunci kedua adalah berupa kesediaan tiap orang yang berkerja di perpustakaan (staf, karyawan, dan terutama pustakawan) untuk mentransformasi diri. Dari yang semula bermental pekerja, menjadi bermental pebisnis, atau dengan kata lain memiliki jiwa wirausaha. Menurut Prof. Purbayu, Guru Besar Fakultas Ekonomi UNDIP, sekaligus pegiat studi Ekonomi Kelembagaan, identifikasi seseorang yang memiliki jiwa wirausaha, meliputi antara lain: Pertama, penuh percaya diri. Indikatornya penuh keyakinan, optimis, berkomitmen, disiplin bertanggungjawab. Kedua, memiliki inisiatif. Ukurannya adalah penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif. Ketiga, memiliki motif berprestasi, terdiri atas orientasi pada hasil dan berwawasan ke depan. Keempat memiliki jiwa kepemimpinan. Parameternya adalah berani tampil beda, dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak. Dan yang kelima, berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan, oleh karena itu menyukai tantangan.

Syarat ketiga, yang harus dipenuhi agar aktivitas bisnis bisa jalan di perpustakaan adalah berupa adanya sistem (mekanisme, prosedur) yang adil, terbuka, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan. Terutama dari segi keuangan. Dan yang begini ini mengandaikan adanya seorang pemimpin yang mampu memetakan kondisi anak buahnya. Baik menyangkut penguasaan hardskill, softskill, maupun potensi yang bisa create dari kedua jenis penguasaan itu. Sistem yang baik akan mencegah terjadinya perasaan dizalimi (diperlakukan tidak adil), tiap orang memiliki kesamaan untuk maju, berkembang, serta kesempatan mengaktualisasikan diri.

Tanpa sistem yang baik, maka usaha bisnis justru hanya akan memicu terjadinya kecemburuan dan sak wasangka antar karyawan, staf, dan pustakawan. Dan besar kemungkinan, rentetan kejadian yang bakal berlaku adalah turunnya tingkat kualitas layanan pada pemustaka. Tentu saja ini harus dihindari. Jangan sampai layanan inti (dasar, basis) perpustakaan yang merupakan menu utama, justru terganggu akibat layanan bumbu (tambahan).

Dan tidak kalah penting, jalannya sistem ini harus dikomandani oleh sosok pimpinan yang kuat. Dalam pengertian ia mampu memaksa (mengerem) anak buahnya yang kelewat maju untuk berhenti sejenak—membatasi seringnya keluar memenuhi undangan menjadi pembicara atau narasumber workshop—dengan memberikan kesempatan pada orang lain untuk turut maju pula. Karena tanpa kehadiran sosok pimpinan yang kuat, maka yang kemudian bakal terjadi adalah yang pinter bakal tambah pinter, yang kuper kian kuper.

Tapi konsekuensi, secara ekonomi (gaji), kesejahteraan hidup golongan pustakawan yang kelewat maju harus dipenuhi. Tanpa itu, sangat sulit menahan mereka untuk menolak, atau memberikan kesempatan pada orang lain untuk menggantikan dirinya sebagai pembicara dan trainer. Pengereman itu juga penting agar kapasitas yang dimiliki para kerani pustaka ini lebih banyak dimanfaatkan dan difokuskan pada penguatan dan pengembangan institusi. Berorientasi ke dalam, bukan keluar. Harapannya yang akan terbangun kemudian adalah tidak semata-mata kredibilitas personal, tapi tidak kalah penting dengan itu adalah kredibilitas komunal (lembaga).

Setelah ketiga syarat tersebut ada, maka baru kita bisa meneruskan pembicaraan ke bentuk-bentuk nyata potensi usaha yang bisa dikembangkan di perpustakaan.

Secara garis besar jenis usaha yang bisa dijalankan diperpustakaan dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, yang bersifat rutin. Kedua, isidental. Ketiga, membership (sistem keanggotaan pemustaka). Oke, kita mulai dari yang pertama terlebih dahulu.

Bisnis yang bisa dijalankan secara rutin ini dapat dibagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu perpustakaan dan non perpustakaan. Rutin di sini dalam pengertian kontinue, terus berkelanjutan (setiap hari/waktu). Termasuk ke dalam bisnis rutin perpustakaan adalah mulai dari foto copy, copy data, layanan informasi, hingga denda. Sedangkan yang termasuk bisnis rutin non perpustakaan misalnya, warung internet (warnet), kantin atau cafe, toko buku kecil, yang kesemuaannya dapat digolongkan ke dalam layanan tambahan atau pendukung perpustakaan.

Itu yang pertama, bagaimana yang kedua?
Peluang usaha kategori isidental yang dapat dikembangkan diperpustakaan misalnya dengan menggelar beragam pelatihan atau workshop. Mulai dari workshop sistem kemas ulang informasi, katalogisasi, pelatihan membaca capat, workshop menulis, setup perpustakaan keluarga (rumah), hingga program pustaka di radio atau televisi. Waktu penyelenggaraan workshop sepenuhnya ditentukan sendiri oleh perpustakaan. Bisa dengan sehari selesai, atau yang bersifat kelas dan sistem paket. Misalnya untuk workshop menulis tingkat dasar terdiri atas 4 kali pertemuan, dan berlangsung sepekan sekali. Sedangkan tingkat lanjut 8 kali pertemuan, dan berlangsung sepekan dua kali. Kelonggaran menentukan waktu itulah mengapa usaha bisnis ini digolongkan bersifat isidental.

Selain workshop, kegiatan bisnis isidental lainnya adalah berupa pameran. Apapun itu, selama berkaitan dengan perpustakaan (informasi dan buku). Taruhlah pameran buku. Tentang pameran buku ini beragam varian bisa dihelat. Misalnya pameran buku tematik, berdarakan asal penerbit, berkaitan dengan perayaan tertentu (World Book Day, Hari Buku Nasional, Bulan Bahasa, Hari Aksara Nasional, Hari Perpustakaan (?), bazar buku-buku impor, pameran buku diskin dan yang sejenis dengan itu)

Kin tentang sistem keanggotaan. Apa pasal membership saya masukkan sebagai varian bisnis yang bisa diterapkan di perpustakaan?

Begini ceritanya. Sistem keanggotaan bisa dibuat secara bertingkat. Misalnya bronze (perunggu), silver (perak), gold (emas). Pembedaan tiap tingkatan didasarkan pada fasilitas layanan yang diberikan. Misalnya mulai dari jumlah eksemplar buku yang boleh dipinjam, durasi jam pemakaian fasilitas internet, selain itu bisa pula meminjam koleksi lainnya, misalnya DVD dengan jumlah yang ada pembedaannya pula.

Sistem membership bertingkat dapat mendatangkan cash flow secara cepat. Hitung-hitungan matematika ekonominya seperti ini. Sebagai contoh, ada 1000 anggota dengan jenis keanggotaan gold, dengan harga Rp100.000 (jenis dan angka ini hanya untuk memudahkan penghitungan saja). Membership tersebut berlaku selama 1 tahun. Artinya ada uang kas masuk sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Taruhlah lamanya waktu peminjaman buku maksimal 2 minggu. Berarti dalam setahun, tiap anggota memiliki kesempatan meminjam minimal sekitar 26 kali. Perpustakaan akan ”merugi” jika tiap pemustaka siklus pinjam-mengembalikan kurang dari satu minggu. Misalnya seminggu sekali (berarti dalam setahun 52 kali meminjam buku).

Tapi pada kenyataannya, tidak semua pemustaka, bahkan hanya sebagian kecil saja yang rentang masa pinjam kembali kurang dari 2 minggu. Mayoritas mereka 2 minggu sekali. Jadi lebih kepada alasan agar tidak kena denda. Nah tentu saja ini menguntungkan buat perpustakaan.

Berikutnya, ternyata dari 1000 pemustaka tersebut yang betul-betul aktif menggunakan/memanfaatkan keanggotaannya (biasanya) kurang dari 50 persennya. Artinya perpustakan dalam kondisi tersebut sudah untung Rp50.000.000 berasal dari ”sumbangan” pemilik kartu keanggotaan yang nganggur.

Bagaimana? ”Bisnis membership” sangat menguntungkan bukan? Apalagi jika mau dikembangkan lagi, misalnya dengan bekerja sama dengan lembaga perbankan.. Bentuk kerjasama itu misalnya, kartu membership bisa difungsikan pula sebagai kartu debet. Sehingga ketika ada keterlambatan pengembalian, secara otomatis, saldo yang terdapat di kartu akan terdebet. Dan jika habis, bisa ”mengisi ulang” kembali.

Selain dengan lembaga perbankan, kerjasama mengenai membership ini juga bisa dilakukan dengan menggandeng para merchand. Misalnya kartu anggota bisa dimanfaatkan pula sebagai kartu diskon untuk pembelian buku, dan rak buku. Dan masih banyak lagi kemungkinan kerjasama yang bisa dilakukan.

Semua itu tadi peluang usaha yang bisa dikembangkan di perpustakaan. Lantas bagaimana halnya dengan peluang bisnis/wirausaha yang bisa dilakukan oleh para (sarjana) kerani pustaka? Modal penting apa yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan agar ia bisa berlaku dan berfikir laksana seorang wirausahawan?

Tentang ini saya punya sedikit cerita. Sekitar awal Mei 2010 saat berada di perayaan hari buku sedunia (World Book Day Indonesia) saya bertemu dengan Edi Dimyati. Edi bekerja sebagai pengelola dokumentasi di majalah remaja ”HAI” Jakarta. Pekerjaan Edi tidak jauh-jauh amat dari latar belakang pendidikannya, yaitu sarjana ilmu perpustakaan. Menariknya Edi baru saja meluncurkan buku pertamanya berjudul
Panduan Sang Petualang: 47 Museum Jakarta. Sesuai dengan judulnya, buku ini memuat profil 47 museum di Jakarta. Oleh Edi, ke-47 museum tersebut diklasifikasikan menjadi 10 kategori.

Edi menampilkan profil tiap museum tidak dari segi kulitnya (luar-formal), atau data kerasnya, seperti kapan museum berdiri, terbagi menjadi berapa ruang, dan lain-lain yang sejenis itu, layaknya buku panduan selama ini yang dibuat pengurus museum, tapi lebih ke data lunaknya. Pembahasan tiap museum dilengkapi dengan foto-foto eksklusif-berwarna (karena memang secara khusus dikerjakan oleh juru foto profesional), fakta-fakta menarik dan unik yang jarang sekali orang tahu, serta profil komunitas yang bertalian erat dengan museum.

Lantas apa hubungannya antara wirausaha dengan Edi yang menulis buku?

Hasil pembacaan saya atas ”fenomena Edi” tersebut kira-kira seperti ini: kemampuan inti yang musti dipunyai seorang pustakawan adalah: katalogisasi, dokumentasi, dan klasifikasi—kalau salah mohon dikoreksi. Selama ini teks, terutama yang berbentuk buku menjadi objek utama dari ketiga ranah penguasaan hard skill itu. Akibatnya, pustakawan lebih banyak berada di belakang meja. Kuper alias kurang pergaulan. Menarik diri dari pikuk kehidupan. Tersembunyi di balik tumpukan buku dan gunungan arsip/dokumentasi. Dalam konteks itu, seberapa besarpun capaian yang telah diraih oleh seorang kerani perbukuan (pustakawan), tetap saja ia berposisi sebagai konsumen, bukan produsen. Masih menjadi user, bukan producer. Belum bisa memberikan nilai (value).

Buat Edi Dimyati, ketiga bentuk keterampilan inti tersebut cakupannya diperluas. Tidak semata-mata hanya digunakan untuk menangani teks, tapi lebih dari itu, yaitu konteks. Perspektifnya tidak sempit. Tidak hanya terbatas pada ruang perpustakaan atau gudang arsip, tapi diperluas hingga di dunia luar sana, yaitu lapangan kehidupan.

Edi berhasil mengambil hal-hal yang substansial dari ketiga bentuk keterampilan basis tersebut. Nampak jelas, Edi menempatkan museum-museum yang berada di Jakarta sebagai ”teks-teks” yang bisa didekati, diolah, serta dikemas dengan pendekatan ilmu perpustakaan. Hasilnya? Buku ciamik berjudul 47 Museum Jakarta itu dapat dihadirkan. Bergeserlah peran Edi yang semula konsumen bacaan, kebetulan ia bekerja sebagai penata dokumentasi (sulih istilah pustakawan) di Majalah HAI Jakarta, kini menjadi produsen bacaan. Kecintaan terhadap profesi ”mendesak” Edi melakukan transformasi diri.

Jadi jelasnya modal penting apa yang harus ada agar seoranga (calon) pustakawan memiliki semangat wirausaha—dalam konteks peluang bisnis dalam perpustakaan—adalah rasa cinta. Cinta terhadap pustaka, dan pernik-pernik sistem dan disiplin kerja yang melingkupinya.

Kembali lagi ke pembahasan tentang semangat wirausaha dalam konteks tema seminar hari ini ”Peluang Bisnis dalam Perpustakaan”, saya akan membedahnya dengan mengajukan 3 (tiga) pertanyaan mendasar. Pertama, apa sebenarnya definisi (makna) wirausaha itu? Kedua, mengapa wirausaha penting? Peluang-peluang apa saja yang dapat dimasuki, dikerjakan, dan dikembangkan oleh seorang sarjana perpustakaan. Dengan deskripsi yang berbeda: apa yang bisa dikerjakan bukan bekerja sebagai apa.

Ada baiknya saya mulai dengan menjawab pertanyaan pertama. Secara harfiah (makna teks) entry wirausaha disamakan artinya dengan lema wiraswasta. Yaitu orang yang pandai atau berbakat mengenali produk (dan atau jasa) baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya, serta mengatur modal operasinya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua). Jadi berdarkan makna tektual tersebut, seorang wirausahawan (entrepreneur) itu beda maknanya dengan ”pengusaha”.

Seorang pengusaha adalah hanya semata-mata menjadi orang yang punya usaha atau memperdagangkan sesuatu. Dan sesuatu itu dari segi karakteristik produk, cara produksinya tidak mengandung unsur kebaruan. Tidak ada value (nilai) baru yang muncul dari produk yang diusahakan tersebut. Ini berbeda dengan wirausahawan. Ia mampu menciptakan value baru, yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai inovasi. Buah dari cara berfikir yang kreatif.

Batasan makna wirausaha di atas akan membantu Anda untuk menciptakan, mengembangkan, dan fokus kepada satu atau dua jenis usaha. Baik produk maupun jasa.

Itu tadi tentang batasan pengertian wirausaha. Sekarang kita beranjak ke pertanyaan kedua, mengapa wirausaha itu penting? Jawaban atas pertanyaan ini juga bisa membantu para (calon) sarjana ilmu perpustakaan memunculkan semangat/motivasi untuk berwirausaha.

Ada 2 (dua) alasan yang dapat saya ajukan, apa sebab wirausaha itu penting. Alasan pertama, ini sekaligus alasan klise dan klasik, yaitu sempitnya lowongan pekeraan—secara umum. Dengan kata lain, karena pertumbuhan angkatan kerja melampui pertumbuhan kesempatan kerja, dapat dipastikan banyak angkatan kerja yang tidak terserap alias menganggur. Dan yang demikian terjadi pula pada golongan sarjana atau lulusan perguruan tinggi. Tentang tingginya tingkat pengangguran kaum intelektual ini, mari kita simak beberan perangkaan berikut ini.

Pada 2005, sarjana yang menganggur sebanyak 183.629 orang. Setahun kemudian, yakni 2006 tercatat 409.890 lulusan tidak memiliki pekerjaan. Pada tahun 2007, jumlahnya sekitar 740.000, awal tahun 2009 bertambah mendekati angka satu juta atau lebih dari 900.000 sarjana yang menganggur. Dan sampai dengan Agustus 2009
jumlah pengangguran dari kalangan sarjana telah meningkat menjadi 13,08 persen.
Jadi tren kenaikan rerata pertahun sarjana menganggur di Indonesia sekitar 20 persen. Tentu saja, kenyataan ini bisa menjadi bom waktu, mengingat setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi.

Memang, berdasarkan UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan mengharuskan tiap sekolah mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga SMA harus memiliki perpustakaan. Bahkan secara eksplisit ada satu pasal yang menyatakan minimal 2 persen dari anggaran belanja sekolah harus dialokasikan ke pengembangan perpustakaan sekolah.

Berdasarkan data terakhir, di Indonesia terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah (32.962), Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah serta Sekolah Menengah Kejuruan (17.792). Jumlah seluruh sekolah tingkat dasar dan menengah tersebut adalah 219.785. Jika sekurang-kurangnya diperlukan satu orang saja tenaga (teknis) perpustakaan di tiap-tiap sekolah, maka seluruh sekolah tersebut memerlukan sebanyak 219.785 orang/pustakawan.

Tentu saja hitung-hitungan, keharusan dan kejelasan anggaran tersebut memunculkan rasa optimisme tersendiri buat para sarjana perpustakaan. Optimisme itu didasarkan pada tingkat kepastian bahwa mereka akan diterima bekerja sebagai pustakawan di sekolah-sekolah. Tapi harap diingat, ini Indonesia bung! Apa-apa yang tertulis dan sudah menjadi keputusan (kebijakan), dalam kenyataannya belum tentu akan dilaksanakan.

Mau bukti? Paling dekat, sudah hampir tiga tahun UU Perpustakaan diluncurkan, belum juga PP (Peraturan Pemerintah)-nya keluar. Padahal PP menjadi syarat sekaligus acuan bagi dikeluarkannya peraturan/landasan hukum di bawahnya (daerah) yang lebih bersifat menyeluruh dan aplikatif. Belum lagi silang sengkarut—mungkin lebih tepat disebut permasalahan dan tantangan—yang tengah berlangsung di tubuh kepustakaan Indonesia sendiri. Mulai soal profesionalisme pustakawan, akuntabilitas dan kredibilitas, pendanaan dan standardisasi, serta landasan ilmu dan pemanfaatan teknologi informasi.

Jadi, lebih baik optimisme itu jangan terlalu tinggi-tinggi deh!

Dalih kedua, mengapa wirausaha patut dilirik para sarjana (perpustakaan), tak lain tak bukan adalah lantaran kesempatan yang terbuka sangat lebar. Ini berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan yang lebih besar, yaitu turut ambil bagian ”membantu” pemerintah mengatasi angka pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Sampai dengan tahun 2006, jumlah entrepreneur di Indonesia baru mencapai 0,18 persen atau hanya memiliki 400.000 entrepreneur dari jumlah penduduk 220 juta. Padahal untuk mencapai negara yang dianggap makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah entrepreneur menjadi 1,1 persen atau menjadi 4,4 juta entrepreneur.

David McCleland, seorang psikolog sosial berpendapat suatu negara akan menjadi makmur apabila mempunyai wirausahawan (entrepreuneur) sedikitnya dua persen dari jumlah penduduk. McCleland tidak berlebihan. Paling tidak jika kita membaca struktur masyarakat yang terdapat di beberapa negara manca. Singapura misalnya.Menurut laporan Global Entrepreuneurship Monitor (GEM) tahun 2005, negara transit ini memiliki wirausaha sebanyak 7,2 persen dari total penduduk (tahun 2001 hanya sebesar 2,1 persen). Amerika Serikat, yang mendapat sebutan lokomotif perekonomian dunia, pada tahun 1983, dengan penduduk sebanyak 280 juta sudah memiliki enam juta wirausaha ( 2,14 persen) dari total penduduknya (Purbayu, 2009).

Jadi, dengan bahasa yang sedikit hiperbolis, kalau Anda ingin berkontribusi kepada bangsa dan negara, maka salah satu jalannya adalah dengan menjadi entrepreneur. Paling kurang selfemployee alias memperkerjakan sendiri. Sehingga bisa mengurangi angka pengangguran. Meskipun satu orang.

Terbukanya pintu usaha bisnis juga didorong oleh perkembangan teknologi informasi, terutama internet. Internet memungkinkan bisnis dijalankan dari kamar tidur (kos). Anda tidak perlu mengontrak, alih-alih membeli gedung untuk kantor yang bisa memakan dana puluhan hingga ratusan juta. Demikian pula untuk proses produksi, agar bisnis jalan Anda tidak perlu menunggu harus memiliki pabrik dan gudang sendiri. Hingga proses distribusi pun, Anda tidak harus menuggu hingga memiliki mobil sendiri. Maka ada istilah ”SOHO”, akromin dari small office home office. Idiom yang mengacu pada pengertian bahwa bisnis bisa dijalankan dari rumah. Berkantor di rumah menjadi sesuatu yang lumrah.

Untuk lebih dapat memberikan gambaran nyata sekaligus menjawab pertanyaan ketiga, bidang garap apa (bisnis) yang bisa dimasuki oleh para sarjana perpustakaan, berikut akan saya berikan (sekadar) contoh. Yaitu bisnis rak buku yang saya integrasikan dengan layanan jasa kepustakaan. Lebih lengkap

Contoh lain?

Banyak! Beberapa diantaranya: bisa menjadi penerbit buku, agen naskah (literary agent), editor, penerjemah, penulis, instruktur (tutor) tentang budaya baca dan manajemen perpustakaan, pengembang software sistem otomasi perpustakaan, pembuat sistem pangkalan data, guru menulis, jurnalis, dan peneliti.

Beragam profesi yang besar kemungkinan bisa dikekola dengan pendekatan manajemen bisnis modern itu—artinya skala ekonominya dapat diperbesar—saya turunkan dari kelengkapan kecakapan yang harus dimiliki oleh seorang sarjana (informasi) dan perpustakaan yang meliputi: problem solving, information literacy, speaking, independent work, group work, writing, dan reading. Jadi tidak semata-mata mahir dalam keterampilan utama (hard skill), tapi juga keterampilan penunjang (soft skill). Lantaran

sarjana yang menganggur mayoritas disebabkan oleh rendahnya soft skill atau keterampilan di luar kemampuan utama dari sarjana yang bersangkutan.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger