Home » » Dari Huruf ke Gambar Hidup

Dari Huruf ke Gambar Hidup

Written By Agus M. Irkham on 30 Jan 2011 | 16:28



:: agus m. irkham

Marah. Protes. Ngomel. Beragam ekspresi keberatan seperti itu sering kali muncul ketika sebuah novel laris akan difilmkan. Alasannya bermacam-macam. Dari soal pemain yang tidak sesuai dengan karakter tokoh novel, hingga jalan cerita film yang dikuatirkan tidak sama dengan isi novel. Contoh paling dekat adalah film Ayat Ayat Cinta, dan Laskar Pelangi. Sampai-sampai Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi mengatakan: pembaca buku di Indonesia sangat bersifat personal, sentimental, dan cenderung emosional.

Beruntung, para pengarang dan sineas nekat, tidak menuruti keberatan para pembaca. Dan kenekatan itu, sebagian besar terlunasi. Film adaptasi novel yang mereka putar didatangi jutaan penonton. Kemarahan, protes, omelan pun berganti sanjungan, dan acungan ibu jari.

Di Indonesia, adaptasi novel menjadi film sebenarnya bukanlah barang baru. Seperti film berjudul Kampus Biru (Ami Priyono), Badai Pasti Berlalu (Teguh Karya), Kabut Sutra Ungu (Syumanjaya)—untuk sekadar menyebut contoh. Bahkan film terakhir disebut, menjadi film paling laris dan menembus box-office. Hal yang sama juga berlaku pada Kampus Biru, film hasil adaptasi novel karya Ashadi Siregar, Cintaku di Kampus Biru.

Uniknya, kemunculan berbagai film adaptasi itu justru dinanti-nanti orang penuh gairah. Mengapa bisa begitu? Ada dua kemungkinan. Pertama, meskipun secara jumlah, tidak terlalu besar, masyarakat pembaca saat itu sudah dewasa, pintar, dan mapan. Tidak bersifat personal, sentimental, dan cenderung emosional—meminjam istilah Andrea. Mereka sadar betul bahwa film adaptasi adalah sesuatu yang berbeda dengan bukunya. Film adaptasi bukanlah buku dalam bentuk film.

Kedua, masyarakat penonton saat itu bukanlah sebagai masyarakat pembaca sekaligus. Karena belum membaca bukunya, benak mereka tidak dipenuhi oleh sak wasangka tentang film yang benar yang begini-begitu. Mereka menempatkan film adaptasi itu sebagai film yang betul-betul orisinil/baru.

Hubungan mutualisme
Beberan asnad di atas memahamkan kepada kita bahwa buku rupa-rupanya tidak semata-mata produk budaya yang steril dari pengaruh budaya lain. Namun telah menjadi bagian dari budaya pop lainnya, layaknya musik, film, dan lain-lain.

Hubungannya pun bersifat mutualisme. Saling menguntungkan. Bisa saja seseorang karena sudah membeli dan membaca, ia lantas penasaran ingin menonton versi filmnya. Maka tak berlebihan, jika angka keterjualan buku sebelum difilmkan sering menjadi titik pijak produser ketika menghitung potensi jumlah penonton (keuntungan).

Atau sebaliknya. Orang tergerak membeli dan membaca buku seusai menonton. Pada kasus buku yang sudah laris, tambahan penjualan itu akan semakin membuat kacang goreng iri. Hal itu juga dapat dimengerti: film yang kerap disalah sangkai dengan sesuatu bersifat massal, dangkal, dan konsumtif, dapat dijadikan pintu masuk upaya meningkatkan minat baca buku (personal, dalam, dan produktif) pada masyarakat.

Secara ideal—dilihat dari kepentingan sineas dan pengarang—pun antara buku dan film saling memengaruhi. Di satu sisi isi film ditentukan oleh isi buku. Film menjadi bersifat personal, ada kedalaman, inspiratif, dan menerbitkan semangat berkreasi. Di segi lain perkembangan tema, isi, dan gaya penceritaan buku dipengaruhi pula oleh perturutan budaya pop dalam masyarakat yang terlipat dalam bentuk layar film maupun kaca.

Kemudian yang terjadi adalah saling mengadaptasi. Kini, melipat buku ke dalam film atau mengemas film dalam bentuk helaian buku sudah menjadi sesuatu yang jamak. Pengarang membaca film, sineas menonton buku. Dengan begitu justru semakin memperkaya antar keduanya.

Pembaca buku yang kemudian menonton film, dan penonton film yang lantas membaca buku, tanpa sadar keduanya juga melakukan proses adaptasi. Nikmati saja proses transformasi dari buku ke film atau sebaliknya itu. Tidak perlu menonton sambil mencocok-cocokan dengan isi buku. Justru hanya akan membebani, dan tidak bisa menikmati isi film. Jangan paksakan film yang sudah ada dalam bayangan kita—didapatkan saat membaca buku—mengganti film yang sedang ditonton.

Dekontekstualisasi teks

Setiap penerbitan buku sudah dengan sendirinya membawa serta dekontekstualisasi suatu teks, tulis Ignas Kleden dalam esai berjudul Buku di Indonesia: Perspektif Ekonomi Tentang Kebudayaan (1999). Nah, film adaptasi sejatinya merupakan hasil dekontekstualisasi itu. Hasil darasan itu diolah, lalu dihadirkan kembali dalam wadah (media) yang berbeda, yaitu film. Sineas, sebagaimana pembaca lainnya, memunyai kebebasan penuh menafsirkan teks itu. Sesuai dengan piranti kebahasaan yang ia punyai (film), tanpa harus berkonsultasi dengan pembaca lainnya. Dengan begitu sikap keberatan atas transformasi huruf ke gambar hidup, saya kira menjadi tidak relevan. Meskipun, taruhlah hasil adaptasi ternyata sangat berbeda dengan isi buku.

Dengan memberikan kebebasan kepada para sineas untuk menjajaki kemungkinan suatu buku diadaptasi ke dalam bentuk film, simpul saya justru akan meningkatkan produktivitas para pengarang dan sineas. Dan harapannya, tentu saja kualitasnya juga kian meningkat.

—pernah tersurat di Suara Merdeka—
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger