: agus m. irkham
Ujung 2009. Kejagung membredel lima buku, yakni pertama, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Rosa. Kedua, Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocratez Sofyan Yoman. Ketiga, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Keempat, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan. Kelima, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Kelima buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UUD 1945, dan Pancasila.
Tentu saja, pelarangan itu memanen banyak kritik dan keberatan. Mulai dari menggolongkannya sebagai konstruksi pembodohan, kesewenang-wenangan, membatasi/tidak peka terhadap kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat, wujud kontrol negara terhadap cara berpikir masyarakat melalui pengarahan, pembatasan, dan pemandulan, potret ketakutan sekaligus otoritarianisme negara, hingga menggolongkan pelarangan sebagai bentuk kejahatan/kezaliman negara terhadap (hak) publik dalam memperoleh informasi yang terdapat dalam buku.
Konteks Indonesia soal pembredelan dan penyitaan buku bukanlah barang baru. Praktik ini sangat marak, terutama saat Orde Baru berkuasa. Berdasarkan hitungan Good Reads Indonesia—mengacu pada laporan Human Rights Watch—tak kurang dari 2.000 buku sudah pernah dibredel di Indonesia. Mulai dari novel, studi sejarah, ajaran agama, sosial-politik, termasuk karya-karya tulis tentang gerakan sosial awal abad 20, teologi liberal, hingga naiknya Asia sebagai pusat kapitalisme global.
Bahkan, pembredalan tak saja terbatas pada persolan isi, penerbit, dan penulisnya, tapi pendarasnya pun diseret ke siksa penjara. Seperti yang terjadi pada tahun 1988. Tiga pemuda di Yogyakarta ditangkap, ditahan, disiksa sebelum diadili, kemudian divonis berat dengan tuduhan subversi. Alasannya memiliki, membaca, mendiskusikan, dan mengedarkan beberapa novel karya Pramoedya. Mereka dihukum penjara antara tujuh hingga delapan setengah tahun, saat usia mereka belum genap 30 tahun (1000 Tahun Nusantara, Ed. J.B. Kristanto, 2000).
“Dalam sejarah,” Terang Budi Darma dalam situs indonesiabuku, “Ada tiga macam alasan mengapa sebuah buku dapat dicekal. Pertama, karena buku tersebut mengandung unsur-unsur porno yang dianggap dapat merusak moral masyarakat
Kedua, karena buku tersebut mengandung unsur-unsur ideologi/aliran/kepercayaan yang dapat dianggap meresahkan masyarakat. Ketiga, karena buku tersebut dapat dianggap merusak nama baik seseorang/lembaga tertentu.”
Hanya saja, yang patut diingat ketiga alasan tersebut dalam praktiknya sangat tergantung kepada perkembangan konstalasi politik, sosial, dan budaya masyarakat. Misalnya soal sesuatu yang disebut cabul atau tidak. Tentu saja persepsi, tingkat penerimaan dan resistensi masyarakat di era 80-an sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan tahun 2000 ke sini. Termasuk soal ideologi dan nama baik seseorang. Buku-buku Pram dan kajian kritis tentang Soeharto misalnya. Meskipun secara resmi surat pembredelan belum pernah dicabut, sejauh ini menerbitkan, menjual, membaca, dan mendiskusikannya tidak lagi dilarang. Buku-buku berisi teks kritis terhadap kekuasaan Orde Baru (Soeharto) kini menjadi sesuatu yang sudah lumrah. Padahal di masa Orde Baru, ia digolongkan sebagai barang haram.
Menyangkut pembredelan, sulit memang, mencari titik temu antara kepentingan negara (melalui dalih stabilitas dan melindungi kepentingan umum), dengan hak publik (kebebasan mengakses informasi). Kedua pihak bersikukuh mempertahankan haknya. Dan dapat dipastikan sampai kiamat pun keduanya tidak akan pernah mencapai kata sepakat jika tidak ada upaya untuk sementara waktu “bertukar tempat.” Negara (pemerintah) berempati sebagai pembaca/masyarakat. Dan masyarakat pembaca berandai-andai menjadi pemerintah. Hanya dengan bertukar peran itulah, jalan keluar yang sama-sama memenangkan kedua belah pihak dimungkinkan.
Bagaimana wujud konkrit tukar tempat itu?
Pertama, harus ada kejelasan dan keterbukaan informasi/keterangan dari kejaksaan menyangkut bagian mana dari suatu buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum, serta bertentangan dengan UUD 1945, dan Pancasila. Hal itu penting, mengingat selama ini masyarakat sering dibuat bingung—juga tidak bisa menguji keabsahan alasan tersebut—lantaran kejaksaan tidak pernah memiliki dan mengungkapkan alasan yang jelas ketika mengeluarkan surat larangan terhadap suatu buku.
Kejelasan juga menyangkut siapa-siapa saja yang tergabung dalam tim sembilan—tim ini bertugas menyeleksi buku layak bredel atau tidak. Mereka terdiri atas intelijen, kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Dengan begitu, masyarakat bisa menilai kredibilitas, visi, pengetahuan, kompetensi, rekam jejak, kapasitas, dan keberpihakan tiap-tiap anggota.
Kedua, karena selama ini dalih pembredelan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan, dan pasal 30 (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang pengawasan terhadap peredaran barang cetakan, maka masyarakat pembaca bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap dalih yuridis itu.
Ketiga, kalau memang pelarangan ”tidak dapat dihindari”, mestinya bersifat himbauan saja. Artinya tidak perlu disertai dengan penarikan/penyitaan dan pengenaan pasal hukum kepada penulis, penerbit, dan pembacanya.
Apa pasal? Berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu, pembredelan tidak akan pernah betul-betul dapat membatalkan niat orang untuk mendarasnya. Justru semakin menguatkan masyarakat untuk mengetahui (membaca) isinya. Kalau dahulu dengan foto kopi, kalau sekarang dengan e-book. Seperti yang dilakukan Institut Sejarah Sosial Indonesia Penerbit buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto itu telah melepas copyright buku tersebut, untuk disebar luaskan kepada media dan masyarakat umum melalui internet.♦