Home » » TBM dan Kisah Sukses Triyan

TBM dan Kisah Sukses Triyan

Written By Agus M. Irkham on 1 Aug 2010 | 02:42


: agus m. irkham
—pernah termuat di Suara Merdeka—

Adalah Fitriyan Dwi Rahayu. Siswa SMP Negeri 1 Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Jawa tengah itu tidak saja ditelpon Presiden SBY, tapi juga dicium Bibit Waluyo, Gubernur Jateng. Telpon dan cium itu didapatkan Triyan, sapaan akrabnya, lantaran ia memeroleh nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi tingkat nasional. Nilai yang dicapai dari empat mata pelajaran hampir sempurna yakni 39,8 atau dengan nilai rata-rata 9,95.

Apa rahasianya, hingga Triyan mampu mendapatkan nilai hampir sempurna?
Ini yang tidak banyak diungkap, salah satunya adalah karena ia rajin membaca. Membaca apa saja. Kebetulan rumah orangtuanya, menjadi tempat perpustakaan umum kelurahan (TBM, Taman Bacaan Masyarakat). Tidak kurang 5.000 eksemplar buku dan majalah terdapat di TBM tersebut. Di sinilah Triyan banyak menghabiskan waktu menurutkan kegemarannya membaca. Dan kebiasaan membaca tersebut membuat Triyan merasa lebih mudah saat memelajari/belajar sesuatu. Apapun itu. Termasuk matapelajaran sekolah. Buat penyuka novel Laskar Pelangi ini, membaca sama dengan belajar.

Tulisan ini tidak hendak memperpanjang sebab musabab kesuksesan Triyan, alih-alih berbicara tentang (kontroversi) UN. Saya lebih tertarik untuk melihat segi lain dari kisah sukses Triyan ini, yaitu keberadaan TBM, dihubungan dengan capaian prestasi akademik siswa—Triyan sebagai representasinya.

Mendukung pendidikan
TBM merupakan salah satu program aksi peningkatan dan pengembangan budaya baca. Program ini digagas sebagai bentuk sikap afirmatif pemerintah Indonesia terhadap Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (Literacy Initiative for Empowerment-LIFE) canangan UNESCO. Inisiatif tersebut dipahami sebagai kerangka kerja strategis global sebagai kunci mekanisme pelaksanaan untuk mencapai tujuan dan sasaran Dasawarsa Keaksaraan PBB (United Nations Literacy Decade-UNLD) pada skala internasional.

Secara khusus TBM dimasudkan pula untuk mendukung program pendidikan keaksaraan sehingga para aksarawan baru tidak menjadi buta aksara kembali akibat ketiadaan sarana pendukung untuk mempertahankan kemampuan membaca. Dengan deskripsi yang berbeda, TBM merupakan sarana pembelajaran dan hiburan masyarakat. Serta sarana untuk memperoleh informasi. Harapannya pada masyarakat masyarakat akan tumbuh minat, kecintaan, serta kegemaran membaca dan belajar, sehingga dapat memperkaya pengetahuan, wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, pemahaman norma dan aturan, sekaligus juga dalam hal pemberdayaan masyarakat. (Dikmas, 2009).

Sampai dengan akhir tahun 2007, jumlah TBM di Jawa Tengah tak kurang ada 281. Cukup tinggi mengingat di tahun 2003-2005 masih sekitar 139 TBM. Peningkatan jumlah tersebut erat kaitannya dengan program pengentasan buta huruf yang digeber pemerintah propinsi. Dan ini wajar, karena angka buta huruf di Jawa Tengah masih terbilang tinggi.

Sampai dengan akhir tahun 2008, jumlah penduduk buta aksara yang berusia 15 tahun ke atas 1.872.694 orang (laki-laki 674.170 orang, perempuan 1.198.524 orang). Jumlah total itu sekitar 7,80 persen dari total angka buta huruf nasional yang berjumlah 10,162,410 orang. Jumlah penduduk buta huruf tersebut, jika dilihat dari angka absolutnya—dibandingkan dengan 32 propinsi lainnya—Jawa Tengah menduduki peringkat kedua, setelah Jawa Timur. Padahal berdasarkan riset literasi yang pernah dilakukan UNESCO ada pertalian yang erat antara kebutahurufan dengan tingginya tingkat kemiskinan. Itu sebab barangkali angka kemiskinan di Jawa Tengah tidak kunjung menipis.

Nah, berdasarkan beberan perangkaan tersebut, fokus kegiatan TBM memang belum bisa dilepaskan dari program pengentasan buta huruf dan “merawat” yang sudah melek huruf agar tidak kembali menjadi buta huruf. Hanya saja, andai kedua fokus kegiatan tersebut 100 persen tercapai, pertanyaan besarnya adalah program apa lagi yang harus dilayankan ke masyarakat?

Pada titik itu, saya kira kisah sukses Triyan mendapati dasarnya. TBM harus pula memberikan fasilitasi pada anak-anak sekolah (siswa) baik SD, SMP, maupun SMA. Bentuk fasilitasi itu berupa penyediaan buku-buku bermutu, penuh inspirasi, memberdayakan, serta sesuai dengan tingkat kebutuhan (preferensi) para siswa. Ini penting, karena hanya pada siswa yang gemar membaca sajalah, matapelajaran rumit dapat dipahami secara lebih mudah.

Selain itu dengan banyak membaca akan memberikan pula beragam perspektif kepada siswa. Mereka akan mengenakan banyak ”kacamata” saat memandang satu situasi. Dan yang tak kalah penting, melalui aktivitas membaca mereka akan dihadapkan pada satu dunia yang penuh dengan kemungkinan, harapan, kesempatan, dan cita-cita. (Yurnaldi, 2002).

Perluasan kelompok sasaran TBM ini sekaligus bisa melengkapi, untuk tidak menyebut menutupi, kebolongan sistem yang terjadi di pendidikan (sekolah) kita. Kebolongan itu berupa kondisi perpustakaan sekolah yang “hidup segan mati tak mau.” Adanya tidak menggenapkan. Ketiadaannya tidak mengganjilkan. Serta sonder sistem yang terukur menyangkut perkembangan bacaan para siswa.

Taruh kata, TBM benar-benar bisa mengambil peran yang ditinggalkan oleh sekolah tersebut, dugaan kuat saya, kisah sukses Triyan tidak lagi menjadi sukses personal, tapi bergeser menjadi sukses komunal, bahkan sangat mungkin berubah menjadi sukses kolosal.♦
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger