Update Artikel Terbaru
Showing posts with label ESEI LITERASI. Show all posts
Showing posts with label ESEI LITERASI. Show all posts

Di Indonesia, 2000 Judul Buku Pernah Dibredel

Written By Agus M. Irkham on 17 Jan 2010 | 20:49



: agus m. irkham

Ujung 2009. Kejagung membredel lima buku, yakni pertama, Dalih Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto karya John Rosa. Kedua, Suara Gereja bagi Umat Tertindas: Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri karya Cocratez Sofyan Yoman. Ketiga, Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 karya Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Keempat, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Darmawan. Kelima, Mengungkap Misteri Keberagaman Agama karya Syahrudin Ahmad. Kelima buku tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UUD 1945, dan Pancasila.

Tentu saja, pelarangan itu memanen banyak kritik dan keberatan. Mulai dari menggolongkannya sebagai konstruksi pembodohan, kesewenang-wenangan, membatasi/tidak peka terhadap kebebasan berpikir dan kebebasan berpendapat, wujud kontrol negara terhadap cara berpikir masyarakat melalui pengarahan, pembatasan, dan pemandulan, potret ketakutan sekaligus otoritarianisme negara, hingga menggolongkan pelarangan sebagai bentuk kejahatan/kezaliman negara terhadap (hak) publik dalam memperoleh informasi yang terdapat dalam buku.

Konteks Indonesia soal pembredelan dan penyitaan buku bukanlah barang baru. Praktik ini sangat marak, terutama saat Orde Baru berkuasa. Berdasarkan hitungan Good Reads Indonesia—mengacu pada laporan Human Rights Watch—tak kurang dari 2.000 buku sudah pernah dibredel di Indonesia. Mulai dari novel, studi sejarah, ajaran agama, sosial-politik, termasuk karya-karya tulis tentang gerakan sosial awal abad 20, teologi liberal, hingga naiknya Asia sebagai pusat kapitalisme global.

Bahkan, pembredalan tak saja terbatas pada persolan isi, penerbit, dan penulisnya, tapi pendarasnya pun diseret ke siksa penjara. Seperti yang terjadi pada tahun 1988. Tiga pemuda di Yogyakarta ditangkap, ditahan, disiksa sebelum diadili, kemudian divonis berat dengan tuduhan subversi. Alasannya memiliki, membaca, mendiskusikan, dan mengedarkan beberapa novel karya Pramoedya. Mereka dihukum penjara antara tujuh hingga delapan setengah tahun, saat usia mereka belum genap 30 tahun (1000 Tahun Nusantara, Ed. J.B. Kristanto, 2000).

“Dalam sejarah,” Terang Budi Darma dalam situs indonesiabuku, “Ada tiga macam alasan mengapa sebuah buku dapat dicekal. Pertama, karena buku tersebut mengandung unsur-unsur porno yang dianggap dapat merusak moral masyarakat
Kedua, karena buku tersebut mengandung unsur-unsur ideologi/aliran/kepercayaan yang dapat dianggap meresahkan masyarakat. Ketiga, karena buku tersebut dapat dianggap merusak nama baik seseorang/lembaga tertentu.”

Hanya saja, yang patut diingat ketiga alasan tersebut dalam praktiknya sangat tergantung kepada perkembangan konstalasi politik, sosial, dan budaya masyarakat. Misalnya soal sesuatu yang disebut cabul atau tidak. Tentu saja persepsi, tingkat penerimaan dan resistensi masyarakat di era 80-an sangat berbeda jauh jika dibandingkan dengan tahun 2000 ke sini. Termasuk soal ideologi dan nama baik seseorang. Buku-buku Pram dan kajian kritis tentang Soeharto misalnya. Meskipun secara resmi surat pembredelan belum pernah dicabut, sejauh ini menerbitkan, menjual, membaca, dan mendiskusikannya tidak lagi dilarang. Buku-buku berisi teks kritis terhadap kekuasaan Orde Baru (Soeharto) kini menjadi sesuatu yang sudah lumrah. Padahal di masa Orde Baru, ia digolongkan sebagai barang haram.

Menyangkut pembredelan, sulit memang, mencari titik temu antara kepentingan negara (melalui dalih stabilitas dan melindungi kepentingan umum), dengan hak publik (kebebasan mengakses informasi). Kedua pihak bersikukuh mempertahankan haknya. Dan dapat dipastikan sampai kiamat pun keduanya tidak akan pernah mencapai kata sepakat jika tidak ada upaya untuk sementara waktu “bertukar tempat.” Negara (pemerintah) berempati sebagai pembaca/masyarakat. Dan masyarakat pembaca berandai-andai menjadi pemerintah. Hanya dengan bertukar peran itulah, jalan keluar yang sama-sama memenangkan kedua belah pihak dimungkinkan.

Bagaimana wujud konkrit tukar tempat itu?

Pertama, harus ada kejelasan dan keterbukaan informasi/keterangan dari kejaksaan menyangkut bagian mana dari suatu buku yang dianggap mengganggu ketertiban umum, serta bertentangan dengan UUD 1945, dan Pancasila. Hal itu penting, mengingat selama ini masyarakat sering dibuat bingung—juga tidak bisa menguji keabsahan alasan tersebut—lantaran kejaksaan tidak pernah memiliki dan mengungkapkan alasan yang jelas ketika mengeluarkan surat larangan terhadap suatu buku.

Kejelasan juga menyangkut siapa-siapa saja yang tergabung dalam tim sembilan—tim ini bertugas menyeleksi buku layak bredel atau tidak. Mereka terdiri atas intelijen, kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Dengan begitu, masyarakat bisa menilai kredibilitas, visi, pengetahuan, kompetensi, rekam jejak, kapasitas, dan keberpihakan tiap-tiap anggota.

Kedua, karena selama ini dalih pembredelan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan, dan pasal 30 (c) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang pengawasan terhadap peredaran barang cetakan, maka masyarakat pembaca bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi terhadap dalih yuridis itu.

Ketiga, kalau memang pelarangan ”tidak dapat dihindari”, mestinya bersifat himbauan saja. Artinya tidak perlu disertai dengan penarikan/penyitaan dan pengenaan pasal hukum kepada penulis, penerbit, dan pembacanya.

Apa pasal? Berdasarkan pengalaman yang lalu-lalu, pembredelan tidak akan pernah betul-betul dapat membatalkan niat orang untuk mendarasnya. Justru semakin menguatkan masyarakat untuk mengetahui (membaca) isinya. Kalau dahulu dengan foto kopi, kalau sekarang dengan e-book. Seperti yang dilakukan Institut Sejarah Sosial Indonesia Penerbit buku Dalih Pembunuhan Massal, Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto itu telah melepas copyright buku tersebut, untuk disebar luaskan kepada media dan masyarakat umum melalui internet.♦

Gus Dur dan Bantal Kebudayaan

Written By Agus M. Irkham on 13 Jan 2010 | 19:35




: agus m. irkham

Di Inggris, tulis Hamid Basyaib dalam buku Saya Nggak Mau Jadi Presiden, Kok
Ger-geran Lagi Bersama Gus Dur (2001), Gus Dur antara lain menemui seorang ningrat Istana Buckingham yang sudah sangat tua. Protokol Istana memberitahu bahwa pendengaran Tuan sepuh sudah sangat payah. “Jadi, pandai-pandailah Anda mengatur diri,” pesan si protokol. “Oke, oke, oke,” jawab Gus Dur singkat.

Benar saja. Ketika bertemu si Tuan Sepuh, Gus Dur langsung membuka percakapan dengan mengatakan bahwa dia adalah orang Jawa. Dan dalam kebudayaan Jawa, kata dia, orang yang lebih muda harus mendengarkan orang yang lebih tua.

“Jadi, karena saya lebih muda, saya akan lebih banyak mendengar daripada berbicara,” ujar Gus Dur pada Tuan Sepuh.

“Wah, kebetulan, telinga saya memang kurang baik,” jawab Tuan Sepuh dengan gembira—lalu bicara terus, dan membiarkan tamunya hanya menjadi pendengar.

Selesai kunjungan di Inggris, Gus Dur singgah di Arab Saudi, peristiwa itu ia ceritakan kepada Raja Saudi, yang terkenal sangat serius dan hampir tak pernah ketawa. Ternyata, ketika Gus Dur menceritakan peristiwa di Inggris itu, sang raja tertawa cukup keras, sampai giginya terlihat. Belakangan, Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) mengatakan pada Gus Dur bahwa dia telah melakukan tindakan yang luar biasa bagi rakyat Saudi.

“Kenapa?” tanya Gus Dur

“Sebab sampean sudah membuat Raja ketawa sampai giginya kelihatan—baru kali ini rakyat Saudi melihat gigi rajanya!”

Penggalan cerita kocak yang saya kutip secara verbatim di atas hanya untuk menunjukkan betapa (almarhum) Gus Dur memiliki sisi lain, humoris. Sisi yang lebih bisa didekati oleh kebanyakan orang, dibandingkan dengan sematan lainnya yang tergolong berat-berat dan di atas langit sana itu: Bapak Bangsa, Pejuang Demokrasi, Tokoh Pluralis, Pembaharu Pemikiran Islam, Pembela Kaum Minoritas.

Menurut almarhum mbah Cholil Bisri, keluncuan Gus Dur memang sudah gawan bayi. Kolumnis sekaligus sahabat dekat Gus Dur, Mohammad Sobary pernah berseloroh, bila Pak Harto raja senyum...Gus Dur (mungkin) raja humor. Sifat humoris Gus Dur pun tak kurang mendapat pengakuan dari salah satu putrinya, Ina Wahid. Pernah, ketika menonton ketoprak humor di taman Ismail Marzuki, Ina menepuk-nepuk punggung sang ayah sambil berkata: “Pa, tenang saja Pa, Papa tak mungkin kalah dari mereka.” Mendengar itu Gus Dur terkekeh-kekeh.

Cultural pillow.
Kalau diruntut ke belakang, humor lahir dan tumbuh bertalian erat dengan kekuasaan politik. Bahkan dalam istilah Taufik Abdullah (1989) ada keparalelan antara humor dengan kekuasaan. Sedangkan Prof James Danandjaja, penulis buku humor produktif, mengungkapkan bahwa humor akan ada dan berkembang ketika represi kekuatan yang menekan semakin besar. Karena orang tidak berani mengutarakannya terus terang. Keresahan sebagai pelepasan itu diutarakan lewat humor. Itu sebab di Rusia (saat masih Uni Sovyet) humor berkembang pesat. Hingga muncul buku ”Mati Ketawa Cara Rusia” –nya Z. Dolgopolovo yang serius sekaligus sangat kocak itu.

Seperti kisah berikut ini—yang pernah dicuplik Jalaluddin Rakhmat (1992). Ketika rakyat Soviet sedang antre untuk menukarkan kupon makanan, seseorang keluar dari barisan. Orang-orang menduga ia sudah lelah dan mulai putus asa. “Anda mau ke mana?” tanya orang-orang yang antre. “Saya mau membunuh Gorbachev,” jawabnya dengan tenang. Ia ngeloyor pergi. Tidak lama kemudian, ia kembali. “Apakah Anda sudah membunuhnya?, tanya orang-orang yang masih antre. “Belum,” kata orang itu. “Saya temukan di sana antreannya lebih panjang lagi!”

Faedah sosial
Lantas, apa faedah sosial humor, yang secara ”istiqomah” telah dicontohkan Gus Dur tersebut? Terutama dalam konteks ke-Indonesia-an kita.

M. Agus Suhadi dalam buku Humor itu Serius (1992) menyebutkan paling kurang ada lima manfaat penting humor dalam hidup seseorang dan keberlangsungan suatu bangsa. Salah satunya adalah sebagai bentuk rekreasi sekaligus saluran agresifitas emosi manusia akibat kekalahan hidup. Dengan deskripsi berbeda, humor bisa dijadikan sebagai cultural pillow. Semacam bantal kebudayaan, sehingga ketika seseorang sempoyongan, andaikata ambruk, ia akan jatuh di tempat yang empuk—sakitnya tidak telalu.

Kaitan dengan bantal kebudayaan itu, dalam sebuah wawancara di tahun 1987 Gus Dur mengatakan: ”Humor berarti mengambil jarak dengan masalah. Tidak terlibat langsung. Rasa getir ditekan, dan diganti dengan rasa tertawa sambil mengatakan, “sungguh bodoh saya.” Menjadi seorang yang mempunyan sense of humor yang tinggi, berarti ia telah menjadi seorang pengamat masalah yang teliti. Catatan tentang adanya masalah, kemudian sikap dan perspektif kita terhadap masalah tersebut. Inilah inti humor.”

”Kalau ini sudah tidak berfungsi,” tambah Gusdur, ”Berarti orang hanya punya satu jalan kepada masalah, yaitu menolak atau menerima. Kalau dia menolak, dia lari, menutupi keadaan dan masalah. Kalau dia menerima, berarti dia putus asa. Dan, tidak melihat adanya kemungkinan memperbaiki lagi. Itu berbahaya sekali. Sebab, kalau itu sudah merupakan kesadaran kolektif, maka apatisme yang muncul.”

Humor itu outlet kejiwaan. Tidak lagi eskapistik, sekedar penglepasan resah pribadi, melainkan kritik sosial. Sebuah interupsi sosial. Ruang jeda guna mempertahankan kewarasan dan kejujuran. Menertawakan diri sendiri, memuat penerimaan terhadap ketidakberdayaan diri membenahi kekurangajaran keadaan. Tapi bukan ketidakberdayaan yang sudah final. Tetap ada usaha-usaha atau harapan ke arah perbaikan.

Seperti yang pernah dilontarkan Gus Dur dalam sebuah kesempatan yang sempat “terrekam” Hamid Basyaib. “Pak Harto itu dulu presiden new order,” ucap Gus Dur membuka cerita, “Pak Habibie presiden in order.” Dan Gus Dur sendiri? “Saya presiden no order (tidak teratur),” katanya, kemudian terkekeh-kekeh mendahului bunyi tawa publik yang mendengarnya.

Humor. Inilah jejak Gus Dur yang saya kira paling mungkin dilakukan oleh mayoritas gusdurian. Sebuah jejak yang aktual, lantaran sebagian besar dari rakyat Indonesia kini masih terpuruk dalam kekalahan hidup (baca: kemiskinan). Belum lagi berbagai persoalan bergulung-gulung terus menerus menerpa kita: korupsi, api panas Century, politik perburuhan, kriminalitas, bencana alam, persekongkolan politik, kisruh politik pangan, sengkarut kebijakan pendidikan, dan berderet paradoks lainnya.♦

Ibuku Perpustakaan Pertamaku

Written By Agus M. Irkham on 7 Jan 2010 | 19:54



: agus m. irkham

”Ibuku perpustakaan pertamaku.” Demikian kurang lebih simpulan saya atas ucapan Tantowi Yahya, Duta Baca Indonesia, saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional ”Pembudayaan Kegemaran Membaca” di Perpustakaan Nasional RI di Salemba, Jakarta (14/12/2009).

Kakak dari Raja Kuis, Helmi Yahya itu mengatakan—seperti yang dilansir situs Kompas.com (25/12; 13:08 WIB)—ibunya sangat berperan dalam menumbuhkan kecintaan dan kegemaran membaca pada dirinya. Ibunda Tantowi tidak memaksanya membaca, tetapi memberi contoh. Seorang ibu, kata Tantowi, memiliki waktu jauh lebih banyak dibandingkan dengan ayah. Anak juga lebih dekat dengan ibu. Tantowi menambahkan jika ada keberpihakan dan perhatian dari kalangan penulis, pengarang, penerbit, dan perpustakaan kepada kaum perempuan, khusunya para ibu, bukan mustahil, kesadaran kolektif antara ibu dan masyarakat perbukuan itu akan menumbuhkan suburkan budaya baca di tiap keluarga.

Dari Jakarta, saya ajak Anda ke Semarang. Akhir November 2009 saya menjadi salah satu pembicara Workshop Pemasyarakatan Perpustakaan dan Minat baca. Acara yang diprakarsai oleh Badan Arsip dan Perpustakaan Propinsi Jawa Tengah itu berlangsung di Aula Perpustaakan Propinsi Jawa Tengah—yang oleh banyak orang sering disebut PERWIL. Ada sekitar 150 peserta, terdiri dari pustakawan perpustakaan daerah di 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, petugas perpustakaan desa, dan pengurus taman baca masyarakat. Sebagai pemateri, selain saya ada Prof. Rustono dari Universitas Negeri Semarang.

Dalam paparannya, Prof. Rustono menekankan betapa pentingnya peran ibu dalam upaya mengenalkan buku pada anak-anak. Dekan Fakultas Ilmu Budaya UNNES tersebut menyarankan agar para ibu-ibu saat pagi, setelah bangun tidur jangan langsung masak-menyiapkan sarapan dan mencuci perabot dapur/pakaian. Tapi, mulailah kehidupan di pagi hari dengan membaca. Mendengar paparan itu, banyak peserta, terutama ibu-ibu yang tersenyum penuh arti.

Nah, tak kalah menariknya saat sesi pertanyaan, ada peserta (masih berumur mbak-mbak) yang menimpali rekomendasi itu dengan saran agar Prof. Rustono menulis buku yang isinya dapat memberikan kesadaran pada kaum bapak-bapak (suami) agar mereka memiliki pengertian. Para suami mau memberikan waktu dan kesempatan kepada para istri untuk membaca koran, buku, atau majalah di pagi hari. Karena kenyataan yang terjadi adalah sebaliknya. Tiap pagi, para istrilah yang paling diburu-buru waktu. Mereka harus menyelesaikan segala macam pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menyiapkan sarapan untuk anak-anak yang akan berangkat sekolah, hingga membereskan perlengkapan kerja suami. Celakanya, kebanyakan suami berpandangan bahwa aktivitas membaca itu sama dengan bermalas-malasan.

Pernyataan Tantowi dan Prof. Rustono di atas memberikan, paling kurang dua ikhtisar penting. Yaitu pertama, para ibu, yang pertama-tama haruslah melek huruf. Sebagaimana yang pernah dinyatakan Mendiknas Mohammad Nuh, guna menumbuhkan kegemaran membaca, salah satu hal esensial yang harus disiapkan adalah menyangkut pengenalan karakter atau huruf dalam bahan bacaan. Artinya program pemberantasan buta huruf menjadi sangat penting. Kalau buta huruf bagaimana bisa membaca dan memahami teks.

Apalagi, dalam konteks Jawa Tengah misalnya, sulit mengharapkan kepada kaum ibu agar mereka menjadi figur utama penggerak minat baca di keluarga. Apa pasal? Karena sampai dengan akhir tahun 2007 saja, jumlah penduduk buta huruf yang berusia 15-44 tahun, hampir 70 persennya (480.612 orang) adalah perempuan. Tersebar hampir di semua kabupaten dan kota di Jateng. Dengan persentase terbesar berada di kabupaten Brebes, Sragen, Banjarnegara, Blora, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Grobogan, Rembang, dan Pekalongan. Betul kalau ada simpulan yang menyatakan bahwa penyebab utama buta aksara adalah kemiskinan. Karena kesepuluh kabupaten tersebut memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Rata-rata di atas 30 persen. (Jateng dalam Angka, BPS).

Yang kedua, kesuksesan peran ibu sebagai pemasar budaya baca di keluarga harus didukung oleh masyarakat (perbukuan), swasta, pemerintah dan yang paling utama dan kunci adalah dari para masing-masing suaminya

Ikhtiar sistematis dan masif yang dapat dilakukan guna meningkatkan kapasitas para perempuan—dalam konteks perannya sebagai pemasar budaya baca di keluarga—adalah: Pertama, dengan mengirim mereka ke tempat yang semestinya, yaitu sekolah melalui program beasiswa pendidikan. Semacam program orangtua asuh, tapi khusus untuk anak perempuan. ”Program Hadiah Pendidikan Seumur Hidup,” dalam bahasa John Wood (2007).

”Kita tidak bisa berharap banyak terhadap siasat meningkatkan kualitas hidup kaum calon ibu, jika mereka tidak memiliki kesempatan bersekolah.” Papar Wood yang mantan Manager Pemasaran Microsoft untuk kawasan Asia Pasifik itu.

Apalagi tingkat pendidikan yang ditamatkan seringkali linear dengan kesadaran/kegemaran membaca. Seperti yang pernah ditunjukkan oleh hasil
jajak pendapat Kompas (8/11/2008) tentang minat baca masyarakat di Kota Semarang, Solo, Purwokerto, dan Tegal. Tercatat responden berpendidikan pascasarjana, seluruhnya (100 persen) membaca buku setiap hari. Kebiasaan yang sama juga dimiliki responden berpendidikan sarjana (48,5 persen), dan diploma (35,4 persen).

Kedua, perpustakaan bekerjasama dengan penerbit harus berperan aktif, menjemput bola, meminjami buku kepada para ibu dari satu pintu rumah ke pintu lain. Layaknya yang dilakukan perpustakaan di Malaysia. Di negeri Jiran ini para orangtua, khususnya ibu ditempatkan pada posisi yang sangat penting dalam program kampanye membaca. Yaitu mereka dijadikan teladan pertama bagi anak-anaknya dalam urusan membaca. Oleh Pustaka Publik di negeri Serawak, Malaysia, para orangtua dipinjami buku. Dalam beberapa minggu, petugas Pustaka Publik datang kembali untuk mengganti buku-buku lama dengan yang baru. Demikian seterusnya. Hingga seluruh anggota keluarga memiliki kegemaran membaca. Dan pada akhirnya ketika seluruh pengguni rumah membutuhkan bacaan, mereka tidak lagi menunggu jatah pinjaman, tapi dengan sukarela dan penuh kegembiraan ramai-ramai pergi ke perpustakaan.♦

Segi Cergas Gurita Cikeas



: agus m. irkham
—tulisan ini pernah tersurat di Suara Merdeka 6 Januari 2010—

Tak dapat dipungkiri, Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century
menjadi buku paling menyita perhatian publik di tanah air pada hari-hari menjelang tutup tahun 2009. Perhatian itu paling kurang dapat dicandra melalui headline yang tertulis di berbilang media. George Junus Aditjondro, penulisnya pun kerap didaulat sebagai penampil di berbagai stasiun televisi. Kehebohan tidak saja muncul dari masyarakat umum, tapi terlebih pada orang-orang yang disebut George sangat berperan, kalau tidak mau disebut kunci, dalam oligarki kekuasaan Cikeas.

Tulisan ini tidak hendak memperpanjang dalih benar tidaknya sangkaan George, alih-alih mempersoalkan metodologi yang digunakan. Tapi lebih kepada melihat buku Gurita Cikeas sebagai produk (budaya) semata. Yaitu melihat Gurita Cikeas dalam perspektif kepentingan kuasa modal (penerbit).

Perspektif kepentingan tersebut dapat dikuak melalui jawaban atas satu pertanyaan mendasar berikut ini: Bagaimana proses sebuah buku diproduksi/ diterbitkan?

Pada mula buku diproduksi, ia sangat bersifat personal. Baik pada saat menuliskan dan menyusunnya menjadi sebuah buku, hingga teknis penggandaannya. Contoh paling klasik dari buku sebagai produk personal ini adalah seperti yang ditunjukkan saat zaman keemasan Islam di Cordova, Spanyol. Saat itu, ketika seseorang ingin menerbitkan buku, maka ia harus mengerjakannya secara manual. Mulai dari menulis, menyusun, hingga mengemasnya (menjilid/menyampuli). Penggandaan terhadap buku tersebut tidak dengan dicetak tapi di foto kopi manual alias ditulis tangan. Maka, pada zaman itu, jasa foto kopi manual banyak bermunculan.

Ditemukannya teknologi cetak generasi pertama menggeser buku tidak lagi semata-mata produk personal tapi telah berubah menjadi produk komunal. Proses kreatif penulisannya tetap bersifat personal, hanya saja proses pengemasan, penggandaan, dan distribusinya sudah melibatkan bantuan pihak lain. Sudah dipasarkan secara umum, tapi diproduksi dalam jumlah terbatas, dan untuk kalangan terbatas/tertentu (komunitas).

Produk industrial
Fase ketiga, buku sebagai produk industrial. Kelahiran satu judul kini tidak lagi terpusat pada satu orang (penulis), tapi melibatkan banyak orang. Mulai dari penyunting, pemeriksa aksara, penata letak, ilustrator, proof reader, hingga perancang sampul.

Setelah buku selesai dicetak, pekerjaan belum selesai. Buku tersebut masih harus dipasarkan. Di sini penerbit membutuhkan kehadiran pemasar: sales, distributor, dan agen. Nah, karena begitu mengularnya orang yang terlibat dalam siklus penerbitan satu judul buku hingga buku tersebut berada dalam genggaman pembaca/pembeli, kini menerbitkan buku (yang laku dan bermutu) bukan sesuatu yang mudah. Waktu yang dibutuhkan untuk menggarap satu judul buku pun, menjadi lebih lama.

Sudah begitu, sebelum memutuskan suatu naskah layak cetak atau tidak, penerbit akan memastikan terlebih (melalui survei/riset pasar) tingkat keterjualan suatu tema buku. Bahkan berdasarkan keterangan yang saya terima, ini terjadi di salah satu penerbit besar di Jawa Tengah, untuk menggolkan satu judul buku saja, menyangkut layak cetak/terbitnya, tiap naskah harus disertai dengan analisis ekonominya (laba-rugi). Sudah begitu, andaikata berdasarkan analisis ekonomi itu menguntungkan, tidak serta merta naskah tersebut segera dicetak. Tapi harus antri. Berapa lama? Tidak tentu. Bisa tiga bulan, enam bulan, bahkan setahun! Tergantung jadwal, tingkat kepadatan, dan prioritas naskah.

Sekarang kembali ke Gurita Cikeas. Di dalam buku tersebut George masih mengintroduksir pidato Presiden SBY pada Oktober 2009. Artinya pada hari-hari di bulan itu George masih menulis. Nah, hebatnya buku itu sudah diluncurkan pekan terakhir Desember 2009. Taruhlan Goerge telah menyelesaikan naskahnya pada akhir Oktober, praktis penerbit hanya membutuhkan waktu kurang dari dua bulan. Waktu yang pendek tersebut digunakan untuk menyunting, memeriksa huruf, merevisi (pada beberapa kasus, setelah digarap editor, naskah dikembalikan lagi ke penulis guna dikembangkan dan dipertajam), menata letak isi, melengkapi teks dengan gambar, meng-sett hingga menjadi naskah siap cetak, membaca halaman proof, mencetak, melakukan finishing, dan mendistribusikan ke penyalur dan agen.

Pertanyaan besarnya, apa mungkin dalam waktu dua bulan bisa menyelesaikan beragam pekerjaan teknis yang dari sisi waktu, sangat sulit diretas itu?

Sejak mula bermasalah
Tentu saja, jawabannya mungkin. Namun, kalau pertanyaan tersebut diteruskan: Bagaimana kualitas buku yang diterbitkan dengan jadwal yang super duper ketat seperti itu? Maka jawabannya akan menjadi lain. Karena berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, ketergesaan linear dengan hasil yang kurang optimal—untuk tidak mengatakan buruk. Baik secara teknis (context) maupun substantif (content).

Pada titik itu, mestinya kita bisa mafhum, mengapa Gurita Cikeas memanen kritik, terutama yang menyoal akurasi dan bobot kognisi akademik. Ya, karena memang dari sono-nya sudah ”bermasalah”.

Pendeknya waktu yang dihabiskan untuk menelurkan Gurita Cikeas juga memunculkan satu kemungkinan lagi, George menulis hanya dalam satu tarikan nafas. Artinya, setelah naskah dinyatakan selesai, langsung diserahkan ke penerbit. Kemungkinan lain editor penerbit hanya berperan memeriksa huruf—
tidak ”mempertimbangkan kembali” isi—untuk kemudian langsung masuk tahap persiapan pra cetak. Jikalau penyunting telah mempertimbangkan isi dan beragam aspek editing lainnya, maka Gurita Cikeas justru menunjukkan standar kerja editorial yang rendah.

Bisa saja, ketergesaan mengejar momen itu (bola api Century yang kian liar dan memanas) dapat dipandang sebagai bentuk kecergasan atau keprigelan penerbit dan penulisnya memanfaatkan peluang pasar. Dan itu sah-sah saja. Tapi setelah mendaras hasilnya (Gurita Cikeas) kita harus buru-buru membubuhkan tanda petik pada lema cergas itu.♦

Pilkada dan Keberaksaraan Politik

Written By Agus M. Irkham on 11 Nov 2009 | 00:03



: agus m. irkham

Tidak lama lagi, kita akan memasuki tahun 2010. Tahun di mana sebanyak 17 kabupaten/kota di Jawa Tengah akan menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada). Di antaranya adalah Kebumen dan Kota Pekalongan (5 Juni), Kota Semarang dan Kendal (26 Juni), Rembang, Kota Magelang , Sukoharjo, Blora, Boyolali, Purbalingga dan Surakarta (27 Juni), Kabupaten Semarang 31 Agustus, Wonosobo 4 September, Wonogiri 17 September, Klaten 24 September dan Pemalang 27 November.

Berdasarkan hasil pemindaian saya atas peta persoalan di Jateng, sejauh ini ada dua masalah gawat yang bisa mengancam kualitas pelaksanaan pilkada tersebut. Masalah gawat yang pertama adalah kemiskinan. Di Jawa Tengah berdasarkan keterangan yang diberikan Gurbernur Jateng, Bibit Waluyo (11/7/2009), ada sekitar 7.807 desa. Dari jumlah tersebut sekitar 42 persen (3.300 desa) masuk dalam kategori desa miskin. Desa miskin tersebut—secara agregat rata-rata sekitar 30 persen dari total jumlah penduduk tiap kabupaten—sebagian besar tersebar di kabupaten Brebes, Sragen, Blora, Banjarnegara, Purbalingga, Kebumen, Grobogan, Rembang, Wonosobo, dan Pekalongan. Dari sepuluh kabupaten tersebut lima di antaranya akan menyelenggarakan pilkada, yaitu Blora, Purbalingga, Kebumen, Rembang, dan Wonosobo. Artinya di kelima kabupaten itu, potensi terjadinya politik uang dalam pelaksanaan pilkada adalah yang paling besar.

Mengapa kemiskinan bisa mengancam kualitas pilkada—dominannya politik transaksional?

Borgol demokrasi
”Pemberantasan kemiskinan merupakan pilar bagi tercipta dan berkembangnya demokratisasi.” kata mantan presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Dengan kata lain kemiskinan bisa memborgol demokrasi. Karena diborgol, tangan tak mampu menampik, bukti tidak adanya resistensi masyarakat pemilih terhadap iming-iming materi (baca: uang dan konsesi-konsesi lainya). Mereka menjadi sangat pragmatis. Preferensi politik mereka menjadi sangat dangkal.

Pilkada direduksi menjadi sangat sederhana: dengan memilihmu, sekarang aku akan dapat apa? Mana uangmu, ini suaraku! Kesibukan bekerja guna melawan kelaparan, bukannya kemiskinan juga telah membuat mereka tidak memunyai waktu lagi untuk menyuarakan aspirasinya. Aspirasi yang lebih bersifat konstruktif, berkelanjutan, dan jangka panjang. Alih-alih mengupayakan praktik berdemokrasi (pilkada) agar berkualitas, mempertahankan kepul dapur saja susah. Di mata masyarakat pemilih yang demikian, hal paling kunci yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan pilihan adalah kandidat yang paling bisa memberikan kemanfaatan nyata dan seketika. Bukan kandidat yang memiliki tawaran program yang progresif dan menyeluruh.

Masalah gawat yang kedua adalah berupa rendahnya angka melek aksara budaya. Ukuran yang selama ini digunakan untuk menilai apakah seseorang tergolong melek aksara budaya atau tidak adalah berdasarkan varian jenis/tema buku yang dibaca. Serta apakah di setiap bulannya ia secara khusus punya anggaran beli buku. Secara umum berdasarkan hasil riset literasi yang pernah dipublikasikan Kompas (20/11/2006): hampir 60 persen dari masyarakat Jateng tidak memiliki anggaran untuk membeli buku di tiap bulannya.

Dalam konteks pilkada, wujud dari melek aksara budaya itu berupa keberaksaraan politik. Yaitu kesanggupan untuk mendaras informasi, baik berupa teks maupun non teks di luar hal-hal yang bersifat teknis fungsional (profesi). Calistung budaya memungkinkan tumbuhnya kepedulian (empati), sikap kritis, sportif, dan kesediaan untuk turut ambil bagian dalam proses penyelesaian masalah-masalah kolektif—budaya demokrasi.

Meta meaning-nya: buta aksara-budaya akan melahirkan kebutaan politik. Yakni ketidakmampuan menggali, memilih dan memilah informasi, rumor, desas-desus, klaim politik, melakukan cek, ricek, menganalisis informasi politik yang didapat, serta menggunakan itu semua sebagai pertimbangan sebelum menentukan satu pilihan, dari sekian banyak pilihan bentuk partisipasi politik.

Bayangan saya, nanti pihak yang paling sibuk di hari-hari menjelang ”17 Kabupaten/Kota Memilih”, adalah partai politik dan para kandidat. Mereka menggiring preferensi politik masyarakat melalui beragam simulasi pertandaan. Mulai dari iklan politik via televisi, baliho, spanduk, stiker, hingga selebaran. Dan semua itu dilakukan tidak dalam rangka melaksanakan civic education, tapi lebih digerakkan oleh kepentingan jangka pendek, perolehan suara.

Simulasi citra, melalui bahasa dan simbol digunakan sebagai alat meraih kekuasaan, khususnya dengan cara memanipulasi tanda, sehingga menghasilkan berbagai distorsi makna Rendahnya tingkat keberaksaraan politik membuat partisipasi politik warga—preferensi atas kandidat bupati dan walikota—lebih dominan disandarkan pada ikon, citra, image dan kecakepan wajah. Bukannya program, dan kecakapan kerja. Preferensi politik menjadi sebuah pilihan tidak sadar, karena mengabaikan unsur kehati-hatian, pengawasan, serta informasi lengkap/rekam jejak kandidat. Kalau sudah begitu, terpilihnya bupati dan walikota yang qualified sulit diharapkan.

Padahal pilkada yang sukses, tidak saja sukses penyelenggaraan. Tapi juga sukses menghasilkan bupati dan walikota jujur, amanah, cerdas, dan berpihak pada kepentingan rakyat. Dan pemimpin yang demikian hanya bisa dihasilkan oleh masyarakat yang telah mapan secara ekonomi, dan cerdas secara sosial (keberaksaraan politik). Sayangnya, dua prasyarat itu sebagian besar belum dimiliki oleh kabupaten dan kota di Jateng yang akan menyelenggarakan pilkada. Oleh karenannya, dua prasyarat itu pula yang semestinya dijual oleh para kandidat saat kampanye nanti, sekaligus menjadi prioritas program kerja jika kelak dipercaya masyarakat untuk memimpin. Dengan demikian, harapannya matarantai politik transaksional—borgol demokrasi—bisa diputus. Semoga.♦

Buku Berbalas Buku

Written By Agus M. Irkham on 18 Mar 2009 | 20:29



: agus m. irkham

Sudah jamak buku yang memproduksi perdebatan lantas dibalas dengan menerbitkan buku pula. Hingga ada fenomena buku berbalas buku. Namun sangat jarang perdebatan itu melahirkan buku tandingan yang intensitasnya menyamai novel Da Vinci Code anggitan Dan Brown, seorang penulis Amerika. Da Vinci Code diterbitkan pada 2003 oleh Doubleday Fiction.

Karya fiksi yang versi Indonesinya diterbitkan Serambi pada tahun 2004 itu,
merupakan salah satu buku terlaris di dunia. Berdasarkan catatan saya, sampai dengan Agustus 2005 telah laku sebanyak 36 juta eksemplar dan telah diterjemahkan ke dalam 44 bahasa, serta menjadi salah satu subjek studi kebudayaan (cultural studies).

"Semua deskripsi karya seni, arsitektur, dokumen, dan ritus rahasia dalam novel ini adalah akurat," tulis Dan Brown membuka sapa. Penegasan yang semakin membuat banyak pihak gemetar, skeptis, sekaligus tak kuasa menunggu untuk segera membantahnya. Dan Brown disebut sebagai antikristus.

Maka lahirlah beragam buku yang dimaksudkan sebagai revisi, bahkan tulis ulang atas apa yang sudah ditulis Dan Brown dalam Da Vinci Code. Anehnya bantahan itu tidak dalam bentuk novel, melainkan buku serius alias non fiksi: Mematahkan Teori-teori Spekulatif dalam The Da Vinci Code (Bhuana Ilmu Populer, 2005). Buku ini merupakan terjemahan Cracking Da Vinci's Code, karya James Garlow dan Peter Jones (Colorado Springs: Victor, 2004). Fakta dan Fiksi dalam The Da Vinci Code, Da Vinci Code Decoded: Menguak Kisah Di Balik Fiksi Da Vinci Code (Martin Lunn), Menjawab The Da Vinci Code, dan Pengakuan Maria Magdalena (Lie Chung Yen, Kanisius, 2005).

Tren buku berbalas buku itu paling tidak menerbitkan tiga pemaknaan.
Pertama, Tidak ada kebenaran tunggal atas satu atau banyak situs sejarah. Tak ada pihak manapun yang memiliki otoritas kebenaran. Buku berbalas buku sekaligus bentuk optimisme terhadap pencarian kebenaran sejarah. Wujud nyata dari perjuangan melawan lupa. Karena kepemilikan tunggal atas klaim kebenaran sejarah sering kali memproduksi keberaturan yang meniadakan partisipasi dan kemerdekaan. Semua hendak didisiplinkan. Tidak hanya baju yang harus seragam, tapi juga isi kepala. Buku berbalas buku adalah ruang (bagi) publik untuk menyatakan kebebasannya berpendapat. Entah dalam bentuk gunjingan, perdebatan, atau sekadar nggeremeng. Ia menjadi ukuran pada tingkat mana sebenarnya kemerdekaan individu itu diakui.

Kedua, buku memungkinkan terjadinya perdebatan yang produktif. Perdebatan yang dilakukan tidak dengan semangat menyakiti. Sebaliknya, saling mengingatkan dan melengkapi. Ada keinsyafan betapa cara pandang terhadap satu persoalan itu begitu beragam. Wujud persaudaraan sebagai sesama makhluk Tuhan yang secara given telah diberi bekal untuk mengaktualisasikan potensi kebenaran yang dimiliki tiap diri.

Ada yang mengatakan apa yang terjadi di bumi ini tidak ada satu dan sesuatu pun yang baru—karena jelujur kisah kehidupan sering kali berulang—sampai dengan seseorang bisa bersyukur atas apa-apa yang sudah diperoleh. Maka pada sudut ini, buku berbalas buku sebenarnya adalah bagian dari ungkapan rasa syukur itu.

Melalui menulis buku balasan, membuat seseorang berjarak dengan apa yang sedang ia sebut sebagai masalah. Keberjarakan itu diperlukan agar ia terhindar dari situasi kalis, bisa lebih jernih dan merdeka ketika melihat sesuatu. Itu sebab, isi buku balasan bukannya cemooh, syak wasangka, dan ejekan-ejekan nyinyir yang ditonjokkan pada penulisnya, tapi pemikirannya. Isi bukunya.

Buku berbalas membuktikan kepada khalayak pembaca bahwa ternyata tema buku tidak akan pernah habis. Meskipun ada kesan semua tema dari a sampai z sudah pernah ditulis. Tapi ternyata ada saja, sela-sela tema, bagian atau sudut pandang tulisan yang belum dimasuki, yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh penulis lain.

Ketiga, dari sisi strategi pemasaran buku, buku berbalas buku adalah modus paling mudah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Karena pasar sudah terbentuk sejak mula. Perdebatan yang muncul, dapat dibaca sebagai potensi pasar yang masih terbuka lebar. Pada kasus Da Vinci Code, penerbit Bhuana Ilmu Populer yang merupakan kelompok Kompas Gramedia, serta Kanisius posisinya sebagai pembonceng gratis. Mereka tak perlu lagi bermain keberuntungan. Pada segi ini buku berbalas buku akan melahirkan istilah: penulis kejar tayang dan penerbit kejar setoran.♦

BSE dan Ancaman PHK

Written By Agus M. Irkham on 10 Feb 2009 | 00:19

: agus m. irkham

Kebijakan buku murah melalui BSE (buku sekolah elektronik) yang diluncurkan Presiden SBY pada pertengahan Agustus 2008 lalu, dampaknya mulai dirasakan oleh banyak penerbit buku teks pelajaran. Mereka harus menanggung retur dan buku tak terjual. Menurut Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Darma, jika 250 penerbit anggota Ikapi masing-masing memiliki stok dua juta eksemplar buku, maka saat ini ada sekitar 500 juta buku yang tidak terjual (Kompas, 25/11/2008).
Dalam situasi demikian—ketika semua jalan keluar tertutup—tentu saja satu-satunya pilihan yang tersedia buat para penerbit adalah: melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) besar-besaran.

Sifat industri penerbit buku pelajaran
Saya melihat ancaman PHK itu sebagai satu bukti betapa penerbit buku pelajaran selama ini bersifat oligopolis. Meskipun jumlah penerbit buku pelajaran ratusan—yang berkesan persaingan sempurna—sejatinya yang benar-benar besar, yang menguasai pasar, dapat dihitung dengan jari. Besar dalam pengertian memiliki kapasitas produksi optimal, jaringan distribusi sangat luas serta berskala ekonomi tinggi. Sehingga ongkos produksi per eksemplarnya pun sangat efisien (kecil). Harga pokok produksi kecil mengakibatkan harga jual jadi relatif murah.

Tuntutan tingginya efisiensi di industri buku pelajaran, didorong oleh luas dan besarnya pasar. Penerbit buku pelajaran, dalam domain industri perbukuan, menjadi satu-satunya sub domain yang memiliki pasar paling raksasa. Satu judul buku sekali naik cetak tidak lagi 3000 atau 5000 eksemplar tapi bisa langsung 100.000 eksemplar, bahkan lebih.

Contoh sederhana yang dalam beberapa kesempatan sering saya sebut—untuk menggambarkan betapa besarnya potensi pasar buku pelajaran: taruhlah buku teks pelajaran bahasa Indonesia untuk SMA kelas 1, semester ganjil. Di Kota Semarang saja, ada kurang lebih 79 SMA, baik swasta maupun negeri, Jika tiap sekolah kita ambil jumlah minimal siswa kelas 1 (paralel) adalah 300 siswa. Maka total ada 23.700 siswa, yang dalam pandangan penerbit berarti eksemplar buku yang bakal terjual. Itu baru kelas 1 semester ganjil di Kota Semarang. Belum semester genap, di kelas yang lebih tinggi, di kota dan provinsi lain.

Apalagi setelah ada kebijakan BSE yang boleh dicetak dan diperjualbelikan dengan harga eceran tertinggi patokan pemerintah, Rp15.000. Penerbit sebelum memutuskan menerbitkan buku ajar harus menghitung terlebih dahulu jumlah minimal cetakan (skala ekonomi)—yang pastinya sangat besar, dan butuh modal besar pula agar dapat memenuhi harga jual patokan pemerintah. Termasuk mencatatkan item margin keuntungannya yang sudah digariskan pemerintah, yaitu hanya 15 persen.
BSE, alat saring

BSE merupakan alat saring buat penerbit buku ajar. Hanya penerbit-penerbit besar saja yang mampu bertahan. Lainnya akan rontok. Dengan kata lain, BSE merupakan alat pemerintah guna memaksa penerbit agar menjual buku pelajaran dengan harga murah. Dan dalam pandangan pemerintah, penerbit besar mampu melakukan itu. Jadi, dalam pandangan pemerintah, mahalnya harga buku pelajaran dapat disimpulkan karena banyaknya penerbit kecil yang ikut bermain. Karena kapisitas produksi kecil, skala ekonomi rendah, proses produksi tidak efisien, harga jual eceran per eksemplarnya pun jadi tinggi (mahal).

Tiap kebijakan kondisi trade off (ada pihak yang harus dikorbankan) sering kali tidak bisa dihindari. Dalam konteks kebijakan buku murah, nampak jelas penerbit buku pelajaran berkapasitas kecil menjadi pihak yang paling terkena getah.
Apa boleh buat, pemerintah, dalam hal ini Pusat Perbukuan (Pusbuk) harus mendahulukan kepentingan yang lebih besar, yaitu terbukanya kesempatan para siswa mengakses buku ajar. Mendapatkan buku ajar dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau.

Dengan begitu, ada kesan memang, pemerintah menganggap sepi kepentingan para pekerja buku (editor, layouter, desainer, dan yang lainnya). Termasuk tidak memperhitungkan risiko ekonomi dan dampak sosial akibat pemutusan hubungan kerja.
Tindakan apa yang harus diupayakan para penerbit buku teks pelajaran dalam hal ini adalah Ikapi, agar penerbit tidak melakukan PHK besar-besaran? Pertama, melobi pemerintah agar diberi kesempatan menghabiskan stok buku yang belum laku.
Kedua, membawa masalah ini ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Lantaran melalui BSE pemerintah (Pusbuk) berkesan hendak ”memonopoli” kembali pengadaan buku teks pelajaran. Sehingga nuansa pertentangan dan persaingan antara penerbit dan pemerintah (Pusbuk) tidak bisa ditutup-tutupi.

Ketiga, penerbit buku pelajaran mesti melihat kemungkinan untuk beralih menjadi penerbit buku umum. Meskipun, tentang ganti mengganti ini bukanlah persoalan mudah, tapi paling tidak sumber daya yang dimiliki seperti editor, layouter, desainer, dan yang lainnya masih dapat diberdayakan. Sehingga kalau memang tetap harus mem-PHK, tidak dilakukan secara besar-besaran

Menurut saya, di tahun 2009 ini, penerbitan buku umum akan semakin bergairah nan kompetitif. Akan bermunculan penerbit-penerbit baru, yang notebene-nya penerbit lama-buku teks pelajaran. Sedangkan di ranah penerbitan buku ajar, kian bersifat oligopolis. Hanya menyisakan segelintir penerbit saja yang mampu bermain. Yaitu mereka yang sejak mula tergolong arus utama, besar, dan mapan.♦

Berhentilah Mencela Perpustakaan!

: agus m. Irkham

Entah bagaimana suasana batin orang-orang yang begitu bersemangat menceritakan temuannya tentang perpustakaan yang buruk. Seolah-olah hanya ia saja yang tahu. Lalu tidak kuasa menanggung tahu itu. Hingga ia merasa seisi dunia harus segera diberitahu. Ia anggap temuan itu adalah liyan (lain). Ia tidak perlu merasa bersalah, membiarkan keburukan itu terjadi. Ia tidak perlu merasa menjadi bagian dari apa yang ia temukan.

Tapi anehnya, semangat untuk mengabarkan kepada dunia kok tidak terjadi, ketika misalnya menemukan perpustakaan yang baik. Apakah memang selama ini belum ada seorang pun yang mendapati perpustakaan daerah dalam kondisi baik?!
Ganjilnya, kok tidak ada ya, yang menulis tentang perpustakaan Kabupaten Wonosobo dengan konsep one stop information, membuatnya diganjar sebagai perpustakaan daerah (kabupaten dan kota) terbaik pertama (nomor tiga tingkat nasional) di Jawa Tengah. Meski terbilang perpustakaan ndeso, layanan buka sampai jam 9 malam. Tiap hari tak kurang 1000 pengunjung datang, baik sekadar membaca atau hanya meminjam. Perpustakaan yang para stafnya berkemampuan menjadi fasilitator rumah belajar-rumah belajar di beberapa kecamatan.

Lainnya, kok tidak ada ya, yang menulis tentang perpustakaan Kota Magelang, yang melengkapi varian layanannya dengan klinik baca tulis, turut menelorkan beberapa penulis yang tulisannya sudah mulai menghiasi beberapa media, baik regional (Jateng – DIY) maupun nasional.

Perpustakaan yang hanya memiliki 25 staf, itu pun mayoritas ibu-ibu,—pada awal September 2007 lalu nekat menyelenggarakan acara pameran perbukuan dan perayaan komunitas literasi selama lima hari. Dan sukses! Padahal acara serupa jika dikerjakan oleh birokrasi pemerintah bisa menghabiskan dana ratusan juta lantaran jumlah panitia yang sak ndayak (banyak sekali). Sudah begitu, sepi pengunjung.
Kok tidak ada ya, yang menulis tentang perpustakaan pendidikan nasional, Jakarta. Lazim disebut library@senayan, yang sanggup menghadirkan perpustakaan layaknya cafe. Mampu menjadi magnet buat mereka yang tidak saja suka buku, tapi juga nonton, nge-net, sekaligus ngobrol.

Sayang, orang-orang yang mengaku dekat dengan dunia kata, pustaka, perbukuan, justru lebih suka bernada sumbang,mencela, ketimbang menyumbang tenaga dan pikiran agar perpustakaan yang ideal dalam gambaran mereka dapat terwujud.
Saya justru kuatir, orang-orang demikian (pencela perpustakaan fundamentalis) jatuh pada verbalism. Sering mengritik, mencibir dan gaduh soal perpustakaan, lantas menganggap kegaduhan itu sebagai bentuk kerja nyata. Mereka sering menjadikan fakta (temuan) sebagai sasaran tembak. Dari soal petugas yang cemberut, buku berdebu, koleksi tidak lengkap, katalogisasi acakadut, dan lain-lain.

Mestinya perjalanan dilanjutkan pada upaya menelisik, bagaimana fakta itu bisa terjadi (realita). Apakah memang temuan-temuan itu merupakan sebab, bukan akibat? Apakah kekacauan itu disengaja oleh petugas perpustakaan atau sekadar hasil dari kekerasan struktural yang dilakukan negara, khususnya pemerintah daerah? Apakah para pegawai perpustakaan itu benar-benar benar pelaku ”kejahatan pustaka” atau hanya korban? Korban dari kebijakan yang memang tidak memihak kepada mereka (baca: perpustakaan).

Saya kira sudah saatnya teman-teman penggerak perbukuan, aktivis literasi, kerani pustaka, berhenti bernyaman-nyaman di menara gading. Hanya berkoar saja. Jangan hanya lincah menghentakkan jari di atas keyboard dan betah mematut diri di depan layar komputer. Turunlah. Sapa dan dengarkanlah kesulitan mereka, para pustakawan yang membutuhkan teman sekaligus advokasi dari luar (kalian). Saya yakin dalam perpustakaan-perpustakaan yang dinilai buruk itu ada satu dua mutiara. Yang jika digosok akan mengkilat, memesona. Adalah tugas para eksponen komunitas perbukuan untuk menemukan dan menggosok mutiara itu-mutiara itu.

Soal mutiara dalam lumpur perpustakaan daerah, ada satu kenyataan menarik ketika saya ke perpustakaan kabupaten Magelang (berada Jl. Dr. Sutomo, Muntilan). Kenyataan yang memaksa saya berulang kali mencubit kulit lengan lantaran disergap rasa tak percaya. Hari itu, saya mendapati salah satu petugasnya ”marah-marah” pada pengunjung. Selidik-punya selidik, kemarahan itu berawal dari salah satu pengunjung yang meminta tolong pada petugas untuk mencarikan buku. Lantas petugas langsung mencarikan dan dapat. Dengan enteng, si pengunjung berterima kasih, sambil meminta maaf. Seolah-olah permintaanya itu dianggap sebagai bentuk kesalahan. Nah, anggapan itu yang rupa-rupanya membuat si petugas “marah”.

”Anda salah, Anda tidak perlu minta maaf, saya digaji memang untuk melayani masyarakat, pengunjung, anggota perpustakaan, termasuk Anda. Saya tersinggung dengan permintaan maaf Anda.” Demikian kira-kira ucapan si petugas kepada pengunjung.
Buat para peresensi buku, tumbuhkanlah inisiatif masyarakat untuk berkontribusi meramaikan perpustakaan. Jadilah jembatan yang menghubungkan antara masyarakat pembaca, perpustakaan dan penerbit. Misalnya dengan program-program kreatif yang dirancang berjalan secara reguler: ketemu penulis, peluncuran buku, pelatihan menulis buku, pelatihan meresensi buku, bedah buku, dan sebagainya.

Mengapa demikian? Karena sepertinya—paling tidak untuk saat ini—buat menghidupkan perpustakaan kita tidak bisa mengandalkan pemerintah. Hak harus direbut. Daya tawar harus ditingkatkan. Kesadaran di masyarakat bahwa perpustakaan itu penting harus diledakkan. Karena selama ini, banyak sekali usulan pengembangan perpustakaan ditolak oleh pemerintah daerah (terutama dewan), lantaran dianggap lembaga yang tidak menghasilan uang. Sekaligus dianggap hanya usulan satu dua orang di perpustakaan, bukan dari masyarakat.

Nah tunggu apalagi, berhentilah berbusa-busa kata!

Apa Manfaat Belajar Bahasa Indonesia?

Written By Agus M. Irkham on 4 Feb 2009 | 00:02

: Hernowo
Guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA Plus Muthahhari

Apa sesungguhnya manfaat-nyata belajar bahasa, khususnya Bahasa Indonesia? Ketika anak-anak kita berbondong-bondong ke sekolah, dan di sebuah ruang kelas mereka mengikuti kegiatan belajar matapelajaran Bahasa Indonesia, apa yang mereka peroleh? Apa kaitan belajar bahasa dengan kehidupan mereka kelak?

Salah satu manfaat terbesar belajar bahasa adalah untuk keperluan berkomunikasi. Kehidupan manusia tidak mungkin dilepaskan dari kegiatan berkomunikasi. Apa pun bidang kegiatan yang akan diterjuni seseorang, pastilah dia tidak bisa menghindar untuk tidak berkomunikasi. Apalagi di masa sekarang dan mendatang di mana alat-alat canggih untuk berkomunikasi—komputer, ponsel, dan lain-lain—tentu akan semakin dahsyat dan menakjubkan perkembangannya.

Salah satu kemampuan penting berkomunikasi adalah menampakkan pikiran. Agar pikiran yang ada di dalam benak seseorang menjadi jelas dan dapat dipahami seseorang, pikiran perlu ditampakkan dengan bantuan kata-kata. Memang, gagasan atau ide dapat ditampakkan tidak hanya lewat kata-kata. Gagasan dapat ditunjukkan lewat nyanyian (lagu), gambar atau lukisan, patung, konstruksi bangunan, dan banyak lagi yang lain.

Namun, pemahaman terhadap sebuah gagasan baru akan sangat efektif apabila gagasan tersebut dapat ditampakkan lewat kata-kata atau dibahasakan secara tertulis.

Nah, anak-anak kita perlu memperkaya diri mereka dengan kata-kata apabila ingin menjadi manusia-manusia yang piawai dalam berkomunikasi, khususnya dalam menampakkan pikiran dan gagasannya. Hanya dengan memiliki kekayaan kata yang luar biasalah anak-anak kita akan dapat secara efektif, enak, dan lancar dalam berkomunikasi.

Apabila kekayaan kata yang dimiliki oleh anak-anak kita itu sangat berkualitas, mereka pun akan sangat terbantu dalam mengeluarkan pikiran dan gagasan mereka yang sangat berkualitas. Sebaliknya, apabila mereka miskin akan kata-kata, mereka akan mengalami kegagapan dalam berkomunikasi—salah satunya adalah kesulitan dalam mengutarakan pendapat mereka.

Bagaimana caranya agar anak-anak kita dapat memiliki kekayaan akan kata-kata? Tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh mereka kecuali dengan membaca. Membaca, oleh karena itu, sangat penting ditekankan dalam matapelajaran Bahasa Indonesia. Apabila matapelajaran Bahasa Indonesia di sekolah dapat saja menjadikan anak-anak kita asyik dan akhirnya mencintai kegiatan membaca, tugas utama matapelajaran tesebut tercapai sudah.

Menurut riset ahli linguistik Dr. Stephen D. Krashen—lewat bukunya yang mengagumkan, The Power of Reading: Insights from the Research (Libraries Unlimited, 1993) kemampuan menulis hanya dapat dibangun di dalam diri seseorang lewat kegiatan membaca. Kemudian, menurut psikolog-peneliti, Dr. James W. Pennebaker—dalam bukunya yang berisi hasil-hasil kegiatan risetnya, Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions (The Guilford Press, 1990)—menulis dapat membantu seseorang untuk membuka diri, yaitu untuk mengeluarkan seluruh tekanan yang mendera pikiran seseorang. Bahkan, secara tegas Dr. Pennebaker menunjukkan kepada para pembacanya bahwa kegiatan menulis dapat menghindarkan seseorang dari depresi. Tentu, untuk dapat menulis secara “blak-blakan” (opening up) ini, seseorang perlu menyimpan di dalam dirinya kata-kata yang sangat kaya.

Dalam buku penulis, Membacalah Agar Dirimu Mulia: Pesan dari Langit (MLC, 2008), merujuk ke penafsiran Muhammad Quraish Shihab atas Surah Al-`Alaq—khususnya ayat ketiga yang berbunyi, iqra’ wa rabbukal-akram—membaca dapat mengantarkan si pembaca untuk meraih kemuliaan. Dan kemuliaan itu diberikan sendiri oleh Tuhan.

”Kata al-akram yang berbentuk superlatif adalah satu-satunya ayat di dalam Al-Quran yang menyifati Tuhan dalam bentuk tersebut. Ini mengandung pengertian bahwa Tuhan dapat menganugerahkan puncak dari segala yang terpuji bagi setiap hamba-Nya, terutama dalam kaitannya dengan perintah membaca,” demikian tulis Muhammad Quraish Shihab (lihat lebih lengkap dalam Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Penerbit Lentera Hati, Jakarta, 2003, h. 399).

Agar kegiatan membaca dapat diselenggarakan dengan menyenangkan dan lancar, tentulah diperlukan bahan-bahan bacaan yang dapat membangkitkan semangat dan gairah membaca anak-anak kita ketika mereka belajar matapelajaran Bahasa Indonesia di sekolah. Semoga pada tahun 2009 ini semakin banyak bahan bacaan yang bergizi yang diperlukan oleh anak-anak kita untuk memperkaya diri mereka dengan kata-kata yang berkualitas sehingga mereka nanti dapat menampakkan diri-diri (pikiran dan gagasan) mereka yang berkualitas pula. Amin.

Bandung, 7 Januari 2009

Menyoal Keberaksaraan Perempuan

agus m. irkham

Awal tahun 2000. John Wood, pria berusia 36 tahun, mantan eksekutif di Microsoft tengah berada di ketinggian 12 ribu meter. Terbang melintasi Pasifik, dari Sydney hingga Los angeles. Dalam perjalanannya yang panjang itu, ia membaca laporan dari PBB tentang keadaan pendidikan di negara-negara berkembang.

Sekonyong-konyong ia terkejut begitu matanya tertumbuk pada deretan data yang menyatakan 850 juta orang di dunia tidak memiliki literasi dasar, alias buta huruf. Dan dari 850 juta tersebut, dua pertiganya adalah perempuan. Dengan kata lain dalam setiap sepuluh orang yang buta huruf, tujuh di antaranya adalah perempuan. Kebanyakan dari mereka berada di kawasan Asia.

Laporan yang dirilis PBB tersebut tidak berlebihan. PBB? Asia? Jangan jauh-jauh deh. Di Jawa Tengah misalnya. Sebagaimana yang pernah dilansir banyak media, sampai dengan akhir tahun 2007, jumlah penduduk buta huruf yang berusia 15 – 44 tahun, hampir 70 persennya (480.612 orang) adalah perempuan.

Tersebar hampir di semua kabupaten dan kota di Jateng. Dengan persentase terbesar berada di kabupaten Brebes, Sragen, Banjarnegara, Blora, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo, Grobogan, Rembang, dan Pekalongan. Betul kalau ada simpulan yang menyatakan bahwa penyebab utama buta aksara adalah kemiskinan. Karena kesepuluh kabupaten tersebut memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi. Rata-rata di atas 30 persen. (jawa Tengah dalam Angka, BPS, 2006).

Fakta itu mempertegas laporan UNESCO tahun 2005 yang berjudul Keberaksaraan untuk Kehidupan (Literacy for Live). Laporan itu menyebutkan bahwa ada hubungan yang rapat antara kemiskinan sebagai sebab, dan buta aksara sebagai akibat. Di 30 negara berkembang, di mana angka kemiskinan tinggi, di situ pula tingkat melek huruf sangat rendah.

Lantas pertanyaan besarnya adalah: apa yang harus dilakukan pemerintah propinsi Jateng untuk menggerus tingginya angka buta aksara pada perempuan?

Dirikan perpustakaan
Ada dua. Pertama, mendirikan perpustakaan. Mengapa perpustakaan? Keberadaan perpustakaan ini penting, karena kasus membengkaknya angka buta huruf, di samping angka baru, juga berasal dari orang-orang yang sebelumnya sudah melek huruf, namun kembali mengalami buta huruf. Lantaran kemampuan teknis membaca yang mereka miliki, tidak pernah dipraktikkan. Bukannya malas atau tidak punya waktu karena larut dalam pekerjaan teknis. Tapi lebih kepada sulitnya mereka mengakses media baca/teks, khususnya buku.

Pada titik ini memfungsikan kembali perpustakaan desa, dan mendorong bertumbuhnya taman baca partikelir/swasta menjadi tidak bisa ditawar lagi. Baik yang dikelola oleh perseorangan, maupun oleh kelompok masyarakat atau komunitas. Kegiatan perpustakaan hendaknya juga harus menembus dinding. Tidak hanya memberikan kemanfaatan kepada orang perorang di sekitar tempat taman baca atau orang yang membaca di dalam gedung perpustakaan saja. Tapi juga masyarakat di luar gedung. Apalagi karena kondisi masyarakat yang memang masih harus terus disuapi agar terbiasa membaca buku.

Tak kalah penting, perpustakaan harus mampu menghubungkan antara apa yang dibaca masyarakat dengan aktivitas keseharian mereka. Membaca menjadi aktivitas yang memunyai kemanfaatan nyata, yang langsung dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini berkaitan dengan ragam buku yang harus disediakan. Dengan demikian masyarakat dapat merasakan langsung faedah membaca. Selain pengetahuan berkembang, pendapatan pun bertambah. Inilah yang disebut sebagai melek huruf secara fungsional. Buku berfungsi sebagai piranti meningkatkan kualitas hidup, terutama ekonomi.

Hadiah pendidikan
Kedua, mengirim anak-anak perempuan ke tempat yang semestinya, yaitu sekolah melalui program beasiswa pendidikan. Semacam program orangtua asuh, tapi khusus untuk anak perempuan. Program hadiah pendidikan selama hidup, dalam bahasa John Wood. Melalui Room to Read, yayasan yang didirikannya, ia membantu banyak anak perempuan di Asia sehingga memeroleh pendidikan layak.

Wujud bantuan itu adalah dengan membayar uang sekolah mereka, memberikannya dua seragam sekolah, dua pasang sepatu, tas, buku, peralatan sekolah, sepeda, asuransi sekolah, dan seorang mentor tangguh untuk memerhatikan kelompok pelajar muda itu. Biaya keseluruhan dari paket istimewa ini hanya 250 dollar AS per tahun. Atau sekitar Rp2,5 juta. Melalui Room to Read pula, terhitung sampai dengan akhir tahun 2006, ia telah mendirikan 3.600 perpustakaan di Asia. (John Wood, Leaving Microsoft to Change The World, 2007: 260, 266)

Salah satu alasan mendasar mengapa kita perlu memusatkan perhatian pada perempuan, adalah—meminjam pernyataan Usha, teman John Wood yang membantu menggerakkan program pendidikan untuk anak-anak perempuan di Nepal: ”Ketika Anda mendidik seorang anak alaki-laki. Anda mendidik hanya seorang anak laki-laki. Tetapi ketika Anda mendidik seorang anak perempuan, Anda mendidik seluruh keluarga, dan generasi berikutnya.”

Kita tidak bisa berharap banyak terhadap ikhtiar meningkatkan kualitas hidup kaum perempuan, jika anak-anak perempuan tidak memunyai kesempatan untuk bersekolah.
Pemerintah dapat melibatkan swasta, agar memasukkan paket hadiah pendidikan dalam program tanggung jawab sosial di tiap perusahaan (CSR). Termasuk memberi kesempatan pada setiap orang yang berkecukupan secara ekonomi untuk mengubah masa depan satu anak perempuan. Bukankah sebuah karunia tak ternilai jika Anda diberi kesempatan untuk mengubah sejarah hidup orang lain melalui sejumlah kecil uang?[]

Datang, Serang, Menang!

Written By Agus M. Irkham on 3 Feb 2009 | 23:56

: agus m. irkham

Ada banyak peristiwa terjadi di dunia perbukuan selama tahun 2008. Salah satunya, yang paling mengemuka adalah maraknya pameran buku yang diselenggarakan oleh eo (event organizer) perbukuan. Di Jawa Tengah, pameran tidak saja digelar di kota-kota besar, macam Semarang, dan Solo, tapi juga kota-kota kecil, seperti Wonosobo, Purwokerto, Pekalongan, Sragen, Jepara, Kudus, dan Batang.

Maraknya gelaran pesta buku yang digagas eo perbukuan itu melahirkan tiga lema penting: datang, serang, menang! Tiga lema tersebut menjadi modus aktivitas eo perbukuan. Mula-mula mereka mendatangi suatu daerah, melihat berbagai potensi dan kemungkinan pasar, menyerang—meyakinkan/melobi beberapa pihak untuk menggelar pameran buku, sambil menghitung tingkat keuntungan yang bakal dikantongi. Begitu pameran akan dibuka/diresmikan, mereka sudah bisa memastikan kemenangan. Bahkan pada beberapa kasus kemenangan sudah bisa dihitung sebelum pameran dibuka. Kemenangan itu berwujud keuntungan ekonomi (profit), dan suksesnya acara (benefit)

Dalam satu tahun satu eo perbukuan bisa lebih dari satu kali menggelar pameran di satu daerah. Belum lagi eo lainnya. Sekadar contoh, terjadi di Kota Semarang. Di awal tahun 2000-an boleh dikata, Kota Semarang masih sepi pameran buku. Setahun sekali saja belum tentu. Tapi tiga tahun terakhir ini, hampir dapat dipastikan ada pameran buku. Malah tidak hanya sekali tapi bisa tiga - empat kali. Dengan dua – tiga eo yang berbeda.

Munculnya eo perbukuan dapat dimaknai sebagai dampak langsung geliat industri perbukuan. Jumlah penerbit sudah ratusan, jumlah buku baru dalam satu bulan sudah ribuan judul, pilihan buku semakin beragam, pertumbuhan pasar buku juga positif. Dalam situasi pasar yang demikian kompetitif itu tentu saja penerbit tidak lagi bisa semata-mata mengandalkan toko buku. Apalagi toko buku sebagai saluran distribusi dan gerai jualan tidak semua dikelola dengan baik, terutama dalam pelaporan dan pembayaran penjualan. Akibatnya penerbit sering mengalami kesulitan likuiditas. Jadi kemunculan eo perbukuan dapat dibaca sebagai bentuk empati serta tawaran solusi atas persoalan penerbit.

Balik modal
Tentu saja, oleh penerbit uluran tangan itu disambut baik. Terbukti di setiap pameran, terutama yang diadakan di kota besar, pasti diikuti oleh ratusan penerbit. Mereka saling dahulu mendahului membeli stan. Tak jarang mereka harus gigit jari, karena stan habis. Yang menarik stan habis bukan karena penerbit yang ingin ikut kelewat banyak, tapi karena diborong oleh satu penerbit/distributor, mereka membeli tiga-empat stan sekaligus dengan harga khusus. Stan-stan itu bukan untuk dipakai sendiri, tapi cukup dipakai satu atau dua stan saja, sisanya di jual ke penerbit/distributor lainnya, dengan harga lebih tinggi dari harga bentukan eo.

Dalam praktik seperti itu, di hari pertama pameran, penerbit/distributor yang memborong stan sudah bisa balik modal. Selisih harga yang ia terima sudah cukup untuk membayar stan yang ia pakai. Entah modus seperti ini dapat disebut praktik gelap atau tidak. Karena yang sering berlaku, eo hanya berkepentingan terhadap terjualnya stan pameran. Tak soal, jika stan yang telah dibeli dioper ke pihak lain, bahkan kosong. Yang penting stan laku, duit sudah masuk. Publikasi tak perlu gila-gilaan. Maka bisa saja dalam satu pameran, kita jumpai begitu banyak penerbit yang ikut, stan penuh, tapi sepi pengunjung.

Kondisi demikian tentu saja melahirkan kekecewaan pada penerbit. Sebagai peserta pameran, mereka berharap banyak pengujung yang datang. Dengan begitu kemungkinan buku laku juga bertambah besar. Dan tingginya tingkat pengunjung linear dengan marak dan menariknya acara pendamping pameran. Itu sebab sebagian besar penerbit yang besar dan mapan menjadikan ada tidaknya dan menarik tidaknya acara pendamping sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan mengikuti pameran.

Ikut menjual buku
Praktik menarik lainnya dari eo perbukuan—untuk memuluskan modus: datang, serang, menang—mereka juga ikut menjual buku. Ini biasanya terjadi pada pameran yang diadakan di daerah, maksudnya bukan kota besar. Dan eo yang pegang belum begitu terkenal. Daya tawar mereka masih rendah. Baik ketika berhubungan dengan penerbit, distributor maupun pihak-pihak terkait lainnya.

Untuk meyakinkan pemegang izin (birokrasi) di daerah, sponsor, dan masyarakat, mereka mengelola sendiri stan-stan yang ada. Panitia (eo) meminta penerbit dan distributor untuk mau menitipkan buku-buku mereka. Dengan sistem titip jual. Buku-buku itu oleh eo ditaruh di stan-stan sesuai dengan nama penerbit, distributor, dan nama eo itu sendiri, kemudian dijual kepada pengunjung. Penerbit dan distributor mau menitipkan buku-bukunya karena ada garansi orang (personal guaranty), faktor jarak, keterbatasan sdm kalau mau dijual sendiri, serta kemungkinan perluasan pasar.

Agaknya frekuensi penyelenggaraan pameran juga harus diatur. Mengingat agresifitas eo perbukuan berupa gelaran pameran buku yang bertubi-tubi dalam rentang waktu sempit, telah dirasakan oleh sementara pengelola toko buku sebagai sebuah ancaman.[]

Bergabunglah dengan Musuh!

Written By Agus M. Irkham on 20 Jan 2009 | 20:23

: agus m. irkham

Nasihat itu, yang dilontarkan Michael Peirson, pengajar pada pusat pelatihan jurnalistik Thomson Foundation di Cardiff, Inggris, menanggapi nujum: pers tradisional (teks berbasis kertas) tidak mampu bersaing dengan pers online (teks berbasis bit-internet). Meski konteks pembicaraan Peirson adalah pers, ketika dibawa ke wilayah yang lebih sempit, yaitu dunia perbukuan, naga-naganya tetap gayut. Peirson tidak berlebihan. Berkembangnya website perbukuan, dan maraknya penerbitan buku tradisional bertema komputer dan internet adalah bukti terdekat bahwa kehadiran keduanya tidak saling menegasi. Sebaliknya, justru saling melengkapi.

Kendati demikian nubuat itu juga dapat kita baca sebagai bentuk peringatan, wanti-wanti. Bahwa buku tradisional tidak akan mati, itu iya! Tapi bahwa akan terjadi perubahan mendasar tentang jenis buku apa yang (tidak) dapat dipertahankan bentuk ketradisionalannya, itu pasti. Buku eksiklopedia misalnya. Dapat dipastikan akan segera menemui ajal. Bahkan, naga-naganya sudah. Kini, untuk menelisik satu lema, orang lebih memilih mesin pencari (search engine) Google, atau Wikipedia—ensiklopedia raksasa virtual dunia—ketimbang menjadi kutu ensiklopedia tradisional.

Ensiklopedia tradisional yang lazimnya setebal bantal, beratnya kiloan, dalam wujudnya sebagai ensiklopedia elektronik menjadi hanya setebal satu helai kertas hvs. Bisa masuk saku baju, praktis, dapat Anda bawa ke tempat tidur, serta dapat diakses kapan dan di manapun. Soal kedalaman isi dan luasan bidang cakup yang sebelumnya saling meniadakan pun lenyap. Dengan begitu, rasanya ensiklopedia tradisional harus merasa tahu diri, bila ditinggalkan.

“Terlalu berbelit bagi para inovator laboratorium yang harus bekerja cepat dengan ratusan acuan ilmiah yang disebar di seluruh dunia.” Dedah Romo Mangun, saat simposium Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia, 1999.

Lantas, buku jenis apa yang masih mungkin dipertahankan bentuk ketradisionalannya? Di domain mana saja penggabungan “lakon” dan “musuh” dapat dilakukan? Andai penerbit tradisional sudah ancang-ancang, suatu saat nanti semua produk akan di-online-kan, model transisi seperti apa yang harus dilakukan?

Rumusan penulis novel sejarah The Name of The Rose, Umberto Eco soal buku, saya kira dapat membantu kita menjawab pertanyaan pertama.

“Buku tetap tak tergantikan.” Tandas Eco via Daniel Dhakidae (2007). “Bukan saja untuk karya sastra, lanjut Eco, akan tetapi untuk keperluan apa saja ketika seorang perlu membaca lebih dari teliti. Bukan saja untuk memeroleh informasi tetapi untuk berspekulasi secara teoritis dan membuat renungan tentang itu. Membaca layar komputer tidak sama dengan membaca buku”.
Dalam bingkai kacamata Umberto Eco, buku berbasis atom (pohon-kertas) yang masih dapat dipertahankan keatomannya hanyalah buku-buku babon. Ketegori biangnya buku. Buku kelas satu yang membuka wawasan dan cara pandang baru terhadap sebuah gejala. Tabiat asli buku babon (isi, sajian, dan bahasa), memaksa orang menyediakan waktu yang lama untuk membaca dan memahaminya. Dan itu sungguh merepotkan jika harus didaras melalui layar komputer. Lagi, memiliki bentuk fisik buku babon, memang lebih kerap mendatangkan nilai magis, kebanggaan.

Lakon (atomisasi teks) dan musuh (digitalisasi teks) dapat berrangkulan di ranah jualan dan produksi. Riuhnya toko buku online, website penerbit, milis penerbit; milis pembaca; milis komunitas perbukuan-penulis, dsb., saya kira bisa mewakili bentuk penggabungan itu.

Di website penerbit, guna menjual buku versi kertasnya, segumpil informasi isi buku dapat ditampilkan secara online, lengkap dengan kavernya. Kalau tertarik, pembaca dapat memesan/membeli melalui email atau telepon (e-commerce). Di milis, baik penerbit maupun pembaca, keduanya dapat memanfaatkan milis sebagai sarana mencari dan menawarkan naskah, merilis info buku terbaru, sekaligus memasarkannya.

Lakon dan musuh menjadi komplementer. Demi mengetahui perkembangan perbukuan offline, orang dapat mengunduhnya melalui informasi online (website/situs). Kebalikannya, kala ingin menelisik perkembangan buku nirkertas (e-book), orang pergi ke toko buku—gerai buku berbasis kertas.

Di ranah produksi, melalui surat elektronik (email), terbuka lebar kemungkinan penerbitan suatu buku tidak lagi memerlukan pertemuan fisik, antara penerbit, editor, dengan percetakan dan penulis. Proses produksi pun jadi hemat dan sangkil. Lantaran komunikasi, seluruhnya dapat diselenggarakan secara online. E-book yang terbukti laris dapat diterbitkan dalam versi cetak. Demikian juga buku tradisional, jika serapan pasarnya bagus (bestseller), sangat mungkin dikemas dalam bentuk elektronik (e-book).

Rupa-rupanya digitalisasi teks, meminjam analogi Antony Gidden ketika bicara soal globalisasi, laksana truk besar yang tengah melaju dengan percepatan yang terus meninggi.►

Buka Kalbu dengan Buku

: agus m. irkham

Tubuh perlu santapan, berupa bahan makanan penuh vitamin dan gizi. Otak pun perlu asupan suplemen, berwujud ilmu dan pengetahuan. Hati juga butuh nutrisi. Berupa petuah, nasihat, empati, dan kutbah-kutbah yang menggugah. Petitih yang mampu menjadi cambuk agar semangat hidup berkobar kembali, terbebas dari belenggu sepi, kosong, dan perangkap rasa keterasingan.

Nutrisi buat hati atawa kalbu sekarang ini tidak harus bersumber dari seorang guru, suhu, rahib, pendeta, romo, bedande, ustadz atau kyai, yang mensyaratkan pertemuan fisik/tatap muka dan mengandaikan kepemilikan otoritas pengetahuan tertentu. Tapi juga dapat berasal dari buku. Buku tidak saja ditahbis sebagai hasil olah pikir atau produk intelektual tapi juga hasil olah kalbu, pengalaman batin penulisnya. Buku menjadi sarana membuka kalbu. Tempat ibadah mereka tidak lagi di masjid, gereja, pura atau vihara, tapi toko buku.

Sekarang ini para pencari kebenaran, dan ketenangan hidup lebih memilih buku (substansi) ketimbang guru (ikon) sebagai mentor karir kesadaran kemanusiaan mereka. Beberapa sebab diantaranya pertama, buku memberikan ruang dialog bersifat kesejajaran. Para pendarasnya tidak perlu menyimpan rasa rikuh apalagi takut, jika tidak sependapat dengan apa yang dinubuahkan penulisnya. Dan bukankah untuk sampai pada level kebenaran yang lebih tinggi, kehadiran dialog menjadi sesuatu yang mesti.

Kedua, buku memungkinkan tiap orang menjadi guru/penyeru—meskipun ia tidak bertujuan demikian—saat ia memutuskan diri untuk merekam pengalaman batinnya ke dalam bentuk buku. Tidak soal, jika ternyata si penulis tidak tergolong sebagai kelas masyarakat yang memunyai otoritas mengeluarkan fatwa. Justru karena si penulis adalah orang awam, para pembaca memunyai kepercayaan diri bahwa ia dapat mencapai suasana batin persis seperti yang telah dicapai penulisnya.

Petuah itu dipersepsi secara positif dan dianggap sebagai tawaran jalan hidup yang realistis. Bahkan tak jarang kutbah orang-orang awam tersebut dibaca dengan penuh hikmat dan keharuan. Anjuran-anjurannya diikuti dengan penuh kekhusyukan, dan tidak jarang lebih banyak mengetarkan hati dan mempengaruhi alam bawah sadar pembacanya ketimbang anjuran para pemilik otoritas kebenaran.

Tidak selalu buku spiritual
Buku yang mampu menggugah kalbu, tidak selamanya buku bergagrak agama atau bertema religiositas, tapi meliputi juga buku sastra, humaniora, biografi/memoar, psikologi, politik, dan budaya. Karena memang tujuan membaca bukan untuk meningkatkan kesalehan individual berwujud pelaksanaan ritus ibadah. Tapi untuk melejitkan kesadaran sosial dan tanggung jawab terhadap kehidupan. Memiliki makna kontemplatif sekaligus transformatif. Mengasah sensitifitas terhadap masalah-masalah kemanusian, yang sebelumnya bebal, tidak peduli. Menganggap semua yang terlihat kasat mata dianggap berlangsung secara alamiah—kausalitas natural. Bukan hasil dari perkelahian kepentingan di belakangnya—kausalitas struktural.

Kali ini akan saya ajukan dua judul buku yang masuk kategori mampu membuka kalbu pembacanya. Ini hanya contoh saja, tentu berbilang judul buku lainnya masih dapat ditambahkan. Pertama, yang paling sering dibicarakan orang satu tahun terakhir, yaitu novel Laskar Pelangi. Novel biografis rekaan Andrea Hirata itu membuka pintu kesadaran banyak pembacanya.

Satu misal Nico, seorang mahasiswa pecandu narkoba asal Bandung. Seusai mengkhatamkan novel setebal 534 halaman itu, ditingkahi deraian air mata keharuan, Nico berjanji pada dirinya sendiri untuk berhenti memakai narkoba, sekaligus bertekad menyelesaikan kuliahnya yang hampir drop out. Ia malu dengan Lintang, salah satu anggota laskar pelangi, yang terpaksa berhenti sekolah karena ia harus bekerja, karena ayahnya meninggal, padahal ia sulung, dan adik-adiknya masih kecil.

Di belakang Nico ada banyak orang yang mengaku turut pula terinspirasi oleh Laskar Pelangi. Mulai dari guru, karyawan, ibu rumah tangga, pelajar, dokter gigi, hingga pelaku bisnis kaki berkaki (MLM).

Buku yang kedua, ini contoh paling klasik, yaitu buku berjudul Chicken Soup for the Soul. Buku anggitan Jack Canfield, mantan guru SMA kelahiran Chicago tahun 1944 itu berisi tuturan kisah orang-orang awam yang telah berhasil mengatasi masalah hidup. Dari mulai karir, pertemanan, performa olahraga, hubungan antar anggota keluarga, prestasi di sekolah, hingga masa depan pernikahan. Kumpulan kisah inspiratif itu berhasil menjadi pisau bedah bagi jutaan orang yang hatinya tengah tertutup. Didera rasa putus asa, kekuatiran, keterasingan, kekecewaan, dan beragam perasaan tidak enak lainnya. Ditekuni tidak saja oleh para orang tua dan dewasa, tapi juga ditaklik oleh pembaca usia anak dan remaja.

Buku yang pernah diasong penulisnya ke lebih dari 30 penerbit itu—karena mengalami penolakan terus menerus—kini telah diterjemahkan ke dalam 54 bahasa, terjual lebih dari 100 juta eksemplar, paling kurang telah terbit 144 seri, dinobatkan sebagai buku yang pantas menjadi warisan, dan menempati peringkat 12 (dari 50) sebagai produk yang mengubah dunia.

Pemerian di atas, meneguhkan simpulan banyak orang, barangkali itulah yang disebut dengan spiritualitas buku. Buku tidak lagi ditempatkan sebagai air minum untuk menghilangkan dahaga ilmu dan pengetahuan, tapi juga air yang mampu membersihkan kalbu yang tengah berdebu.►

“Keajaiban” Pemasaran Al-Quran

: agus m. irkham

Buat Anda yang muslim, izinkan saya bertanya. Apakah Anda memunyai Al-Quran? Berapa eksemplar yang Anda punyai? Al-Quran itu Anda beli sendiri atau dibelikan orang lain? Kapan Al-Quran itu dibeli?

Besar kemungkinan jawaban Anda seperti ini: Punya, satu eksemplar, dibelikan orangtua, wah lupa kapan, karena sudah lama sekali, yang saya ingat saat itu baru saja memasuki usia baligh.

Jawaban yang menerbitkan kesimpulan, penerbitan Al-quran cepat mengalami kejenuhan. Bagaimana tidak jenuh, sekali beli, dipakai hingga mati. Kalau memang membeli lagi, biasanya menunggu hingga Al-quran yang dimiliki betul-betul sudah tidak bisa terpakai—karena lama tidak dibaca. Bisa karena ada halaman yang sobek, dimakan rayap, atau debu yang menempel kelewat tebal. Dan yang demikian siklusnya bisa puluhan tahun.

Sepintas, jalinan klausul jenuhnya penerbitan Al-Quran di atas masuk akal. Tapi ketika menilik lebih dalam gerak hidup penerbitan Al-Quran, simpulan itu menjadi tidak bunyi. Ini sekadar contoh, Karya Toha Putra (KTP), Semarang. Penerbit yang mengkhususkan diri mencetak Al-Quran dan kitab kuning itu mengaku kuwalahan melayani permintaan pasar. Dalam satu tahun, tak kurang dua juta eksemplar Al-Quran diserap pasar.

Padahal dari sisi harga dibandingkan dengan penerbit lain, relatif paling mahal. Sudah begitu KTP mengambil kebijakan produksi zero stock alias semua produk dilempar keluar, tidak menyimpan cadangan produk di gudang. Untuk varian produk Al-Quran, KTP mengeluarkan 99 seri/edisi. Penandaan seri dengan menggunakan 99 nama Allah (asmaul husna). Di tiap seri bisa memiliki lebih dari 4 variasi ukuran. Seri yang dimaksudkan di sini terbatas hanya pada perbedaan disain dan warna kover, ukuran, serta tampilan isi (bergaris, ayat pojok).

Gelaran temuan tersebut baru di KTP, belum di penerbit lainnya. Karena ternyata apa yang dialami KTP juga dialami penerbit lainnya. Dengan kuantitas dan kualitas cetak yang tentu saja bervariasi.

Lalu apakah dengan begitu pemasaran Al-Quran dapat dikatakan mengandung keajaiban?

Sepintas memang demikian. Hingga orang mulai menghubungkan keajaiban itu dengan kedudukan Al-Quran sebagai mukjizat. Tapi kalau mau kita telisik, sejatinya ajaib hanya kesan. Tetap saja model penjualan dan pola penerbitan Al-Quran dapat dicatat sebagai sesuatu yang common sense. Memenuhi kaedah pemasaran yang secara umum telah dikenal.

Lantas, siapa sebenarnya sasaran market penerbitan Al-Quran? Meskipun belum diketahui secara persis besaran kontribusi masing-masing, pasar potensial Al-Quran dapat dikategorikan sebagai berikut.

Pertama kolektor Al-Quran. Barangkali lebih tepat kalau disebut sebagai pencinta Al-Quran. Setiap ada model baru Al-Quran, baik menyangkut tampilan kover, warna, ukuran, dan halaman isi, pasti langsung dibeli. Misalnya KTP mengeluarkan 99 seri. Dengan tiap seri katakanlah ada 5 macam variasi ukuran. Maka buat seorang kolektor, Al-Quran berjumlah 495 (99 x 5) eksemplar itu akan langsung diborong.

Kedua, para muslimin yang hendak melangsungkan pernikahan. Dalam setiap pernikahan hampir dapat dipastikan Al-Quran dijadikan maskawin, di samping tentu saja Anda pasti tahu…seperangkat alat shalat. Anda bisa menghitung sendiri, dalam satu bulan berapa ribu, bahkan (mungkin) ratus ribu orang yang melangsungkan pernikahan. Dengan kata lain—simpulan yang agak berlebih—selama ada peristiwa penikahan, selama itu pula eksistensi penerbit Al-Quran akan tetap terjamin.

Ketiga, anak-anak yang sudah menyelesaikan pembelajaran membaca huruf hijaiyah melalui iqro maupun qiroati akan meneruskan pembelajarannya dengan langsung membaca Al-Quran. Nah pada kesempatan itu, biasanya sebagai wujud rasa syukur dan bahagia orangtua akan membelikan Al-Quran untuk si anak. Market share lapis ketiga ini besaran yang paling mendekati jumlah pastinya juga bisa dihitung. Penghitungan itu bisa dimulai dengan menghitung jumlah taman pendidikan Al-Quran yang ada di satu wilayah (kabupaten, propinsi, nasional).

Keempat, Al-Quran juga sering digunakan sebagai hadiah pernikahan, ulang tahun, khitan, dan waqaf. Khusus untuk terakhir yang disebut, biasanya pembelian berlangsung secara besar-besaran dan melibatkan institusi, bukan penjualan retail yang sifatnya pribadi/personal. Pada beberapa kejadian, bahkan institusi langsung memesan ke penerbit yang sekaligus bertindak sebagai pencetak. Pesan langsung karena alasan teknis. Misalnya logo dan nama institusi yang harus tertulis di kover. Atau waqaf Al-Quran itu diberikan dalam rangka peristiwa/kejadian khusus.

Faktor yang menentukan mengapa sebuah institusi memesan langsung ke penerbit, yang lalu-lalu bukan didasarkan pada harga (keunggulan komparatif), apalagi hasil kasak-kusuk atau kuatnya tim pelobi (pemasaran) satu penerbit, tapi semata-mata ditentukan oleh kualitas dan rekam jejak penerbit (keunggulan kompetitif).

Pasar Al-Quran yang kelima adalah santri yang baru masuk ke pesantren. Meskipun sebelumnya mereka sudah memunyai Al-Quran, biasanya oleh orangtuanya akan dibelikan lagi. Ada juga, santri senior, karena kelewat sering menjamah Al-Quran, mengakibatkan kertas lecek, akhirnya membeli Al-Quran lagi. Dengan demikian pesantren dapat disebut sebagai stakeholders inti penerbit Al-Quran. Irisan terbesar pasar yang kelima ini berada di pulau jawa.

Penerbitan Al-Quran memang tergolong unik. Keunikan itu misalnya menyangkut harga jual. Pembeli biasanya langsung mengiyakan harga yang ditawarkan penjual. Berapa pun harganya. Ada semacam beban psikologis, berupa rasa malu jika akan menawar. Menginginkan surga kok minta diskon. Karena di alam bawah sadar calon pembeli, membeli Al-Quran sama dengan membeli surga. Keunikan lainnya, penerbit tidak perlu membayar royalti penulisnya. ►
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger