Home » » Sisi Terang Buku Pak Beye

Sisi Terang Buku Pak Beye

Written By Agus M. Irkham on 16 Mar 2011 | 21:06



:: agus m. irkham

Dibanding para presiden sebelumnya, Pak Beye-lah (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono)—meminjam sapaan yang dipopulerkan wartawan Kompas, Wisnu Nugroho—yang paling getol menelurkan buku. Paling buncit adalah sepuluh judul buku tentangnya yang membuat heboh di Purwokerto, Tegal, Magelang, dan beberapa tempat di Jakarta dan Jawa Barat. Kesepuluh judul buku itu terselip di antara ratusan judul buku proyek yang biayai melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2010. Kehebohan berujung pada penarikan, bahkan di Magelang berakhir pembakaran. Sebuah respon yang menurut saya lebay, kelewat emosional, dan sungguh terlalu!

Ada banyak silang pendapat menanggapi terselipnya kesepuluh buku itu. Mulai dari aspek isi maupun distribusi. Bahkan lebih mundur lagi, mempersoalkan bagaimana buku-buku itu ditulis dan lulus penilaian buku pengayaan. Sepintas, argumentasi yang dikemukan rasional. Tapi kalau mau ditilik lebih jauh, semuanya bermuara pada satu titik: wujud luar saja dari sak wasangka politis.
Selama ini Pak Beye dikenal sebagai sosok yang sangat mengedepankan pencitraan. Hingga keseluruhan dirinya menjadi tidak alamiah. Semua berkesan dibuat-buat. Tidak mengalir. Dan ujung pencitraan adalah kepentingan politik (kekuasaan). Maka semua yang keluar darinya, entah anak akal (kebijakan), anak emosi (ucapan, gesture), maupun anak rohani (buku-buku) selalu saja dicurigai sebagai bentuk humas kekuasaan politik.

Beda dengan presiden sebelumnya, Gus Dur misalnya. Tahun 2001, Yoga Ad. Attarmidzi menulis buku berjudul: Gus Dur, Dari Pesantren ke Istana. Diterbitkan oleh PT. Remaja Rosda Karya, Bandung—yang juga menerbitkan kesepuluh buku Pak Beye itu. Dibandingkan dengan buku Pak Beye, buku ini lebih kental nuansa kehumasannya. Hal itu dapat dilihat dari ilustrasi kover depan buku: Gus Dur disunggi banyak orang, sambil berjejal berjalan menuju istana. Tapi lantaran Gus Dur tidak lekat dengan politik pencitraan, buku itu melenggang begitu saja. Sepi dari serapah dan keberatan.

Mempersoalkan isi
Salah satu dalih yang menyebabkan penarikan dan pembakaran buku Pak Beye adalah soal isi. Pokok bahasan dan bahasa yang digunakan terlalu canggih. Sehingga siswa SMP, bahkan SMA tidak akan paham. Taruhlah kilah itu sahih. Pertanyaan saya, apa salahnya? Apakah tidak boleh siswa SMP dan SMA membaca buku-buku berat? Terus, bacaan seperti apa yang dibilang cocok dengan kemampuan berbahasa siswa-siswa itu? Padahal yang saya tahu sampai sekarang belum ada ukuran yang pasti dan akurat tentang kemampuan berbahasa berdasarkan level usia dan jenjang pendidikan.
Dan yang musti dipahami, membaca (buku) bukanlah suatu kegiatan yang terpisah atau yang ditambahkan, melainkan berkelindan dengan proses pembentukan makna kata. Para pembaca adalah pencipta makna. Ungkap Karlina Leksono (Alfon Taryadi, Edit, 1999). Setiap penerbitan buku sudah dengan sendirinya membawa serta dekontekstualisasi suatu teks, tulis Ignas Kleden (1999). Dalam bahasa yang lebih terang—dalam bingkai pemikiran Kleden—kebingungan para siswa justru bisa menjadi sarana mereka belajar bahasa. Memotivasi dan menggerakkan mereka untuk mencari arti entry (lema). Baik dari kamus, bertanya ke guru, maupun paman Google.

Pada titik itu, membaca bukanlah kegiatan pasif. Sebaliknya, aktif. Ia memungkinkan menjadi pintu gerbang bagi upaya untuk membaca buku-buku lainnya. Apalagi fitrah sebuah buku, ia tak pernah sendiri. Ia akan selalu dikaitkan dengan buku-buku sebelumnya. Termasuk deretan kenyataan yang belum dipadatkan dalam bentuk himpunan teks (buku).

Antimarketing
Dan, sekali lagi, katakanlah, isi buku Pak Beye bohong semua, justru itu bisa menjadi sarana membangun sikap kritis para siswa. Menjadi ufuk-ufuk baru munculnya matahari kesadaran mereka: bahwa tidak selamanya apa yang tertulis itu (teori), sebangun dengan apa yang berlangsung di lapangan. Dengan begitu, di hadapan seorang pembaca yang kritis, buku yang sejak mula diperuntukkan sebagai sarana me-marketing-kan diri pun, justru bisa berubah menjadi sarana anti-marketing diri. Senjata makan tuan. Bumerang!

Buat saya pribadi, menganggap para siswa SMP dan SMA tidak bakal bisa memahami buku-buku Pak Beye, berarti menganggap remeh kemampuan berfikir generasi kini. Kalau buku cerita bergambar (foto) saja sudah dikatakan akan sulit dipahami, lantas para siswa itu mau diberi bacaan macam apa?
Tengok kehidupan Gus Dur saat belia. Sejak usia 10 tahun, Ia sudah akrab dengan buku filsafat, cerita silat, sejarah, hingga sastra. Apakah Gus Dur paham? Mungkin ya, mungkin tidak. Tapi itu tak jadi soal buat kedua orangtuanya. “Jangan terlalu banyak membaca nanti matamu rusak,” itu saja yang dikatakan Sang bunda. Tanpa mempersoalkan apakah buku-buku yang dilahap Gus Dur membuatnya tercerahkan (paham), atau sebaliknya tergelapkan, pusing, tidak paham.

Hasilnya? Saat SMEP—setingkat SMP (?)—Gus Dur sudah karib dengan buku What is To Be Done-nya Lenin, Das Kapital karya Karl Marx, buku filsafat Plato, Thales, novel William Bochner, serta Romantisme Revolusioner karangan Vladimir Ilych. Tak terkecuali buku-buku karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner ia lahap.

Pengalaman membaca Gus Dur mengabarkan kepada kita bahwa semakin sulit suatu bacaan, serta merta si pembaca akan berjuang untuk memahaminya. Dan perjuangan itu akan membuahkah hasil berupa kayanya perbendaharaan kata. Terbiasa dengan teks sulit juga akan membantu memahami gagasan-gagagasan abstrak. Serta tertantang pula untuk membaca buku lainnya yang tingkat kesulitannya lebih tinggi. Nah, pada titik ini, mempesoalkan isi buku Pak Beye sebagai buku yang “jaka sembung naik ojek” alias tidak nyambung jek—dengan tingkat kebutuhan bacaan siswa SMP menjadi tidak relevan lagi.

foto : politikana.com
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger