Home » » Ketika Si Ceriwis Menulis (Buku)

Ketika Si Ceriwis Menulis (Buku)

Written By Agus M. Irkham on 28 Jan 2011 | 23:30



:: agus . irkham

Naga-naganya, nasib penulis pemula akan semakin merana. Di saat mereka suntuk mengasong naskah kian ke mari, para pesohor/seleb dengan begitu mudah menerbitkan buku. Sebagai penampil, ternyata mereka tidak saja ceriwis bicara tapi juga “pintar” menulis. Bahkan, tidak sedikit dari buku mereka yang laris manis.

Seperti Rieke Diah Pitaloka, melalui Renungan Closet: Dari Cengkeh sampai Utrecht (Gramedia Pustaka Utama). Cetakan pertama (3000 eksemplar) buku itu ludes hanya dalam waktu dua bulan. Melly Goeslaw, dengan buku kumcer bertitel 10 Arrrrrgh... (Gagas Media), telah diserap pasar hingga 10.000 eksemplar dalam waktu kurang dari setahun.

Yang paling membuat iri adalah buku Debby Sahertian berjudul Kamus Bahasa Gaul. Buku berisi lingo atau bahasa prokem komunitas gay terbitan Pustaka Sinar Harapan itu, tak kurang 100.000 eksemplar telah dibeli orang. Keberuntungan Debby bak pinang tak berbelah dengan Supernova-nya Dewi Lestari.

Itu sebab barangkali, banyak seleb mengikuti jejak Rieke dan kawan-kawan. Sys NS meluncurkan Yesterday, Today, Tomorrow, Inggrid Widjanarko merilis Surat untuk Rumput, Kris Biantoro menulis kisah pribadinya-Manisnya Ditolak, Katon Bagaskara memunculkan Bulan Dibuai Awan, Tamara Geraldine menerbitkan Kamu Sadar, Saya Punya Alasan untuk Selingkuh kan Sayang, Yon Koeswoyo membukukan pengalaman hidupnya-Panggung Kehidupan Yon Koeswoyo. Daftar tersebut masih dapat diperpanjang.

Polusi perbukuan
Beragam tudingan muncul, menanggapi kecenderungan si ceriwis yang menulis itu. Mulai dari sangkaan bahwa seleb hanya menerapkan jurus aji mumpung. Penerbit, demi laba jadi abai kualitas. Hingga ada yang menyebut seleb nulis buku sebagai bentuk polusi di dunia perbukuan.

Tidak dapat dimungkiri, modal sosial berujud ketenaran para seleb punya arti tersendiri bagi penerbit. Penggemar yang dimilikinya menjadi semacam captive market. Walaupun jumlah pasti sering kali tidak dapat ditentukan, minimal sudah dapat dijadikan dasar penghitungan kasar jumlah kisaran serapan pasar. Jadi karakteristik konsumen yang hendak dibidik adalah konsumen emosional. Mereka tidak saja membeli isi buku, tapi sekaligus penulisnya.

Wilayah sosial pesohor yang sangat karib dengan media massa (wartawan), juga memudahkan penerbit mengkreasi promosi buku. Misalnya ketika menggelar acara peluncuran buku. Jika pada penulis pemula, wartawan/media diundang saja belum tentu datang. Tapi kalau penulisnya adalah seleb, tanpa diundangpun besar kemungkinan datang. Mengingat seleb yang menulis memang memunyai nilai berita lebih tinggi dibandingkan penulis (pemula) awam.

Dengan begitu, lantas apakah dapat disimpulkan, penerbit mengabaikan kualitas tulisan demi mengejar target keuntungan?

Saya kira penerbit tidak akan gegabah dengan semata-mata memandang nama bukan karya. Kualitas tulisan akan tetap menjadi sesuatu yang penting, hanya saja menjadi tidak paling penting. Tidak lagi menjadi syarat absolut, tapi relatif. Artinya, jika di sana sini masih terdapat kelemahan dan kekurangan, sejauh tidak terlalu esensial, tak soal.

Buku curhat
Kebijakan itu disandarkan pada beberapa pengertian. Pertama, menulis bagi seleb hanya sebatas cara mengungkap rahasia kehidupan pribadi. Meskipun buku yang dihasilkan seolah-olah karya sastra, sesungguhnya karya biografi. Cuma ujud presentasinya saja yang melalui cara non biografis. Praktisi perbukuan, Frans M. Parera pernah menyebut bahwa buku biografis lebih condong pada pengembangan provokasi tentang pesona kehidupan privasi. Sebaliknya, karya sastra ditujukan pada kebermampuan menggugat dan memprovokasikan pesona kehidupan pribadi dan publik.

Dengan bahasa yang lebih gamblang, menulis buku bagi seleb adalah sebatas curhat dan bentuk perayaan kesuksesan hidup. Tanpa dibebani oleh banyak pretensi. Termasuk motif ekonomi (aji mumpung). Mereka menulis bukan untuk menjadi penulis, atau ingin disebut penulis. Kedirian mereka tetap seleb. Dan yang demikian sah-sah saja. Kalau sudah begitu, terhadap karya mereka, keseriusan macam apa yang masih dapat kita harapkan?

Kedua, misteri buku laku. Ternyata buku bagus tidak menjamin akan cepat ludes. Tidak jarang justru terkena angka kutukan 3000 eksemplar. Dalam waktu satu tahun, tumpukan buku cetakan pertama berjumlah 3000 eksemplar itu tidak kunjung menipis. Kebalikannya, ada banyak buku disangka sementara pihak jelak (seperti halnya buku karya para seleb), eh ternyata penjualannya bagus. Tingkat preferensi orang terhadap konsumsi buku yang sulit ditebak itulah yang membuat penerbit menempatkan kualitas tulisan menjadi sesuatu yang bisa dinegosiasikan—dalam konteks seleb menulis.

Ketimbang pikiran dipenuhi sak wasangka, lebih baik tren seleb menulis buku kita tempatkan saja sebagai asnad bahwa ruang dunia perbukuan demikian terbuka. Ada saja bilik-bilik yang belum terulik. Satu bukti juga bahwa keberaksaraan (literasi, buku) memungkinkan terjadinya desentralisasi pengetahuan, sekaligus menumbuhkan sikap kesetaraan-kemanusiaan. Siapa saja punya kebebasan untuk datang, masuk, atau meninggalkan dunia perbukuan. Termasuk seleb. Bukankah seleb juga manusia?

—pernah tersurat di Suara Merdeka—
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger