Home » » Ujian Nasional dan Minat Baca Siswa

Ujian Nasional dan Minat Baca Siswa

Written By Agus M. Irkham on 1 Aug 2010 | 02:42


: agus m. irkham
—pernah termuat di Suara Merdeka—

Hasil Ujian Nasional (UN) 2010 untuk SMA telah diumumkan. Ada banyak kegembiraan lantaran lulus. Tapi ada juga kabar sedih karena gagal. Nilai yang diperoleh di bawah standar minimal kelulusan. Akibatnya, tidak bisa ditawar lagi: harus mengulang. Menariknya, persentase terbesar matapelajaran (mapel) yang harus diulang adalah Bahasa Indonesia. Mapel yang selama ini oleh siswa dianggap paling mudah. Yang tak kalah menarik, buat mereka yang nilai Bahasa Indonesia-nya lulus pun, rata-rata nilainya paling rendah dibandingkan dengan mapel lainnya.

Seperti yang terjadi di Jawa Tengah (Suara Merdeka 5/5), tidak ada siswa dari seluruh SMA/MA di 35 kabupaten/kota yang mendapatkan nilai mapel Bahasa Indonesia 10 (sempurna). Baik dari Jurusan IPA, IPS, ataupun Bahasa. Pada program IPA, rata-rata Bahasa Indonesia 7,86 (Kabupaten Purbalingga), Bahasa Inggris 8,40 (Kabupaten Demak), Matematika 8,13 (Kabupaten Demak), Fisika 8,67 (Kabupaten Demak), Kimia 8,81 (Kota Tegal), dan Biologi 8,42 (Kabupaten Kudus).

Untuk program IPS, rata-rata Bahasa Indonesia 7,39 (Kabupaten Banjarnegara), Bahasa Inggris 7,95 (Kabupaten Demak), Matematika 8,49 (Kota Pekalongan dan Kabupaten Demak), Ekonomi 7,74 (Kabupaten Demak), Sosiologi 7,53 (Kabupaten Demak), Geografi 6,90 (Kabupaten Kendal).

Sedangkan program Bahasa, rata-rata Bahasa Indonesia 7,39 (Kabupaten Pekalongan), Bahasa Inggris 8,84 (Kabupaten Rembang), Matematika 9,46 (Kabupaten Peka-longan), Sastra 7,78 (Kabupaten Boyolali), Antropologi 7,37 (Kota Magelang), Bahasa Asing 9,39 (Kabupaten Batang).

Pertanyaan pentingnya, mengapa bisa terjadi demikian?

Kesalahan negarakah (pemerintah)—politik Bahasa Indonesia? Seperti yang pernah ditulis Suara Merdeka di lembar Tajuk Rencana-nya (1/5). Atau akibat dari sikap para siswa yang meremehkan (menggampangkan) mapel Bahasa Indonesia? Pernah suatu kali, kolega saya yang kebetulan guru mapel Bahasa Indonesia di suatu SMA Negeri di Kabupaten Batang mengeluh, karena para siswanya berlaku kurang ajar, sepertinya tidak butuh diberi pelajaran Bahasa Indonesia.

Atau para siswa ini semata-mata hanya korban? Korban dari model pemelajaran Bahasa Indonesia yang tidak menarik, jika tidak mau disebut membosankan. Jadi nilai buruk itu sekadar akibat, bukan sebab.

Berderet kemungkinan sebab itu bisa saja benar. Tapi bisa aja meleset, meskipun tidak seluruhnya salah. Tulisan ini tidak hendak melihat satu persatu kebenaran atau ketidakbenaran dari beragam kemungkinan sebab tersebut. Saya lebih tertarik untuk menambah satu analisis (sebab) lagi, dan menurut saya ini kunci.

Sebab utama mengapa nilai mapel Bahasa Indonesia jeblok adalah karena rendahnya kemampuan logika dan pemahaman para siswa terhadap teks bacaan. Mereka tidak terbiasa membaca isi teks bacaan dengan kritis dan cermat. Deskripsi teknisnya seperti ini: bagaimana mungkin mereka bisa menjawab pertanyaan (baca: memilih jawaban) dengan benar, memahami maksud pertanyaannya saja tidak mampu.

Dari mana kemampuan logika, pemahaman kritis dan cermat tersebut dapat diperoleh? Satu-satunya cara adalah dengan (banyak) membaca. Membaca, oleh karena itu, sangat penting ditekankan dalam mapel Bahasa Indonesia. ”Apabila matapelajaran Bahasa Indonesia di sekolah sudah dapat menjadikan anak-anak asyik membaca, dan akhirnya mencintai kegiatan membaca,” ujar Hernowo (2009), “sebenarnya tugas utama matapelajaran tersebut sudah tercapai.”

Itu sebab barangkali, di beberapa negara maju, aktivitas membaca (buku) menjadi bagian terpenting dalam menu pemelajaran di sekolah—tidak hanya saat berlangsungnya pelajaran bahasa. Di Jepang misalnya, para siswa diwajibkan membaca selama 10 menit sebelum jam pelajaran dimulai. Metode pendidikannya dibuat sedemikian rupa sehingga para murid terdorong aktif membaca.

Lain Jepang, lain pula Belanda. Di negeri kincir angin ini, peningkatan minat
baca disiasati dengan mengharuskan para siswa memperkaya pengetahuan dengan
membaca, ditunjang sistem perpustakaan (sekolah) yang memenuhi kebutuhan mereka. Sementara itu di Singapura minat baca para siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku.

Tak kalah menarik, adalah yang dilakukan pemerintah Australia. Para siswa
dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan
hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum
kelas dimulai. Guru menyuruh setiap siswa menceritakan isi buku yang telah
dibacanya. Dengan begitu siswa-siswa di negeri kanguru ini tidak hanya gila baca
tapi otot tangan mereka juga terlatih untuk menulis (GirlieZone, 2010).

Di tempat kita? Aktivitas mendaras buku belum dijadikan menu wajib di setiap subjek pembelajaran di sekolah. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia sekalipun. Kalau toh ada kegiatan membaca buku, itu bersifat seketika, tidak sengaja, mendadak, reaktif, bukan bagian dari sistem yang dirancang secara tetap, dan terukur. Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki standar minimal tentang bacaan wajib karya sastra yang harus dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah itu berdasarkan jumlah (quantity) maupun judul-judul tertentu (quality). Alih-alih secara bertahap dan rutin ada pengecekan tingkat kemajuan bacaan siswa, baik yang menyangkut bacaan yang diwajibkan (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), dan bacaan menyangkut pengetahuan umum (general knowledge).

Maka tak heran, bila International Educational Achievement menempatkan minat baca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Dari 39 negara yang dijadikan sempel penelitian, Indonesia menempati urutan ke-38. Penilaian UNESCO dan IEA itu antara lain yang mendorong UNDP (United Nations
Development Program) menempatkan Indonesia pada urutan rendah dalam hal
pembangunan sumber daya manusia.

Terakhir, agar dalam UN, Bahasa Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri dan tidak menjadi “jebakan kelulusan”, sudah saatnya kegiatan membaca teks (buku) menjadi pusat orbit setiap aktivitas belajar mengajar di sekolah. Tanpa itu, agak gelap saya membayangkan masa depan pemelajaran mapel yang oleh banyak orang disebut cermin bangsa itu.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger