Home » » Sisa Arti Peluncuran The Art of Libary

Sisa Arti Peluncuran The Art of Libary

Written By Agus M. Irkham on 24 Feb 2011 | 16:12



: agus m. irkham

Buku kini bukan lagi karya personal, tapi komunal, bahkan industrial. Guna menerbitkan satu judul buku saja, memerlukan campur tangan banyak pihak. Mulai dari pemeriksa aksara, penyunting, pembaca halaman proof, layouter, designer kover, hingga pekerja percetakan. Karena memerlukan campur tangan banyak pihak, tentu saja dalam proses pengerjaannya memerlukan komunikasi yang memadai antara penulis dengan pihak-pihak yang turut membantu itu.

Artinya sejak awal ketika seseorang memutuskan diri untuk menerbitkan buku, ia sudah siap untuk berinteraksi dengan pihak lain. Membuka diri untuk menerima beragam pendapat, usulan, dan ide dari orang lain. Dan semuanya dimaknai sebagai bentuk proses sinergi.

Tulisan, termasuk di dalamnya adalah buku, bukanlah semata-mata teks. Ia adalah anak rohani. Saat membaca tulisan sejatinya kita sedang mendalami kedirian penulisnya. Paradigma berfikirnya. Sikap laku hidupnya. Maka menjadi penulis adalah menjadi sosok yang igaliter, menyetara, friendly, open mind.

Andai seorang penulis itu adalah pustakawan, maka dapat saya simpulan ia seorang pustawakan yang “tercerahkan”. Selalu berusaha memberikan nilai tambah (value added) atas apa-apa yang telah dikerjakan. Menjadi sosok pertama yang hidupnya terinspirasi oleh buku. Dengan frase yang padat: Buku melangitkan ku.

Langit selain sebagai metafora dari cita-cita tinggi, ia juga bermakna berkesadaran Tuhan (transenden). Yang didalamnya terkandung niat dan kesadaran untuk memelihara, mengembangkan, dan memuliakan kehidupan (ego semesta). Menganggap pihak lain bukan sebagai lian (others) tapi pihak yang dihadirkan Tuhan untuk bersama-sama memakmuran kehidupan.

Di mana pun ia hadir, akan menjadi inspirasi bagi lingkungannya. Salah satu bukti terdekat adalah apa yang terjadi pada Selasa (22/2) lalu. Bertempat di ruang belajar UPT. Perpustakaan UNDIP, The Art of Library, buku anggitan Endang Fatmawati diluncurkan dan didiskusikan. Endang adalah koordinator (mungkin lebih tepat disebut sebagai Kepala) Perpustakaan FE Undip, Semarang.

Berdasarkan pengakuan Endang, ia belum sempat memberitahukan ke teman-teman, terutama Kepala UPT. Perpustakaan Undip, tentang kelahiran anak rohani pertamanya itu. Tapi tiba-tiba ditelpon untuk hadir dalam acara peluncuran. Tentu ini kabar menggembirakan. Keberhasilan Endang menelurkan buku mendapatkan respon yang melegakan dari teman-temannya, terutama di lingkungan perpustakaan Undip. Dan yang musti saya catat, panitia pelaksana, yaitu para pustakawan di UPT. Perpustakaan Undip berjibaku meng-create sendiri acara. Mulai dari pendanaan hingga teknis acara. Mereka bela-belain membuat proposal, masuk dari satu pintu satu ke pintu lembaga lainnya, institusi (bisnis) yang mau diajak kerjasama, mensponsori acara peluncuran buku.

Niatan lurus. Hati bersih. Energi positif selalu saja bisa memberikan dorongan orang lain dan lingkungan untuk berbuat kebaikan pula. Itu simpul saya saat ditelpon, diminta menjadi pembedah atau pembahas buku The Art of Library, sekitar satu bulan sebelum hari H.

Semangat para pustawakan yang hadir, tak kurang 40 peserta dari perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi di Semarang dapat saya baca pula sebagai bentuk keinginan mereka pula untuk bisa menulis dan menelurkan buku. Hampir seluruh peserta tidak berajak dari tempat duduknya, mengikuti sepenuh sesi acara. Dari pembukaan hingga penutupan.



Berdasarkan pengalaman saya yang sudah tidak berbilang menghadiri peluncuran buku, kenyataan ini sangat jarang saya temui. Biasanya peserta betah mengikuti acara yang menawarkan keseriusan ini kalau yang datang sebagai penulis dan pembicara adalah artis atau sosialita dari ibukota. Kalau hanya “orang biasa-biasa”, kebanyakan para mereka yang datang tidak dengan segenap semangat. Dan sangat longgar. Mereka dengan enteng saja meninggalkan acara meskipun, baru dalam hitungan menit acara berjalan.

Semangat dan optimisme masa depan pustakawan dan perpustakaan (perguruan tinggi) juga saya dapatkan dari lontaran-lontaran pertanyaan saat sesi diskusi (sharing). Mulai dari yang mempertanyakan proses kreatif penulisan, mengapa kumpulan esai, bukannya buku utuh, hingga masukan untuk melengkapi kekurangan buku The Art of Library yang dalam pandangan saya, justru bisa menjadi ide menulis buku utuh tersendiri.

Termasuk obrolan saya dengan salah satu pustawawan (panitia, Ibu Yuven) sebelum acara berlangsung. Saya bercerita soal pergeseran ruang kelas untuk belajar menulis. Yang semula kelas fisik (offline) menjadi kelas maya (online)—salah satunya melalui situs jejaring sosial Facebook—dan justru hasilnya sangat efektif. Karena peserta dituntut untuk aktif. Efektifitas pelatihan sepenuhnya ditentukan oleh peserta.

Semakin dinamis, heboh, ramai, ”meledak” suatu kelas, semakin banyak pula kemanfaatan dan informasi yang dapat diserap. Tidah hanya oleh para siswa (peserta pelatihan), tapi juga si pelatih (guru/instruktur literasi). Apa pasal? Karena internet memiliki sifat intekoneksitas. Semua boleh beriur rembuk. Semua yang terlibat adalah pemilik ”otoritas” kebenaran. Sehingga semua boleh berpendapat, dan mengeluarkan ”fatwa” (desentralisasi pengetahuan).

Belajar menulis melalui internet atau online menjadi wujud paling efektif dari apa yang disebut learning by doing. Salah satu yang saya sarankan ke siswa-siswa saya, saat memberi komentar, atau update status di wall kelas (groups) adalah jangan pernah menulis kata dengan disingkat-singkat. Misalnya saya menjadi sy; harus menjadi hrs. Kamu menjadi km. Dan yang sejenis dengan itu.

Saya juga menekankan pada mereka untuk tidak asal memberi komentar. Komentar pun harus ditulis dengan ejaan/huruf yang benar dan kalimat yang tegas tidak nggantung—misalnya dengan mengetik banyak tanda titik di akhir kalimat. Manfaatnya ada dua, kebiasaan (habit) ini akan memudahkan mereka saat betul-betul sedang menulis satu bentuk tulisan utuh. Tingkat akurasi hurufnya tinggi. Manfaat berikutnya berupa kelapangan dalam berfikir, dan tuntas dalam mengerjakan segala sesuatu. Jadi menulis dengan tidak disingkat-singkat itu ada makna filosofisnya. Mendengar cerita saya tersebut, pustakawan Undip yang sahabat saya pula ini tertarik. Mudah-mudahan kesadaran itu linear dengan keberanian untuk menempuhnya.



Sebagai penutup catatan ini saya akan sedikit bercerita. Suatu waktu saya ditanya oleh seorang ibu muda. Begini pertanyaannya :

Selama ini sebenarnya saya sangat senang dengan hal-hal yang berkaitan tema pareting. Mimpi saya, suatu hari nanti saya ingin bisa menulis buku-buku parenting. Tapi apa kompetensi saya ada di situ ya? Modal saya ya karena saya ibu rumah tangga (dan melihat kemirisan pola pendidikan anak di sekitar saya). Kalau mengingat latar belakang pendidikan, ya barangkali yang bisa saya lakukan adalah mengaitkannya dengan agama dan komunikasi (karena saat ini saya juga sedang s2 komunikasi).

Jadi apa bisa saya masuk ke situ? Atau diterima sebagai orang yang berkompeten di bidang itu? Tapi di sisi lain, saya juga takut Kaburo Maqtan. Saya takut berbicara tentang “Bagaimana mendidik anak yang baik bla…bla..” padahal saya juga belum tentu sebaik itu. Toh hasilnya belum kelihatan. Anak saya masih 4 tahun dan masih dalam proses pemupukan. Ah dilematis memang?

Tegasnya, pertanyaan saya :
1. Bisakah saya memasuki bidang parenting?
2. Bagaimana saya harus menyikapi perasaan takut kaburo maqtan dalam setiap hal yang saya tulis?


Dan ini jawaban saya:
Parenting berarti tentang kepengasuhan. Kalau kita mau sederhanakan lagi, yaitu tentang bagaimana mengasuh anak. Di indonesia pengasuhan anak, lazimnya yang paling punya kontribusi besar adalah kaum ibu. Tapi coba Anda ke toko buku. Berderet buku parenting justru ditulis oleh kaum bapak, yang notebene-nya mereka lebih banyak berkiprah di dunia publik. Tidak begitu lekat berinteraksinya dengan anak-anak. Mereka orang-orang sibuk semua. ada Fauzil Adzim, Kak Seto, Wahyudin, dan sebagainya. Bukankah mustinya mereka tidak punya hak untuk menulis tema itu? Artinya jauh lebih punya hak kaum ibu buat menulis tema parenting.

Persoalannya ternyata bukan pada expert atau tidak expert tapi kesadaran untuk berbagi atas pengalaman yang sedikit itu. Dan kalau diruntut-runtut, sebenarnya dari mana sih, kesadaran itu datang? Dari Allah bukan? Dan kalau yang datang dari Allah tidak ada istilah kecil, atau sedikit. Mereka syukuri kesadaran itu. Caranya? Dengan berbagi, dituliskan dalam bentuk kolom, esai, atau buku.

Jadi expert itu bukan sesuatu yang sudah selesai, tapi berperjalanan. Dan yang menilainya bukan kita. Tapi orang lain. Tugas kita hanya berproses. Berjalan. Melangkah. Lebih baik. Lebih baik. Begitu seterusnya. Dan jangan salah, salah satu pakar parenting di Indonesia, Fauzil adhim, keenam anaknya masil kecil-kecil lho. Toh beliau tidak pernah terserang penyakit kaburo maqtan itu. Setting diri saat menulis seperti ini. Tiap kesadaran dan sumber ilmu pasti datangnya dari Allah. Saat menuliskannya, hakikat sekadar juru ketiknya Allah. Dan itu juga diniatkan bagian dari menyampaikan amar Allah (dakwah).

Tiap diri itu unik, khas, dan beda. Dan tulisan hakikatnya adalah representasi dari ketiga itu. Wujud luar dari paradigma (cara berfikir) penulisnya tentang hidup dan kehidupan. Oleh karenanya tiap diri pasti beda. Itu sebab, buku parenting banyak jenisnya. Ditulis oleh banyak penulis pula. Tapi toh semuanya laku dan dibaca. Mengapa? Karena yang dibeli bukan teks atau ahli/tidak ahli tapi paradigma atau nilai-nilai hidup yang dipunyai dan ditawarkan penulisnya.

Jadi jawaban pendek saya atas dua pertanyaan di atas adalah:
1. Sangat bisa!
2. Sekadar menjalankan amarnya Allah dan bagian dari syukur.

Kaitannya dengan The Art of Libray, ia tak lebih dari ungkapan rasa syukur penulisnya, Endang Fatmawati atas karunia piranti (otak untuk berfikir, hati untuk merasa, fisik untuk bekerja) yang telah diberikan Tuhan secara limpah (given, gratis). Karena syukur adalah upaya untuk melaksanakan amar Tuhan yang berada di balik setiap amanahnya. Mencari dan menemukan rahasia perintah Tuhan di balik setiap ciptaannya. Itu saja.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger