Home » » Agar Minat Baca Masyarakat Meningkat

Agar Minat Baca Masyarakat Meningkat

Written By Agus M. Irkham on 26 Feb 2011 | 17:13



:: agus m. irkham

Minat Baca Publik Cukup Tinggi. Demikian judul hasil jajak pendapat Kompas (8/11/2008) tentang minat baca masyarakat di Kota Semarang, Solo, Purwokerto, dan Tegal. Sebanyak 38,1 persen mengaku setiap hari selalu membaca. Hanya 10 persen responden yang mengatakan tidak terlalu suka membaca. Dalam sebulan mereka hanya menggunakan satu dua hari untuk membaca.

Rilis hasil jajak pendapat tentang minat baca tidak sekali itu saja dilakukan Kompas. Dua tahun lalu, tepatnya 20 November 2006, Kompas melansir hasil jajak pendapat serupa. Berbeda dengan tahun ini, pada jajak pendapat tahun 2006 terungkap: minat baca buku masyarakat masih rendah. Tak kurang 67,16 persen responden menyatakan tidak pernah mengunjungi perpustakaan, baik untuk meminjam, maupun sekadar baca-baca.

Meskipun hasil jajak pendapat tersebut tidak dimaksudkan untuk mewakili pendapat seluruh populasi, dan besar kemungkinan sampel (responden) yang dicuplik antara tahun 2006 dengan 2008 juga beda, sehingga secara absolut keduanya tidak bisa diperbandingkan, tetap saja hasil jajak pendapat 2008 menumbuhkan optimisme tersendiri. Pengharapan itu penting, mengingat di tahun 2005 secara nasional, Jawa Tengah dinyatakan sebagai propinsi dengan angka buta huruf tertinggi kedua. Tak kurang dari tiga juta jiwa, di mana 20,42 persennya (680.768 orang) adalah usia produktif. Mereka meriap menjadi generasi nol buku.

Tingkat pendidikan
Membaca hasil jajak pendapat tahun 2008, saya menemukan beberapa kenyataan menarik. Pertama, ternyata responden yang berpendidikan tinggi cenderung memiliki minat baca yang tinggi pula. Tercatat responden berpendidikan pascasarjana, seluruhnya (100 persen) membaca buku setiap hari. Kebiasaan yang sama juga dimiliki responden berpendidikan sarjana (48,5 persen), dan diploma (35,4 persen).

Dari beberan perangkaan di atas dapat disimpulkan bahwa tingginya tingkat pendidikan yang ditamatkan memiliki pengaruh yang sangat berarti (siginificant) terhadap meningkatnya minat baca publik. Penali itu diikatkan berdasarkan asumsi: dengan tingginya tingkat pendidikan, semakin tinggi pula kesadaran terhadap pentingnya informasi, ilmu, dan pengetahuan. Dan ketiganya dapat diperoleh melalui aktivitas membaca.

Kedua, lebih dari 50 persen responden menyatakan bahwa motivasi mereka membaca adalah untuk menambah wawasan, pengetahuan, dan ditempatkan sebagai tugas belaka. Temuan itu mengarah pada satu simpulan: sifat aktivitas membaca golongan menengah tersebut (pascasarjana, sarjana, dan diploma) masih terbatas pada hal-hal yang berwatak fungsional. Belum menjadi hobi, dan kebiasaan. Hanya 17,6 persen responden yang menempatkan kegiatan membaca buku sebagai gaya hidup (aktivitas budaya).

Salah satu ukuran, seseorang tergolong sudah berbudaya atau tidak—dalam konteks buku dan minat baca—adalah kesediaan ia untuk membaca buku bertema di luar pekerjaan dan menganggarkan beli buku di tiap bulannya. Dalam bingkai itu, hasil jajak pendapat tahun 2008 tidak beda jauh dengan tahun 2006. Pada tahun 2006, lebih dari separuh responden (58,21 persen) tidak memiliki anggaran beli buku di tiap bulannya. Hanya 15,52 persen responden yang mengaku tiap bulan menganggarkan beli buku.

Memperbesar golongan menengah
Bertolak dari ikhtisar di atas, paling tidak ada empat hal penting yang harus dipahami. Pertama, pamrih meningkatkan minat baca (buku) pada masyarakat, berada dalam satu garis lurus dengan kemampuan pemerintah menyediakan sarana-prasarana pendidikan, serta kemudahan untuk mengaksesnya. Hendaknya pendidikan dijadikan pula sebagai tempat berlangsungnya inisiasi dan internalisasi pentingnya membaca. Bukan hanya dengan memperbanyak jumlah taman baca. Karena membaca hanya sebatas akibat, bukan sebab.

Kedua, kemiskinan adalah bentuk paling ampuh dari kampanye antibuku. Alur pertaliannya seperti ini: karena miskin, tak punya uang, akhirnya tidak bisa mencecap bangku sekolah. Karena tidak sekolah, kesadaran tentang pentingnya pengetahuan, dan informasi tidak tumbuh. Lantaran tidak tumbuh, otomatis kegiatan membaca (buku) dianggap tidak penting. Maka tujuan meningkatkan minat baca, berbanding lurus dengan upaya mengikis angka kemiskinan. Karena, selama angka kemiskinan tinggi, selama itu pula, minat baca rendah.

Ketiga, agar level motivasi membaca meningkat, dari yang sekadar teknis, dan fungsional menjadi budaya, pemerintah harus memperbesar jumlah golongan menengah. Baik berdasarkan kategori tingkat kesejahteraan ekonomi maupun tingkat pendidikan. Caranya dengan menyediakan lapangan kerja yang cukup, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, pemberian gaji dan upah yang memadai, pemberian jaminan/asuransi kesehatan, perumahan, serta pendidikan.

Lantas, apa pentingnya memperbesar golongan menengah serta mengarahkan kegiatan membaca sebagai aktivitas budaya? Tak salah lagi, karena keduanya selama ini kerap didaulat menjadi aktor (hardware) dan otak (software) yang mampu membuka pintu bagi datangnya modernisasi, partisipasi, empati, kepedulian, demokratisasi, desentralisasi ilmu pengetahuan, perbaikan taraf hidup, kesadaran arti penting membaca, serta kemajuan suatu bangsa.

Keempat, agar hasil jajak pendapat minat baca bisa menjadi input kebijakan yang akurat, responden hendaknya dipecah-pecah berdasarkan kategori kelas. Taruhlah, ini contoh saja, berdasarkan tingkat pendidikan, gaji, dan belanja bulanan, responden terbagi menjadi kelas atas, menengah, dan bawah. Setelah responden tiga kategori itu terbentuk, baru dilakukan jajak pendapat. Saya membayangkan hasilnya tentu akan lebih menarik dan penuh kejutan-kejutan aneh. Termasuk perbedaan rekomendasi program peningkatan minat baca di tiap-tiap kelasnya.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger