Update Artikel Terbaru
Showing posts with label ESEI LITERASI. Show all posts
Showing posts with label ESEI LITERASI. Show all posts

Para Guru, Menulislah!

Written By Agus M. Irkham on 13 Jan 2011 | 19:57



:: agus m. irkham

Widodo namanya. Guru SMP Negeri di wilayah Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Ia yang kebetulan menjadi salah satu murid di Klinik Baca Tulis asuhan saya itu, suatu waktu bertutur. Isi tuturan berkisah tentang adanya lomba pemilihan guru teladan tingkat SMP se-kapupaten Batang. Diharapkan paling kurang, tiap sekolah ada satu guru yang mewakili. Ia pun berniat ikut. Dan menjadi satu-satunya kandidat dari sekolah tempat ia mengajar. Namun, begitu mengetahui salah satu syarat seleksi adalah membuat esai/tulisan tentang pendidikan, ia pun merasa kecut. Lantas mundur teratur.

Meski sudah enambelas tahun mengajar, buat Widodo jarak antara otak ke saraf tangan tetap saja terasa jutaan kilometer. Menulis adalah pekerjaan super sulit. Secara hiperbolis, susahnya menulis ia ibaratkan: tengah duduk menghadap meja. Di atas meja ada kertas dan pena. Sebuah pistol mengarah persis ke kepalanya. Hanya ada dua pilihan buatnya, menulis atau di-dor. Maka dengan berat hati, tawaran terakhirlah yang ia pilih.

Tanpa bermaksud melakukan penyederhanaan kesimpulan—kebanyakan guru lumpuh menulis—kurang lebih, hal itu pula yang saya temui di Semarang akhir juni lalu. Saat itu saya berkesempatan menjadi pemateri pelatihan bertajuk: Pembelajaran Menulis yang Asyik, Menggairahkan Plus Menginspirasi. Dari sekitar 50 peserta yang semuanya adalah guru Bahasa Indonesia (SMA), yang tergolong rajin menulis kurang dari 10 persen! Dari jumlah itu, yang mengirimkan tulisannya ke media massa adalah 0 persen!

Apa gerangan penyebab kelumpuhan itu? Bukankah dalam keseharian mengajar, mereka sudah begitu rapat dengan aktivitas menulis. Meski dalam pengertian yang sempit. Seperti mencatat di papan tulis, menulis jurnal materi pelajaran, menulis presensi, mengoreksi tugas siswa, membuat silabus pelajaran-pembelajaran, dan sebagainya.

Simpulan awal saya, sebab guru lumpuh menulis adalah justru karena kelewat dekatnya mereka dengan aktivitas menulis itu (dalam pengertian sempit). Menulis dipahami sebagai sesuatu yang alamiah belaka. Sudah tradisi dalam pengertian yang negatif. Hingga dianggap sudah selesai. Menulis, ya menulis pelajaran. Titik. Dunia kata tidak dianggap sebagai pengetahuan. Sehingga pengkajian terhadap perkembangan yang menyertainya pun, macam spiritual reading, quantum writing, speed reading, dirasa tak perlu.

Beda salju dan es krim
Kondisi demikian kalau boleh saya serupakan, memasarkan budaya menulis (esai, artikel, resensi, cerpen, kolom, karya ilmiah, dan seterusnya) di tengah keriuhan kegiatan mencatat pelajaran di kalangan guru, bak pinang tak berbelah dengan menjual es krim di kutub utara. Es krim itu tidak laku, lantaran di kutub utara (sekolah), ruahan es (dingin salju) tak berbatas jumlahnya, dan dapat ditemukan di setiap waktu, dan tempat.

Padahal salju dan es krim adalah dua hal yang berbeda. Bahwa keduanya sama-sama dingin, iya. Tapi bagaimana proses keduanya mewujud, tentu sangat berbeda. Salju bersifat alamiah, tetap, mengikuti kaedah kausalitas natural, dan tidak disengaja. Sedangkan es krim bersifat sengaja, by design, pekat rekayasa. Kehadiran es krim, mensyaratkan kreatifitas dan inovasi. Dingin itu dimasak, dibumbui, disajikan secara menarik. Jadilah es tidak sekadar menawarkan dingin. Tapi juga memberikan pengalaman yang berbeda-beda di tiap lidah pencecapnya. Dingin menjadi bernilai, ada harganya. Orang pun rela merogoh saku untuk bisa mencicipinya.

Mestinya, keakraban guru dengan dinginnya salju dapat dijadikan modal awal, untuk kemudian dikembangkan menjadi dinginnya es krim. Bukan sebaliknya. Lalu, di mana kemampuan guru memproduksi es krim (tulisan arti luas) mesti ditempatkan?

Menggali Makna Baru

Sudah lama, kaum pendidik, golongan cerdik pandai merumuskan tujuan pembelajaran, tidak semata-mata agar manusia mampu bertahan hidup. Tapi juga mengembangkan kehidupan lebih bermakna. Serta turut memuliakan kehidupan.

Dengan demikian kemampuan menulis pada guru harus diarahkan pada, meminjam istilah Machado, keterampilan mengajar belajar. Kalau selama ini ada pameo: guru biasa, memberi tahu; guru baik, menjelaskan; guru pintar menunjukkan; maka harus ditambah satu lagi: guru luar biasa, mengilhami!

Ia (guru luar biasa yang prigel menulis) mampu menggerakkan siswanya untuk mencari dan menemukan beragam bahan pembelajaran. Melalui proses membaca dan menulis secara mandiri. Ia tindih dan berikan makna baru, tradisi menulis (menikmati dingin salju) yang sebelumnya sudah mbalung sungsum itu. Buat siswa, pelajaran mengarang menjadi sarana menemukan diri. Sebuah proses berdimensi kepemimpinan (leadership) dan kewirausahaan (entrepreneurship).

Apa sebab keterampilan menulis dapat ”mencetak” guru yang mengilhami? Ini tak lain tak bukan karena tabiat asli yang dimiliki oleh aktivitas menulis. Yaitu memberi kesempatan orang bereksperimen dengan bahasa, kata-kata dan kesukarannya. Memungkinkan perkembangan penalaran individu yang kritis, dan independen. Merupakan sarana menemukan sesuatu. Melejitkan ide baru, sarana ungkap diri, melatih kemampuan mengorganisasi dan menjernihkan berbagai konsep. Membantu menyerap dan memproses informasi, melatih berpikir aktif serta mengembangkan pemahaman dan kemampuan menggunakan bahasa. Mudahnya menulis akan ”memaksa” seseorang untuk melakukan aktivitas membaca, menyimak, dan berbicara. Itu artinya buat guru, menulis adalah sarana pembelajaran seutuh usia.

Saya yakin, kebutuhan siswa 10-20 tahun yang akan datang akan berbeda dengan kebutuhan siswa sekarang. Jika para guru tidak mau belajar dengan menambah pengetahuan, terbuka terhadap perkembangan terkini inovasi pembelajaran, menciptakan teknologi pembelajaran baru—semuanya dapat direngkuh melalui aktivitas menulis—maka kredibilitasnya akan jatuh di hadapan siswa. Tentu itu kabar buruk buat dunia pendidikan.

ilustrasi : taufik79.wordpress.com

Gerakan Membaca di Indonesia

Written By Agus M. Irkham on 29 Dec 2010 | 23:04



:: Agus M. Irkham

Entry atau lema paling mengemuka dalam konteks kampanye minat baca di tahun 2010 adalah wacana pendirian taman baca di pusat perbelanjaan. Disebut sebagai TBM@Mall. Pada bulan Mei, bertepatan dengan Hari Pendidikan. TBM@mall diluncurkan. Kalau tidak salah ingat di Banten, Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Makassar.

Pembukaan TBM di mal ini bertujuan mendorong minat baca pengunjung mal, yang mayoritas remaja. Asal tahu saja, skor minat baca remaja Indonesia saat ini adalah 393 atau di bawah rata-rata negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), yakni 492.

Dengan kehadiran TBM@Mall diharapkan akan memperluas minat baca masyarakat. Sehingga mereka bukan hanya datang ke mal untuk belanja atau mencari hiburan, melainkan mencari ilmu, informasi, serta mengembangkan karakter serta jiwa wirausaha melalui beragam bacaan.

Karena sasaran utamanya adalah remaja, diharapkan TBM@Mall tidak melulu menyiadakan buku bacaan, tapi juga berderet varian layanan lainnya, misalnya (bisa nonton) film, berselancar di dunia maya (internet), pelatihan, dan cafe. Dengan begitu paling tidak TBM bisa menjadi alternatif tempat anak-anak muda nongkrong.

Program ini menjadi bagian dari target Kemdiknas di tahun 2010, yaitu membuka 561 TBM, yang terdiri atas 23 TBM@Mall, dua TBM di rumah sakit, 36 TBM di Balai Belajar Bersama (TBM di ruang publik yang bukan di mal), 50 TBM untuk daerah terpencil guna mengantisipasi putus sekolah (peningkatan minat baca), dan 450 TBM keaksaraan (rumah singgah dan panti-panti sosial). Sampai dengan tulisan ini selesai disusun,
saya belum mendapat informasi, target 561 TBM itu tercapai atau tidak.

Ketika awal prakarsa TBM@Mall disosialisasikan ke publik, muncul banyak keberatan. Di antaranya menganggap program ini tidak pro rakyat kecil. Daripada digunakan membuat dan membiayai TBM di mal bukankah lebih baik digunakan untuk membuka TBM di pasar tradisional, di pesantren, di masjid, dan lain-lain tempat yang lebih mewakili kebutuhan mayoritas khalayak. Begitu dalih pihak yang kontra.

Keberatan lain muncul karena mal dianggap lembaga yang berorientasi pada melulu keuntungan ekonomi, mana mungkin bisa bersanding dengan taman baca yang memunyai pamrih sosial. Apalagi, ini kata seorang wartawan Koran Tempo, ketika seseorang masuk ke mal, ia telah kehilangan dirinya. Mal-mal yang berpenampilan menarik, dengan desain dan cat yang mencolok, menghidupkan kota bagai cahaya yang mampu menarik laron-laron terbang mengelilingi lampu yang bersedia jatuh dalam baskom berisi air sebagai perangkap untuk meniadakan mereka.

Maka dalam pengertian yang moderat, menurut saya TBM@Mall lebih tepat disebut sebagai private space. Karena menempati lokasi yang memiliki struktur kepemilikan yang jelas (swasta), dan dari sono-nya berorientasi profit ekonomi pula. Dalam definisi yang lebih progresif, TBM@Mall lebih cocok disebut sebagai alternative space. Sebuah ruang/tempat yang memberi pilihan alternatif bagi komunitas dan individu untuk mengaktualisasikan dirinya lewat kegiatan-kegiatan atau program-program yang diselenggarakannya.

Makna filosofis

Ada beberapa alasan filosofis yang patut dipahami mengapa TBM@Mall ini diluncurkan. Pertama, mal sekarang ini telah menjadi tempat tetirah banyak orang. Tidak saja bagi mereka yang termasuk ke dalam kelas menengah (secara ekonomi dan pendidikan), tapi juga kelas rendah. Tidak pula memandang asal daerah (desa-kota), gender (laki-perempuan), usia (anak-muda-tua). Semua lumer dalam kesibukan aktivitas di mal. Merayakan kegembiraan di mal adalah hak setiap warga negara. Begitu kira-kira kalimat mudahnya.

Nah, dengan adanya TBM di mal, diharapkan ada internalisasi kesadaran yang kurang lebih sama. Yaitu membaca (buku) adalah hak setiap warga negara. Tidak peduli kaya miskin, muda tua, semua berhak mendapatkan kemudahan akses bacaan. Tiap warga negara memiliki kesempatan membaca dan memaknai apa yang baca itu. Dan yang diharapkan dari pemaknaan itu akan meningkatkan pula pemahaman terhadap situasi kehidupan, sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya. Baik secara sosial maupun ekonomi.

Kedua, mal identik dengan aktivitas membeli (konsumsi), terutama barang guna memenuhi kebutuhan fisik. Dan aktivitas tersebut dilakukan dengan segenap rasa suka cita. Secara tidak langsung, mal juga menjadi ukuran identifikasi golongan menengah (mapan). Dalam ungkapan yang berbeda, saat seseorang pulang dari mal, citra diri dan gengsi diri meningkat. Tingkat penghargaan terhadap diri menaik.

Mal juga menjadi salah satu ikon budaya pop. Dan selama ini saat budaya pop disandingkan dengan budaya ”konvensional”, kerap ditempatkan pada posisi saling menegasi. Seperti yang dapat Anda baca pada matrik berikut ini.

Dari titik itu, pintu makna filosofis yang kedua, kehadiran TBM di mal bisa dimasuki. Kehadiran aktivitas membaca (buku) di mal sama penting dan menggembirakannya dengan belanja di mal—sebagai salah satu bentuk gaya hidup (budaya) populer. Kesejajaran posisi itu yang hendak disasar. Membaca buku ada adalah aktivitas yang bergengsi. Membaca buku tidak identik dengan kacamata tebal, kuper, tidak gaul, terasing, dan membosankan. Yang kemudian berlangsung adalah 2 in 1 (two in one). Dua jenis belanjaan dapat dilakukan dalam satu tempat. Belanja barang untuk pemenuhan kebutuhan fisik, dan belanja (membaca) buku untuk pemenuhan kebutuhan otak dan hati. Dan keduanya tidak lagi ditempatkan dalam posisi saling menegasi. Tapi saling melengkapi. Simbiosis mutualisme.

***
Gerakan membaca di Indonesia, dapat saya kategorikan ke dalam tiga fase atau gelombang. Gelombang pertama (1.0), keaksaraan teknis. Bertujuan mengentaskan masyarakat dari ketidakmampuan mengenal huruf dan mengeja kata. Dengan kata lain yang dikejar adalah perbaikan statistik angka melek huruf (kemampuan membaca). Gelombang kedua (2.0), keaksaraan fungsional. Bertujuan menjaga agar kemampuan yang membaca (dan menulis) yang sebelumnya telah diperoleh tidak hilang. Kembali menjadi buta huruf. Pada fase ini, prioritas program yang dihelat adalah mengembangkan minat baca masyarakat pada media teks. Gelombang ketiga (3.0), keaksaraan budaya. Inilah tujuan ”akhir” gerakan membaca. Yaitu aktivitas membaca telah menjadi bagian hidup keseharian masyarakat. Telah menjadi gaya hidup. Telah menjadi budaya.

TBM@Mall masuk kategori gerakan literasi gelombang ketiga (3.0). Ia secara kreatif harus mampu mengawinkan antara buku, hobi, dan komunitas (buku dan hobi yang mencakup pengetahuan, bahasa dan budaya). Ia harus mampu mengejawantahkan makna, bahwa literasi (keberaksaraan) menjadi bagian dari hidup keseharian. Maka kegiatan yang paling pas di TBM@Mall, menurut saya, model kelas dan klab yang disesuiakan dengan karakteristik pengunjung.

Bagaimana arah dan strategi gerakan membaca di tahun 2011? Dugaan saya, helatan program literasi akan lebih dimoninasi oleh gerakan literasi gelombang tiga. Sasarannya dan pegiatnya pun yang semula di pinggiran (periphery), identik dengan masyarakat desa (rural), bergeser ke pusat (urban). Dan gerakan membaca di gelombang ketiga ini, buku tidak selalu menjadi pusat, dan menjadi akhir perjalanan. Sebaliknya, ia sekadar menjadi pintu pembuka, awal perjalanan. Bergeser ke beragam aktivitas literasi rekreatif.

Catatan:

Terima kasih untuk Tarlen Handayani atas beberapa inspirasi dan informasi Tobucil yang turut pula mewarnai tulisan ini.
Foto : Wien Muldian

Tiga Ragam Pengelolaan TBM

Written By Agus M. Irkham on 23 Dec 2010 | 17:23



: agus m. irkham

Bahwa membaca itu penting, saya kira semua sepakat. Tapi bagaimana strateginya agar kesadaran itu dapat berubah menjadi aksi nyata berupa meningkatnya budaya baca, itu yang tidak sama. Ada banyak siasat, salah satunya adalah dengan mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM). Penggunaan kata taman, selain lebih menimbulkan kesan rekreatif, sekaligus untuk menunjukkan bahwa TBM bukanlah sekadar tempat berkumpulnya buku layaknya perpustakaan. Tapi menyediakan beragam bentuk layanan. Mulai dari konsultasi pertanian, hingga klinik penulisan.

Di Jawa Tengah sampai dengan awal tahun 2008, ada sekitar 300 TBM yang tersebar di tiap-tiap kabupaten. Jumlah tersebut dipastikan akan terus bertambah. Dari 300 TBM itu, pola pengelolaannya dapat saya bagi menjadi tiga ragam. Pola pengelolaan adalah berkaitan dengan bagaimana strategi yang digunakan TBM untuk memasarkan aktivitas membaca (dan menulis). Atau yang biasa dikenal dengan istilah keberaksaraan (literacy). Untuk lebih memudahkan saya dalam memaparkan tiga ragam pengelolaan itu, saya akan langsung menyebut nama TBM sebagai contoh di tiap-tiap ragam.

Pertama, TBM Bergema. Bergema singkatan dari Bersama geliat masyarakat. Bergema berada di desa Patak Banteng, kecamatan Kejajar, sekitar 27 kilometer sebelah utara kota Wonosobo. Atau hanya sekitar 2 kilometer sebelum komplek Candi Dieng. Terletak persis di lembah Dieng.

Strategi gerakan minat baca yang dilancarkan Bergema menggunakan pendekatan keaksaraan fungsional. Secara mudah keaksaraan fungsional dapat dimengerti sebagai kemampuan seseorang mengenal aksara dan memanfaatkannya untuk meningkatkan perolehan materi atau pendapatan (kesejahteraan ekonomi).

Wujud nyata programnya adalah dengan menyediakan bahan bacaan yang dapat dijadikan rujukan bertani dan berkebun. Selain itu bekerjasama dengan gabungan kelompok tani, secara periodik Bergema diberi kepercayaan menggulirkan sejumlah dana pinjaman mikro. Cara ini telah berhasil mengikis pelan-pelan praktik ijon, serta menjauhkan petani dari para lintah darat (rentenir).

Kedua, TBM Warung Pasinaon. Pasinaon bermakna tempat belajar. TBM ini berlokasi di Bergaslor, kecamatan Bergas, kabupaten Semarang. Pasinaon menjadikan, terutama, ibu-ibu paruh baya sebagai sasaran utama. Salah satu sebabnya adalah masih tingginya angka buta aksara yang terjadi pada ibu-ibu paruh baya tersebut. Dan ini sangat mungkin representsi yang berlaku pada tingkat lebih luas, yaitu Jawa Tengah. Jateng menduduki rangking dua setelah Jawa Timur, propinsi berpenduduk buta huruf tertinggi di Indonesia. Dan 60 persennya adalah para ibu-ibu yang tinggal di pedesaan.

Lantas strategi apa yang ditempuh oleh Pasinaon?

Koran Pasinaon
Mereka membuat media bernama Koran Pasinaon. Meskipun menggunakan kata koran, media tersebut berbentuk majalah. Kalau dilihat dari isinya, Koran Pasinaon lebih cocok disebut sebagai koran ibu. Lantaran rubrikasi dan isinya ibu-ibu banget. Termasuk para penulis (wartawan)nya juga ibu-ibu semua.

Koran Pasinaon digunakan sebagai sarana untuk merawat kemampuan membaca yang telah dipunyai para ibu-ibu, agar mereka tidak kembali menjadi buta huruf. Koran Pasinaon terbit sebulan sekali. Sampai dengan edisi 22 April - 21 Mei 2010 ketebalannya sudah mencapai 20 halaman. Padahal di awal terbitnya, sekitar awal 2010, hanya 10 halaman.

Uniknya, sebagian isi Koran Pasinoan berupa tulisan tangan dari wartawannya. Menariknya lagi, tiap tulisan yang dimuat, diberi honorarium sebesar Rp15.000. Kalau dilihat dari jumlah nominalnya sangat kecil. Tapi kalau dilihat dari prosesnya, uang tersebut sangat besar nilainya. Karena penulisnya adalah para ibu-ibu paruh baya yang sebelumnya buta aksara.
Melalui Koran Pasinaon, secara tidak langsung TBM Warung Pasinaon mengabarkan kepada publik luas bahwa salah satu cara untuk mempertahankan sekaligus mengasah kemampuan membaca adalah dengan menulis.

Dalam konteks pendidikan keaksaraan, TBM Pasinoan menjadi sarana pembelajaran dan hiburan masyarakat, serta sarana untuk memperoleh dan memproduksi informasi.

Ketiga, TBM Guyub. Berbeda dengan Bergema dan Pasinoan, TBM yang beralamat di jalan raya Bebengan 221 Boja, Kendal ini memusatkan aktivitasnya pada pendarasan karya sastra. Sasaran pembacanya pun kebanyakan adalah para remaja. Meskipun tidak sedikit pula yang datang ke Guyub adalah mereka yang sudah sepuh dan masih anak-anak.

Meskipun Guyub berlokasi di desa, koleksi bacaan yang dimiliki tak kalah dengan isi koleksi perpustakaan perguruan tinggi. Orhan Pamuk, Satanic Verses anggitan Salman Rushdie, bertumpul buku karya Franz Kafka, dan Garcia Marquez dapat ditemui di Guyub. Daftar karya-karya kelas dunia itu dapat diperpanjang lagi.

Apresiasi karya sastra berupa dramatic reading, bedah buku, pelatihan menulis (puisi) dan pementasan menjadi beberapa strategi Guyub merawat minat baca para remaja. Dengan begitu kegiatan para remaja tidak melulu datang, baca, pinjam, dan mengembalikan buku.

Demi menghilangkan kendala keadministrasian pengelolaan sekaligus menumbuhkan kesadaran moral untuk senantiasa jujur, Guyub meniadakan kartu anggota. Pengunjung diminta mengisi isi daftar buku yang hendak dipinjam. Masa waktu pengembaliannya pun fleksibel. Sama sekali tidak ada jaminan. Tidak pula harus menyerahkan fotokopi KTP atau Kartu Pelajar. Jaminanannya hanya satu: moral.

Paparan tentang tiga ragam pengelolaan TBM di atas mengantarkan kita pada satu simpulan: hendaknya gerakan sosial, termasuk ajakan untuk gemar membaca, yang dalam wujudnya adalah TBM harus berbasis pada kebutuhan masyarakat, bukan merujuk pada kebutuhan pengelola.●

FOTO : Wien Muldian.

Merayakan Kedangkalan Melalui Buku

Written By Agus M. Irkham on 21 Dec 2010 | 22:34



: agus m. irkham

Buku tak seperti dulu. Ditahbis sebagai anak rohani manusia. Hasil perenungan dan permenungan atas kenyataan hidup penulisnya. Menjadi karya yang bersifat sangat personal. Dicandra sebagai sumber kedalaman, kebajikan, dan pencerahan. Oleh karenanya buku dibaiat pula sebagai penentu arah peradaban bangsa. Buku sebagai cara merayakan kedalaman.

Sekarang yang terjadi sebaliknya. Buku justru menjadi panggung merayakan kedangkalan. Salah besar jika buku disangka sebagai semata-mata karya individual/personal. Kini ia sudah menjadi karya komunal. Bahkan industrial.

Modus pendangkalan
Proses pendangkalan di dunia perbukuan, paling kurang, melalui tiga 3 (tiga) modus. Yaitu pertama, kontradiksi. Menulis buku semula dijadikan sarana untuk menghadirkan substansi (isi), bukannya ikon. Harapannya ketika seseorang mendaras suatu buku, yang ia tekuni adalah isi buku, bukan si penulis buku. Dengan begitu, antara pembaca dan penulis tetap ada jarak. Keberjarakan tersebut akan memampukan pembaca bersikap adil sekaligus jujur dalam menimbang isi buku.

Saat ini menulis buku justru menjadi arena menguatkan citra ikon. Menjadi arena penglepasan hasrat semesta kecil. Berupa keinginan memiliki publisitas, kemenangan, popularitas, kelimpahruahan harta, dan keterkenalan. Yang kesemuaannya oleh Yasraf (2003) digolongkan pada bentuk-bentuk budaya peng-aku-an (the culture of narcissism).

Ingin bukti? Masuklah ke toko buku, lihat deretan judul buku yang terpajang di rak bertuliskan: Bahasa. Anda akan bertemu dengan beragam judul buku yang menjadikan perolehan uang dan keterkenalan menjadi titik pijak ajakan penulisnya kepada pembaca agar terjun ke dunia penulisan.

Padahal tentang etos kreatif dan motivasi peng-aku-an ini, jauh-jauh hari telah diingatkan penyair Rendra: “Penulis harus secukupnya saja menyesali kegagalan atau mensyukuri kesuksesan. Ia tidak boleh terjerat oleh sukses atau kegagalan karyanya. Kegemaran berkokok atas suatu sukses atau menangis pilu karena suatu kegagalan akan menyebabkan ia kerdil. Pikiran dan jiwa tidak lagi merdeka tanpa beban sehingga kemurnian jiwa sukar lagi didapatkan. Pada hakikatnya, seorang penulis harus memahami bahwa nama itu kosong dan ketenaran itu hampa, hanya jalan hidup yang nyata.”
Kedua, penyederhanaan. Simplifikasi diperoleh dengan cara mendistorsi makna atau pengertian penulis. Dulu, untuk menjadi penulis, seseorang harus melalui proses panjang. Rela bergumul dengan kenyataan hidup, kepahitan, penolakan, ketidakpopuleran, menjalani dunia sepi, kerelaan untuk “antri”. Pendek kata, menjadi seorang penulis betul-betul menjadi seorang anak kehidupan-kebudayaan. Bukannya anak struktur (penerbit, sekolah menulis, pelatihan kepenulisan)—seperti yang saat ini berlaku.

Padahal ketika seorang penulis lahir sebagai anak struktur maka yang terjadi kemudian adalah ia akan pandang hanya dari sisi (teknis) keterampilan menulisnya. Bukan kediriannya yang meliputi adanya api peduli (cinta), keterlibatan, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai universal.

Munculnya karya-karya epigon dapat saya ajukan sebagai salah satu asnad atau bukti betapa lahirnya penulis-penulis anak struktur (penerbit) ini tengah menjadi kecenderungan.

Selain itu, tak kalah menarik untuk disimak adalah, gejala yang terjadi di kalangan penulis muda—cepat memiliki pretensi untuk mengajari orang lain menulis. Salah satunya dengan mendirikan sekolah menulis (struktur). Baik secara online (e-mail) maupun offline (kelas). Besaran “investasi program” yang dipatok masing-masing lembaga pun berbeda. Termasuk durasi waktu pelatihan. Meskipun tiap sekolah menulis memunyai kurikulum yang berbeda, mereka bertemu dalam satu titik, yaitu menjadikan keterampilan menulis sebagai tujuan utama. Mudahnya orang ikut sekolah menulis dijamin akan menjadi penulis!

Taruhlah, klaim mencetak penulis itu benar. Maka yang akan terjadi kemudian dapat ditebak, yaitu lahirnya penulis-penulis instan. Sekali muncul, setelah itu selesai. Bentangan tema yang ditulispun biasanya hanya terbatas pada buku-buku praktis (how to/self help).

Ketiga, komodifikasi. Buku yang semula dinilai sebagai bentuk tingkah laku budaya (cultural behavior), dan produksi budaya (cultural production) kini direduksi perannya hanya sebagai produk budaya (cultural product). Hukum-hukum yang berlaku pada buku yang dinilai sebagai produk budaya, sama persis seperti yang berlaku pada artifak kebudayaan fisik. Pada titik ini, secara substansial buku dapat dipersamakan dengan meja, kursi, mobil, sepatu atau benda-benda kebudayaan fisik lainnya. Sebagai artifak buku menjadi suatu benda fisik yang telah berdiri sendiri. (Buku dalam Indonesia Baru, Ed. Alfons Taryadi, 1999; 22).

Contoh paling kasatmata dari praktik komodifikasi ini adalah pameran buku. Di dalam pameran, buku lebih sering ditempatkan sebagai murni barang. Pengaturan buku yang dipamerkan tidak didasarkan pada kategori tema, tapi pada kesamaan harga. Sudah begitu pengaturan letak buku pun acak kadut. Sehingga ada kesan yang dijual bukan buku sebagai karya intelektual (noble industry) tapi semata-mata kertas (pabrikan).

Asnad lain berupa munculnya buku-buku yang menjanjikan kekhusyukan ibadah, tapi didekati dengan metode praktis (sistematisasi). Sebuah upaya yang justru membuat sesuatu yang semula bersifat transenden menjadi profan.

Apa boleh buat, rupa-rupanya antikedalaman telah menyapa kehidupan dunia perbukuan. Kini, buku telah menjadi bagian dari hasrat konsumerisme.

Minat Baca Anak Indonesia

Written By Agus M. Irkham on 10 Aug 2010 | 18:56



: agus m. irkham

Membaca buku itu penting! Ini semua orang tahu, dan pasti setuju. Oleh sebab itu menjadi sangat beralasan, mengenalkan buku dan kegiatan membaca pada anak-anak. Karena dengan kebiasaan dan kecintaan membaca sejak dini, mereka ketika memelajari apapun akan menjadi lebih mudah. Semakin tinggi kemampuan dan kecintaan terhadap kegiatan membaca, akan semakin tinggi pula tingat kesenangan dan kegembiraan anak-anak ketika belajar. Mereka akan lebih mudah memahami setiap pelajaran di sekolah. Yang pada gilirannya akan meningkatkan prestasi akademik.

Pertanyaan pentingnya adalah: bagaimana dengan minat baca anak Indonesia?

Berdasarkan riset lima tahunan yang dikeluarkan oleh Progress in International Reading Literacy Study, yang melibatkan siswa sekolah dasar (SD), menempatkan Indonesia pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel penelitian. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.

Ada tiga realita, paling kurang, di balik fakta temuan PIRLS tersebut. Pertama, jumlah perpustakaan Sekolah Dasar di Indonesia masih sangat sedikit. Mengapa demikian? Karena mayoritas anak kenal, dan membaca buku adalah dari perpustakaan sekolah. Meskipun sekarang ini Taman Bacaan Masyarakat sudah bertebaran di mana-mana.

Berdasarkan data terakhir, di Indonesia terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah. Artinya, jika tiap sekolah memiliki satu perpustakaan, seperti yang diamanahkan oleh UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, maka ada 169.031 perpustakaan. Jika kondisi demikian dapat terwujud, tentu anak-anak akan memperoleh kemudahan dalam mengakses bahan bacaan. Dan pasti hasil riset PIRLS akan berbicara lain.

Tapi yang terjadi tidak begitu. Di Indonesia, Sekolah Dasar yang memiliki perpustakaan baru sekitar 1 persen lebih sedikit. Persentase sekecil itu pun belum ditilik lebih dalam. Jika iya, saya pastikan angkanya akan semakin menciut. Misalnya menyangkut seberapa banyak koleksi buku yang dipunyai. Apakah keragaman bacaan yang dimiliki sudah cukup memenuhi harapan pemustaka. Bagaimana kondisi fisik perpustakaan (sarana), dan prasarana lainya (buku, rak buku, sistem pengolahannya).

Belum lagi jika pertanyaan kunci ini dilontarkan pula: apakah petugas yang mengelola perpustakaan adalah pustakawan, atau sekadar guru non job yang dikaryakan. Sehingga perpustakaan yang ada sekadar menjadi tempat buku-buku berhimpun, bertumpuk-tumpuk, kumal, terselimuti debu tebal. Tanpa ada program-program kreatif dan gila yang ditujukan untuk memarketing-kan perpustakaan.

Realita kedua dari fakta rendahnya minat baca anak Indonesia adalah karena tidak ada integrasi yang nyata, jelas, dan tegas antara matapelajaran yang diberikan dengan kewajiban siswa untuk membaca. Siswa tidak diberi keleluasaan dan kebebasan untuk mencari sumber pemelajaran di luar buku teks yang digunakan oleh guru.

Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki standar minimal tentang bacaan wajib buku yang harus dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah itu berdasarkan jumlah (quantity) maupun judul-judul tertentu (quality). Alih-alih secara bertahap dan rutin ada pengecekan tingkat kemajuan bacaan siswa, baik yang menyangkut bacaan yang diwajibkan (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), dan bacaan menyangkut pengetahuan umum (general knowledge).

Sekadar cermin: perbandingan jumlah buku yang dibaca siswa SMA di 13 negara, termasuk Indonesia. Di Amerika Serikat, jumlah buku yang wajib dibaca sebanyak 32 judul buku, Belanda 30 buku, Prancis 30 buku, Jepang 22 buku, Swiss 15 buku, Kanada 13 buku, Rusia 12 buku, Brunei 7 buku, Singapura 6 buku, Thailand 5 buku, dan Indonesia 0 buku!

Realita ketiga, rendahnya minat baca anak Indonesia karena, pengalaman pramembaca dan membaca (berkenalan dengan buku) yang dialami anak kurang menyenangkan, jika enggan menyebutnya buruk. Buku, sebagai media teks yang lazim digunakan untuk mengukur tingkat minat baca dikenalkan pada anak-anak dengan cara yang tidak menarik. Bahkan menimbulkan pengalaman yang traumatik.

Biasanya mereka dikenalkan pada buku untuk pertama kalinya adalah berupa buku pelajaran yang tebal (menurut ukuran anak), sudah begitu, isinya melulu tulisan, ukuran hurufnya pun kecil-kecil, tidak ada gambarnya lagi. Tentu saja keharusan membaca buku yang demikian, laksana menyuruh anak untuk membenci buku secara berjamaah.

Namun giliran anak-anak tengah mendapatkan keasyikan membaca buku, meskipun dalam bentuk komik atau cergam (cerita bergambar), buru-buru—terutama para orangtua—melarang keras, disertai semburan kata ancaman. Difatwakan pada anak-anak bahwa membaca komik dan cergam hanya akan membuat si anak malas belajar dan bodoh. Padahal komik bisa menjadi pintu masuk bagi anak untuk mengembangkan imajinasi, serta ragam bacaannya tingkat yang lebih luas dan tinggi. Karena apa yang dibaca sesungguhnya mengikuti perkembangan wawasan, cara berfikir, dan kebutuhan pembacanya.

Di luar itu, promosi yang buruk dari orangtua tentang buku pada anak juga turut menyukseskan rendahnya minat baca anak. Promosi buruk itu berupa ketiadaan bahan bacaan di rumah, serta minusnya keteladanan dari orangtua.♦

Peluang Usaha Kerani Pustaka

Written By Agus M. Irkham on 1 Aug 2010 | 15:56


: agus m. irkham

PENGANTAR
Kebetulan sabtu, 5 juni saya diminta jurusan perpustakaan UNDIP, semarang untuk menjadi salah satu narasumber seminar nasional bertajuk “Peluang Bisnis dalam Perpustakaan”. Seminar yang berlangsung di Gedung Prof. Soedarto, Tembalang, Semarang, yang diikuti tak kurang 200 peserta itu—sebagian besar mahasiswa perpustakaan—menghadirkan pula Dr. Ir. Putut Irwan Pudjiono, M.Sc selaku kepala PDII LIPI) dan Dra. Ninis Agustini Damayani, M. Lib (sekprog Magister IIP UNPAD).

Berikut adalah petikan makalah yang saya sajikan.
----------------------------------------------

Ada tiga syarat kunci paling tidak, agar aktivitas bisnis atau wirausaha bisa dicangkokkan di dalam perpustakaan. Tanpa ada tiga asumsi kunci itu, maka kegiatan bisnis di perpustakaan, saya pastikan akan berhenti hanya pada kata peluang, untuk tidak menyebut wacana. Di luar itu, aktivitas bisnis justru bisa menjadi pemicu timbulnya perpecahan di antara para kerani buku itu sendiri.

Apakah tiga faktor kunci itu?

Pertama adalah berkaitan dengan payung hukum (aturan tertulis). Dibenarkan atau tidak di dalam perpustakaan ada kegiatan bisnis, atau aktivitas yang memang diarahkan pada perolehan keuntungan dan pendapatan ekonomi (uang). Ini harus clear dulu. Karena, seperti yang sudah kita ketahui, keberadaan perpustakaan selalu disandingkan dengan misi mencerdaskan anak bangsa. Dan di dalam upaya mencapai misi itu perpustakaan (biasanya) diharamkan untuk mencari keuntungan ekonomi. Kalau ternyata berdasarkan aturan tertulis tidak boleh, ya jelas upaya menindihkan aktivitas bisnis ke dalam perpustakaan akan menjadi sulit, jika enggan menyebutnya mustahil. Jika tidak ada payung hukum yang jelas dan kuat—yang membolehkan—otomatis pembicaraan mengenai peluang usaha dalam perpustakaan kita hentikan sampai di sini saja.

Faktor kunci kedua adalah berupa kesediaan tiap orang yang berkerja di perpustakaan (staf, karyawan, dan terutama pustakawan) untuk mentransformasi diri. Dari yang semula bermental pekerja, menjadi bermental pebisnis, atau dengan kata lain memiliki jiwa wirausaha. Menurut Prof. Purbayu, Guru Besar Fakultas Ekonomi UNDIP, sekaligus pegiat studi Ekonomi Kelembagaan, identifikasi seseorang yang memiliki jiwa wirausaha, meliputi antara lain: Pertama, penuh percaya diri. Indikatornya penuh keyakinan, optimis, berkomitmen, disiplin bertanggungjawab. Kedua, memiliki inisiatif. Ukurannya adalah penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif. Ketiga, memiliki motif berprestasi, terdiri atas orientasi pada hasil dan berwawasan ke depan. Keempat memiliki jiwa kepemimpinan. Parameternya adalah berani tampil beda, dapat dipercaya, dan tangguh dalam bertindak. Dan yang kelima, berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan, oleh karena itu menyukai tantangan.

Syarat ketiga, yang harus dipenuhi agar aktivitas bisnis bisa jalan di perpustakaan adalah berupa adanya sistem (mekanisme, prosedur) yang adil, terbuka, partisipatif dan dapat dipertanggungjawabkan. Terutama dari segi keuangan. Dan yang begini ini mengandaikan adanya seorang pemimpin yang mampu memetakan kondisi anak buahnya. Baik menyangkut penguasaan hardskill, softskill, maupun potensi yang bisa create dari kedua jenis penguasaan itu. Sistem yang baik akan mencegah terjadinya perasaan dizalimi (diperlakukan tidak adil), tiap orang memiliki kesamaan untuk maju, berkembang, serta kesempatan mengaktualisasikan diri.

Tanpa sistem yang baik, maka usaha bisnis justru hanya akan memicu terjadinya kecemburuan dan sak wasangka antar karyawan, staf, dan pustakawan. Dan besar kemungkinan, rentetan kejadian yang bakal berlaku adalah turunnya tingkat kualitas layanan pada pemustaka. Tentu saja ini harus dihindari. Jangan sampai layanan inti (dasar, basis) perpustakaan yang merupakan menu utama, justru terganggu akibat layanan bumbu (tambahan).

Dan tidak kalah penting, jalannya sistem ini harus dikomandani oleh sosok pimpinan yang kuat. Dalam pengertian ia mampu memaksa (mengerem) anak buahnya yang kelewat maju untuk berhenti sejenak—membatasi seringnya keluar memenuhi undangan menjadi pembicara atau narasumber workshop—dengan memberikan kesempatan pada orang lain untuk turut maju pula. Karena tanpa kehadiran sosok pimpinan yang kuat, maka yang kemudian bakal terjadi adalah yang pinter bakal tambah pinter, yang kuper kian kuper.

Tapi konsekuensi, secara ekonomi (gaji), kesejahteraan hidup golongan pustakawan yang kelewat maju harus dipenuhi. Tanpa itu, sangat sulit menahan mereka untuk menolak, atau memberikan kesempatan pada orang lain untuk menggantikan dirinya sebagai pembicara dan trainer. Pengereman itu juga penting agar kapasitas yang dimiliki para kerani pustaka ini lebih banyak dimanfaatkan dan difokuskan pada penguatan dan pengembangan institusi. Berorientasi ke dalam, bukan keluar. Harapannya yang akan terbangun kemudian adalah tidak semata-mata kredibilitas personal, tapi tidak kalah penting dengan itu adalah kredibilitas komunal (lembaga).

Setelah ketiga syarat tersebut ada, maka baru kita bisa meneruskan pembicaraan ke bentuk-bentuk nyata potensi usaha yang bisa dikembangkan di perpustakaan.

Secara garis besar jenis usaha yang bisa dijalankan diperpustakaan dapat dibagi menjadi tiga. Pertama, yang bersifat rutin. Kedua, isidental. Ketiga, membership (sistem keanggotaan pemustaka). Oke, kita mulai dari yang pertama terlebih dahulu.

Bisnis yang bisa dijalankan secara rutin ini dapat dibagi lagi menjadi dua bentuk, yaitu perpustakaan dan non perpustakaan. Rutin di sini dalam pengertian kontinue, terus berkelanjutan (setiap hari/waktu). Termasuk ke dalam bisnis rutin perpustakaan adalah mulai dari foto copy, copy data, layanan informasi, hingga denda. Sedangkan yang termasuk bisnis rutin non perpustakaan misalnya, warung internet (warnet), kantin atau cafe, toko buku kecil, yang kesemuaannya dapat digolongkan ke dalam layanan tambahan atau pendukung perpustakaan.

Itu yang pertama, bagaimana yang kedua?
Peluang usaha kategori isidental yang dapat dikembangkan diperpustakaan misalnya dengan menggelar beragam pelatihan atau workshop. Mulai dari workshop sistem kemas ulang informasi, katalogisasi, pelatihan membaca capat, workshop menulis, setup perpustakaan keluarga (rumah), hingga program pustaka di radio atau televisi. Waktu penyelenggaraan workshop sepenuhnya ditentukan sendiri oleh perpustakaan. Bisa dengan sehari selesai, atau yang bersifat kelas dan sistem paket. Misalnya untuk workshop menulis tingkat dasar terdiri atas 4 kali pertemuan, dan berlangsung sepekan sekali. Sedangkan tingkat lanjut 8 kali pertemuan, dan berlangsung sepekan dua kali. Kelonggaran menentukan waktu itulah mengapa usaha bisnis ini digolongkan bersifat isidental.

Selain workshop, kegiatan bisnis isidental lainnya adalah berupa pameran. Apapun itu, selama berkaitan dengan perpustakaan (informasi dan buku). Taruhlah pameran buku. Tentang pameran buku ini beragam varian bisa dihelat. Misalnya pameran buku tematik, berdarakan asal penerbit, berkaitan dengan perayaan tertentu (World Book Day, Hari Buku Nasional, Bulan Bahasa, Hari Aksara Nasional, Hari Perpustakaan (?), bazar buku-buku impor, pameran buku diskin dan yang sejenis dengan itu)

Kin tentang sistem keanggotaan. Apa pasal membership saya masukkan sebagai varian bisnis yang bisa diterapkan di perpustakaan?

Begini ceritanya. Sistem keanggotaan bisa dibuat secara bertingkat. Misalnya bronze (perunggu), silver (perak), gold (emas). Pembedaan tiap tingkatan didasarkan pada fasilitas layanan yang diberikan. Misalnya mulai dari jumlah eksemplar buku yang boleh dipinjam, durasi jam pemakaian fasilitas internet, selain itu bisa pula meminjam koleksi lainnya, misalnya DVD dengan jumlah yang ada pembedaannya pula.

Sistem membership bertingkat dapat mendatangkan cash flow secara cepat. Hitung-hitungan matematika ekonominya seperti ini. Sebagai contoh, ada 1000 anggota dengan jenis keanggotaan gold, dengan harga Rp100.000 (jenis dan angka ini hanya untuk memudahkan penghitungan saja). Membership tersebut berlaku selama 1 tahun. Artinya ada uang kas masuk sebesar Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). Taruhlah lamanya waktu peminjaman buku maksimal 2 minggu. Berarti dalam setahun, tiap anggota memiliki kesempatan meminjam minimal sekitar 26 kali. Perpustakaan akan ”merugi” jika tiap pemustaka siklus pinjam-mengembalikan kurang dari satu minggu. Misalnya seminggu sekali (berarti dalam setahun 52 kali meminjam buku).

Tapi pada kenyataannya, tidak semua pemustaka, bahkan hanya sebagian kecil saja yang rentang masa pinjam kembali kurang dari 2 minggu. Mayoritas mereka 2 minggu sekali. Jadi lebih kepada alasan agar tidak kena denda. Nah tentu saja ini menguntungkan buat perpustakaan.

Berikutnya, ternyata dari 1000 pemustaka tersebut yang betul-betul aktif menggunakan/memanfaatkan keanggotaannya (biasanya) kurang dari 50 persennya. Artinya perpustakan dalam kondisi tersebut sudah untung Rp50.000.000 berasal dari ”sumbangan” pemilik kartu keanggotaan yang nganggur.

Bagaimana? ”Bisnis membership” sangat menguntungkan bukan? Apalagi jika mau dikembangkan lagi, misalnya dengan bekerja sama dengan lembaga perbankan.. Bentuk kerjasama itu misalnya, kartu membership bisa difungsikan pula sebagai kartu debet. Sehingga ketika ada keterlambatan pengembalian, secara otomatis, saldo yang terdapat di kartu akan terdebet. Dan jika habis, bisa ”mengisi ulang” kembali.

Selain dengan lembaga perbankan, kerjasama mengenai membership ini juga bisa dilakukan dengan menggandeng para merchand. Misalnya kartu anggota bisa dimanfaatkan pula sebagai kartu diskon untuk pembelian buku, dan rak buku. Dan masih banyak lagi kemungkinan kerjasama yang bisa dilakukan.

Semua itu tadi peluang usaha yang bisa dikembangkan di perpustakaan. Lantas bagaimana halnya dengan peluang bisnis/wirausaha yang bisa dilakukan oleh para (sarjana) kerani pustaka? Modal penting apa yang harus dimiliki oleh seorang pustakawan agar ia bisa berlaku dan berfikir laksana seorang wirausahawan?

Tentang ini saya punya sedikit cerita. Sekitar awal Mei 2010 saat berada di perayaan hari buku sedunia (World Book Day Indonesia) saya bertemu dengan Edi Dimyati. Edi bekerja sebagai pengelola dokumentasi di majalah remaja ”HAI” Jakarta. Pekerjaan Edi tidak jauh-jauh amat dari latar belakang pendidikannya, yaitu sarjana ilmu perpustakaan. Menariknya Edi baru saja meluncurkan buku pertamanya berjudul
Panduan Sang Petualang: 47 Museum Jakarta. Sesuai dengan judulnya, buku ini memuat profil 47 museum di Jakarta. Oleh Edi, ke-47 museum tersebut diklasifikasikan menjadi 10 kategori.

Edi menampilkan profil tiap museum tidak dari segi kulitnya (luar-formal), atau data kerasnya, seperti kapan museum berdiri, terbagi menjadi berapa ruang, dan lain-lain yang sejenis itu, layaknya buku panduan selama ini yang dibuat pengurus museum, tapi lebih ke data lunaknya. Pembahasan tiap museum dilengkapi dengan foto-foto eksklusif-berwarna (karena memang secara khusus dikerjakan oleh juru foto profesional), fakta-fakta menarik dan unik yang jarang sekali orang tahu, serta profil komunitas yang bertalian erat dengan museum.

Lantas apa hubungannya antara wirausaha dengan Edi yang menulis buku?

Hasil pembacaan saya atas ”fenomena Edi” tersebut kira-kira seperti ini: kemampuan inti yang musti dipunyai seorang pustakawan adalah: katalogisasi, dokumentasi, dan klasifikasi—kalau salah mohon dikoreksi. Selama ini teks, terutama yang berbentuk buku menjadi objek utama dari ketiga ranah penguasaan hard skill itu. Akibatnya, pustakawan lebih banyak berada di belakang meja. Kuper alias kurang pergaulan. Menarik diri dari pikuk kehidupan. Tersembunyi di balik tumpukan buku dan gunungan arsip/dokumentasi. Dalam konteks itu, seberapa besarpun capaian yang telah diraih oleh seorang kerani perbukuan (pustakawan), tetap saja ia berposisi sebagai konsumen, bukan produsen. Masih menjadi user, bukan producer. Belum bisa memberikan nilai (value).

Buat Edi Dimyati, ketiga bentuk keterampilan inti tersebut cakupannya diperluas. Tidak semata-mata hanya digunakan untuk menangani teks, tapi lebih dari itu, yaitu konteks. Perspektifnya tidak sempit. Tidak hanya terbatas pada ruang perpustakaan atau gudang arsip, tapi diperluas hingga di dunia luar sana, yaitu lapangan kehidupan.

Edi berhasil mengambil hal-hal yang substansial dari ketiga bentuk keterampilan basis tersebut. Nampak jelas, Edi menempatkan museum-museum yang berada di Jakarta sebagai ”teks-teks” yang bisa didekati, diolah, serta dikemas dengan pendekatan ilmu perpustakaan. Hasilnya? Buku ciamik berjudul 47 Museum Jakarta itu dapat dihadirkan. Bergeserlah peran Edi yang semula konsumen bacaan, kebetulan ia bekerja sebagai penata dokumentasi (sulih istilah pustakawan) di Majalah HAI Jakarta, kini menjadi produsen bacaan. Kecintaan terhadap profesi ”mendesak” Edi melakukan transformasi diri.

Jadi jelasnya modal penting apa yang harus ada agar seoranga (calon) pustakawan memiliki semangat wirausaha—dalam konteks peluang bisnis dalam perpustakaan—adalah rasa cinta. Cinta terhadap pustaka, dan pernik-pernik sistem dan disiplin kerja yang melingkupinya.

Kembali lagi ke pembahasan tentang semangat wirausaha dalam konteks tema seminar hari ini ”Peluang Bisnis dalam Perpustakaan”, saya akan membedahnya dengan mengajukan 3 (tiga) pertanyaan mendasar. Pertama, apa sebenarnya definisi (makna) wirausaha itu? Kedua, mengapa wirausaha penting? Peluang-peluang apa saja yang dapat dimasuki, dikerjakan, dan dikembangkan oleh seorang sarjana perpustakaan. Dengan deskripsi yang berbeda: apa yang bisa dikerjakan bukan bekerja sebagai apa.

Ada baiknya saya mulai dengan menjawab pertanyaan pertama. Secara harfiah (makna teks) entry wirausaha disamakan artinya dengan lema wiraswasta. Yaitu orang yang pandai atau berbakat mengenali produk (dan atau jasa) baru, menentukan cara produksi baru, menyusun operasi untuk pengadaan produk, memasarkannya, serta mengatur modal operasinya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua). Jadi berdarkan makna tektual tersebut, seorang wirausahawan (entrepreneur) itu beda maknanya dengan ”pengusaha”.

Seorang pengusaha adalah hanya semata-mata menjadi orang yang punya usaha atau memperdagangkan sesuatu. Dan sesuatu itu dari segi karakteristik produk, cara produksinya tidak mengandung unsur kebaruan. Tidak ada value (nilai) baru yang muncul dari produk yang diusahakan tersebut. Ini berbeda dengan wirausahawan. Ia mampu menciptakan value baru, yang kebanyakan orang menyebutnya sebagai inovasi. Buah dari cara berfikir yang kreatif.

Batasan makna wirausaha di atas akan membantu Anda untuk menciptakan, mengembangkan, dan fokus kepada satu atau dua jenis usaha. Baik produk maupun jasa.

Itu tadi tentang batasan pengertian wirausaha. Sekarang kita beranjak ke pertanyaan kedua, mengapa wirausaha itu penting? Jawaban atas pertanyaan ini juga bisa membantu para (calon) sarjana ilmu perpustakaan memunculkan semangat/motivasi untuk berwirausaha.

Ada 2 (dua) alasan yang dapat saya ajukan, apa sebab wirausaha itu penting. Alasan pertama, ini sekaligus alasan klise dan klasik, yaitu sempitnya lowongan pekeraan—secara umum. Dengan kata lain, karena pertumbuhan angkatan kerja melampui pertumbuhan kesempatan kerja, dapat dipastikan banyak angkatan kerja yang tidak terserap alias menganggur. Dan yang demikian terjadi pula pada golongan sarjana atau lulusan perguruan tinggi. Tentang tingginya tingkat pengangguran kaum intelektual ini, mari kita simak beberan perangkaan berikut ini.

Pada 2005, sarjana yang menganggur sebanyak 183.629 orang. Setahun kemudian, yakni 2006 tercatat 409.890 lulusan tidak memiliki pekerjaan. Pada tahun 2007, jumlahnya sekitar 740.000, awal tahun 2009 bertambah mendekati angka satu juta atau lebih dari 900.000 sarjana yang menganggur. Dan sampai dengan Agustus 2009
jumlah pengangguran dari kalangan sarjana telah meningkat menjadi 13,08 persen.
Jadi tren kenaikan rerata pertahun sarjana menganggur di Indonesia sekitar 20 persen. Tentu saja, kenyataan ini bisa menjadi bom waktu, mengingat setiap tahunnya Indonesia memproduksi sekitar 300.000 sarjana dari 2.900 perguruan tinggi.

Memang, berdasarkan UU Nomor 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan mengharuskan tiap sekolah mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga SMA harus memiliki perpustakaan. Bahkan secara eksplisit ada satu pasal yang menyatakan minimal 2 persen dari anggaran belanja sekolah harus dialokasikan ke pengembangan perpustakaan sekolah.

Berdasarkan data terakhir, di Indonesia terdapat 169.031 Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah, Sekolah Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah (32.962), Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah serta Sekolah Menengah Kejuruan (17.792). Jumlah seluruh sekolah tingkat dasar dan menengah tersebut adalah 219.785. Jika sekurang-kurangnya diperlukan satu orang saja tenaga (teknis) perpustakaan di tiap-tiap sekolah, maka seluruh sekolah tersebut memerlukan sebanyak 219.785 orang/pustakawan.

Tentu saja hitung-hitungan, keharusan dan kejelasan anggaran tersebut memunculkan rasa optimisme tersendiri buat para sarjana perpustakaan. Optimisme itu didasarkan pada tingkat kepastian bahwa mereka akan diterima bekerja sebagai pustakawan di sekolah-sekolah. Tapi harap diingat, ini Indonesia bung! Apa-apa yang tertulis dan sudah menjadi keputusan (kebijakan), dalam kenyataannya belum tentu akan dilaksanakan.

Mau bukti? Paling dekat, sudah hampir tiga tahun UU Perpustakaan diluncurkan, belum juga PP (Peraturan Pemerintah)-nya keluar. Padahal PP menjadi syarat sekaligus acuan bagi dikeluarkannya peraturan/landasan hukum di bawahnya (daerah) yang lebih bersifat menyeluruh dan aplikatif. Belum lagi silang sengkarut—mungkin lebih tepat disebut permasalahan dan tantangan—yang tengah berlangsung di tubuh kepustakaan Indonesia sendiri. Mulai soal profesionalisme pustakawan, akuntabilitas dan kredibilitas, pendanaan dan standardisasi, serta landasan ilmu dan pemanfaatan teknologi informasi.

Jadi, lebih baik optimisme itu jangan terlalu tinggi-tinggi deh!

Dalih kedua, mengapa wirausaha patut dilirik para sarjana (perpustakaan), tak lain tak bukan adalah lantaran kesempatan yang terbuka sangat lebar. Ini berkaitan dengan upaya pencapaian tujuan yang lebih besar, yaitu turut ambil bagian ”membantu” pemerintah mengatasi angka pengangguran sekaligus meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Sampai dengan tahun 2006, jumlah entrepreneur di Indonesia baru mencapai 0,18 persen atau hanya memiliki 400.000 entrepreneur dari jumlah penduduk 220 juta. Padahal untuk mencapai negara yang dianggap makmur, Indonesia perlu meningkatkan jumlah entrepreneur menjadi 1,1 persen atau menjadi 4,4 juta entrepreneur.

David McCleland, seorang psikolog sosial berpendapat suatu negara akan menjadi makmur apabila mempunyai wirausahawan (entrepreuneur) sedikitnya dua persen dari jumlah penduduk. McCleland tidak berlebihan. Paling tidak jika kita membaca struktur masyarakat yang terdapat di beberapa negara manca. Singapura misalnya.Menurut laporan Global Entrepreuneurship Monitor (GEM) tahun 2005, negara transit ini memiliki wirausaha sebanyak 7,2 persen dari total penduduk (tahun 2001 hanya sebesar 2,1 persen). Amerika Serikat, yang mendapat sebutan lokomotif perekonomian dunia, pada tahun 1983, dengan penduduk sebanyak 280 juta sudah memiliki enam juta wirausaha ( 2,14 persen) dari total penduduknya (Purbayu, 2009).

Jadi, dengan bahasa yang sedikit hiperbolis, kalau Anda ingin berkontribusi kepada bangsa dan negara, maka salah satu jalannya adalah dengan menjadi entrepreneur. Paling kurang selfemployee alias memperkerjakan sendiri. Sehingga bisa mengurangi angka pengangguran. Meskipun satu orang.

Terbukanya pintu usaha bisnis juga didorong oleh perkembangan teknologi informasi, terutama internet. Internet memungkinkan bisnis dijalankan dari kamar tidur (kos). Anda tidak perlu mengontrak, alih-alih membeli gedung untuk kantor yang bisa memakan dana puluhan hingga ratusan juta. Demikian pula untuk proses produksi, agar bisnis jalan Anda tidak perlu menunggu harus memiliki pabrik dan gudang sendiri. Hingga proses distribusi pun, Anda tidak harus menuggu hingga memiliki mobil sendiri. Maka ada istilah ”SOHO”, akromin dari small office home office. Idiom yang mengacu pada pengertian bahwa bisnis bisa dijalankan dari rumah. Berkantor di rumah menjadi sesuatu yang lumrah.

Untuk lebih dapat memberikan gambaran nyata sekaligus menjawab pertanyaan ketiga, bidang garap apa (bisnis) yang bisa dimasuki oleh para sarjana perpustakaan, berikut akan saya berikan (sekadar) contoh. Yaitu bisnis rak buku yang saya integrasikan dengan layanan jasa kepustakaan. Lebih lengkap

Contoh lain?

Banyak! Beberapa diantaranya: bisa menjadi penerbit buku, agen naskah (literary agent), editor, penerjemah, penulis, instruktur (tutor) tentang budaya baca dan manajemen perpustakaan, pengembang software sistem otomasi perpustakaan, pembuat sistem pangkalan data, guru menulis, jurnalis, dan peneliti.

Beragam profesi yang besar kemungkinan bisa dikekola dengan pendekatan manajemen bisnis modern itu—artinya skala ekonominya dapat diperbesar—saya turunkan dari kelengkapan kecakapan yang harus dimiliki oleh seorang sarjana (informasi) dan perpustakaan yang meliputi: problem solving, information literacy, speaking, independent work, group work, writing, dan reading. Jadi tidak semata-mata mahir dalam keterampilan utama (hard skill), tapi juga keterampilan penunjang (soft skill). Lantaran

sarjana yang menganggur mayoritas disebabkan oleh rendahnya soft skill atau keterampilan di luar kemampuan utama dari sarjana yang bersangkutan.♦

Ujian Nasional dan Minat Baca Siswa


: agus m. irkham
—pernah termuat di Suara Merdeka—

Hasil Ujian Nasional (UN) 2010 untuk SMA telah diumumkan. Ada banyak kegembiraan lantaran lulus. Tapi ada juga kabar sedih karena gagal. Nilai yang diperoleh di bawah standar minimal kelulusan. Akibatnya, tidak bisa ditawar lagi: harus mengulang. Menariknya, persentase terbesar matapelajaran (mapel) yang harus diulang adalah Bahasa Indonesia. Mapel yang selama ini oleh siswa dianggap paling mudah. Yang tak kalah menarik, buat mereka yang nilai Bahasa Indonesia-nya lulus pun, rata-rata nilainya paling rendah dibandingkan dengan mapel lainnya.

Seperti yang terjadi di Jawa Tengah (Suara Merdeka 5/5), tidak ada siswa dari seluruh SMA/MA di 35 kabupaten/kota yang mendapatkan nilai mapel Bahasa Indonesia 10 (sempurna). Baik dari Jurusan IPA, IPS, ataupun Bahasa. Pada program IPA, rata-rata Bahasa Indonesia 7,86 (Kabupaten Purbalingga), Bahasa Inggris 8,40 (Kabupaten Demak), Matematika 8,13 (Kabupaten Demak), Fisika 8,67 (Kabupaten Demak), Kimia 8,81 (Kota Tegal), dan Biologi 8,42 (Kabupaten Kudus).

Untuk program IPS, rata-rata Bahasa Indonesia 7,39 (Kabupaten Banjarnegara), Bahasa Inggris 7,95 (Kabupaten Demak), Matematika 8,49 (Kota Pekalongan dan Kabupaten Demak), Ekonomi 7,74 (Kabupaten Demak), Sosiologi 7,53 (Kabupaten Demak), Geografi 6,90 (Kabupaten Kendal).

Sedangkan program Bahasa, rata-rata Bahasa Indonesia 7,39 (Kabupaten Pekalongan), Bahasa Inggris 8,84 (Kabupaten Rembang), Matematika 9,46 (Kabupaten Peka-longan), Sastra 7,78 (Kabupaten Boyolali), Antropologi 7,37 (Kota Magelang), Bahasa Asing 9,39 (Kabupaten Batang).

Pertanyaan pentingnya, mengapa bisa terjadi demikian?

Kesalahan negarakah (pemerintah)—politik Bahasa Indonesia? Seperti yang pernah ditulis Suara Merdeka di lembar Tajuk Rencana-nya (1/5). Atau akibat dari sikap para siswa yang meremehkan (menggampangkan) mapel Bahasa Indonesia? Pernah suatu kali, kolega saya yang kebetulan guru mapel Bahasa Indonesia di suatu SMA Negeri di Kabupaten Batang mengeluh, karena para siswanya berlaku kurang ajar, sepertinya tidak butuh diberi pelajaran Bahasa Indonesia.

Atau para siswa ini semata-mata hanya korban? Korban dari model pemelajaran Bahasa Indonesia yang tidak menarik, jika tidak mau disebut membosankan. Jadi nilai buruk itu sekadar akibat, bukan sebab.

Berderet kemungkinan sebab itu bisa saja benar. Tapi bisa aja meleset, meskipun tidak seluruhnya salah. Tulisan ini tidak hendak melihat satu persatu kebenaran atau ketidakbenaran dari beragam kemungkinan sebab tersebut. Saya lebih tertarik untuk menambah satu analisis (sebab) lagi, dan menurut saya ini kunci.

Sebab utama mengapa nilai mapel Bahasa Indonesia jeblok adalah karena rendahnya kemampuan logika dan pemahaman para siswa terhadap teks bacaan. Mereka tidak terbiasa membaca isi teks bacaan dengan kritis dan cermat. Deskripsi teknisnya seperti ini: bagaimana mungkin mereka bisa menjawab pertanyaan (baca: memilih jawaban) dengan benar, memahami maksud pertanyaannya saja tidak mampu.

Dari mana kemampuan logika, pemahaman kritis dan cermat tersebut dapat diperoleh? Satu-satunya cara adalah dengan (banyak) membaca. Membaca, oleh karena itu, sangat penting ditekankan dalam mapel Bahasa Indonesia. ”Apabila matapelajaran Bahasa Indonesia di sekolah sudah dapat menjadikan anak-anak asyik membaca, dan akhirnya mencintai kegiatan membaca,” ujar Hernowo (2009), “sebenarnya tugas utama matapelajaran tersebut sudah tercapai.”

Itu sebab barangkali, di beberapa negara maju, aktivitas membaca (buku) menjadi bagian terpenting dalam menu pemelajaran di sekolah—tidak hanya saat berlangsungnya pelajaran bahasa. Di Jepang misalnya, para siswa diwajibkan membaca selama 10 menit sebelum jam pelajaran dimulai. Metode pendidikannya dibuat sedemikian rupa sehingga para murid terdorong aktif membaca.

Lain Jepang, lain pula Belanda. Di negeri kincir angin ini, peningkatan minat
baca disiasati dengan mengharuskan para siswa memperkaya pengetahuan dengan
membaca, ditunjang sistem perpustakaan (sekolah) yang memenuhi kebutuhan mereka. Sementara itu di Singapura minat baca para siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku.

Tak kalah menarik, adalah yang dilakukan pemerintah Australia. Para siswa
dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan
hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum
kelas dimulai. Guru menyuruh setiap siswa menceritakan isi buku yang telah
dibacanya. Dengan begitu siswa-siswa di negeri kanguru ini tidak hanya gila baca
tapi otot tangan mereka juga terlatih untuk menulis (GirlieZone, 2010).

Di tempat kita? Aktivitas mendaras buku belum dijadikan menu wajib di setiap subjek pembelajaran di sekolah. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia sekalipun. Kalau toh ada kegiatan membaca buku, itu bersifat seketika, tidak sengaja, mendadak, reaktif, bukan bagian dari sistem yang dirancang secara tetap, dan terukur. Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki standar minimal tentang bacaan wajib karya sastra yang harus dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan, entah itu berdasarkan jumlah (quantity) maupun judul-judul tertentu (quality). Alih-alih secara bertahap dan rutin ada pengecekan tingkat kemajuan bacaan siswa, baik yang menyangkut bacaan yang diwajibkan (required reading), bacaan yang dianjurkan (recommended reading), dan bacaan menyangkut pengetahuan umum (general knowledge).

Maka tak heran, bila International Educational Achievement menempatkan minat baca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Dari 39 negara yang dijadikan sempel penelitian, Indonesia menempati urutan ke-38. Penilaian UNESCO dan IEA itu antara lain yang mendorong UNDP (United Nations
Development Program) menempatkan Indonesia pada urutan rendah dalam hal
pembangunan sumber daya manusia.

Terakhir, agar dalam UN, Bahasa Indonesia menjadi tuan di negeri sendiri dan tidak menjadi “jebakan kelulusan”, sudah saatnya kegiatan membaca teks (buku) menjadi pusat orbit setiap aktivitas belajar mengajar di sekolah. Tanpa itu, agak gelap saya membayangkan masa depan pemelajaran mapel yang oleh banyak orang disebut cermin bangsa itu.♦

TBM dan Kisah Sukses Triyan


: agus m. irkham
—pernah termuat di Suara Merdeka—

Adalah Fitriyan Dwi Rahayu. Siswa SMP Negeri 1 Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Jawa tengah itu tidak saja ditelpon Presiden SBY, tapi juga dicium Bibit Waluyo, Gubernur Jateng. Telpon dan cium itu didapatkan Triyan, sapaan akrabnya, lantaran ia memeroleh nilai Ujian Nasional (UN) tertinggi tingkat nasional. Nilai yang dicapai dari empat mata pelajaran hampir sempurna yakni 39,8 atau dengan nilai rata-rata 9,95.

Apa rahasianya, hingga Triyan mampu mendapatkan nilai hampir sempurna?
Ini yang tidak banyak diungkap, salah satunya adalah karena ia rajin membaca. Membaca apa saja. Kebetulan rumah orangtuanya, menjadi tempat perpustakaan umum kelurahan (TBM, Taman Bacaan Masyarakat). Tidak kurang 5.000 eksemplar buku dan majalah terdapat di TBM tersebut. Di sinilah Triyan banyak menghabiskan waktu menurutkan kegemarannya membaca. Dan kebiasaan membaca tersebut membuat Triyan merasa lebih mudah saat memelajari/belajar sesuatu. Apapun itu. Termasuk matapelajaran sekolah. Buat penyuka novel Laskar Pelangi ini, membaca sama dengan belajar.

Tulisan ini tidak hendak memperpanjang sebab musabab kesuksesan Triyan, alih-alih berbicara tentang (kontroversi) UN. Saya lebih tertarik untuk melihat segi lain dari kisah sukses Triyan ini, yaitu keberadaan TBM, dihubungan dengan capaian prestasi akademik siswa—Triyan sebagai representasinya.

Mendukung pendidikan
TBM merupakan salah satu program aksi peningkatan dan pengembangan budaya baca. Program ini digagas sebagai bentuk sikap afirmatif pemerintah Indonesia terhadap Prakarsa Keaksaraan untuk Pemberdayaan (Literacy Initiative for Empowerment-LIFE) canangan UNESCO. Inisiatif tersebut dipahami sebagai kerangka kerja strategis global sebagai kunci mekanisme pelaksanaan untuk mencapai tujuan dan sasaran Dasawarsa Keaksaraan PBB (United Nations Literacy Decade-UNLD) pada skala internasional.

Secara khusus TBM dimasudkan pula untuk mendukung program pendidikan keaksaraan sehingga para aksarawan baru tidak menjadi buta aksara kembali akibat ketiadaan sarana pendukung untuk mempertahankan kemampuan membaca. Dengan deskripsi yang berbeda, TBM merupakan sarana pembelajaran dan hiburan masyarakat. Serta sarana untuk memperoleh informasi. Harapannya pada masyarakat masyarakat akan tumbuh minat, kecintaan, serta kegemaran membaca dan belajar, sehingga dapat memperkaya pengetahuan, wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan, pemahaman norma dan aturan, sekaligus juga dalam hal pemberdayaan masyarakat. (Dikmas, 2009).

Sampai dengan akhir tahun 2007, jumlah TBM di Jawa Tengah tak kurang ada 281. Cukup tinggi mengingat di tahun 2003-2005 masih sekitar 139 TBM. Peningkatan jumlah tersebut erat kaitannya dengan program pengentasan buta huruf yang digeber pemerintah propinsi. Dan ini wajar, karena angka buta huruf di Jawa Tengah masih terbilang tinggi.

Sampai dengan akhir tahun 2008, jumlah penduduk buta aksara yang berusia 15 tahun ke atas 1.872.694 orang (laki-laki 674.170 orang, perempuan 1.198.524 orang). Jumlah total itu sekitar 7,80 persen dari total angka buta huruf nasional yang berjumlah 10,162,410 orang. Jumlah penduduk buta huruf tersebut, jika dilihat dari angka absolutnya—dibandingkan dengan 32 propinsi lainnya—Jawa Tengah menduduki peringkat kedua, setelah Jawa Timur. Padahal berdasarkan riset literasi yang pernah dilakukan UNESCO ada pertalian yang erat antara kebutahurufan dengan tingginya tingkat kemiskinan. Itu sebab barangkali angka kemiskinan di Jawa Tengah tidak kunjung menipis.

Nah, berdasarkan beberan perangkaan tersebut, fokus kegiatan TBM memang belum bisa dilepaskan dari program pengentasan buta huruf dan “merawat” yang sudah melek huruf agar tidak kembali menjadi buta huruf. Hanya saja, andai kedua fokus kegiatan tersebut 100 persen tercapai, pertanyaan besarnya adalah program apa lagi yang harus dilayankan ke masyarakat?

Pada titik itu, saya kira kisah sukses Triyan mendapati dasarnya. TBM harus pula memberikan fasilitasi pada anak-anak sekolah (siswa) baik SD, SMP, maupun SMA. Bentuk fasilitasi itu berupa penyediaan buku-buku bermutu, penuh inspirasi, memberdayakan, serta sesuai dengan tingkat kebutuhan (preferensi) para siswa. Ini penting, karena hanya pada siswa yang gemar membaca sajalah, matapelajaran rumit dapat dipahami secara lebih mudah.

Selain itu dengan banyak membaca akan memberikan pula beragam perspektif kepada siswa. Mereka akan mengenakan banyak ”kacamata” saat memandang satu situasi. Dan yang tak kalah penting, melalui aktivitas membaca mereka akan dihadapkan pada satu dunia yang penuh dengan kemungkinan, harapan, kesempatan, dan cita-cita. (Yurnaldi, 2002).

Perluasan kelompok sasaran TBM ini sekaligus bisa melengkapi, untuk tidak menyebut menutupi, kebolongan sistem yang terjadi di pendidikan (sekolah) kita. Kebolongan itu berupa kondisi perpustakaan sekolah yang “hidup segan mati tak mau.” Adanya tidak menggenapkan. Ketiadaannya tidak mengganjilkan. Serta sonder sistem yang terukur menyangkut perkembangan bacaan para siswa.

Taruh kata, TBM benar-benar bisa mengambil peran yang ditinggalkan oleh sekolah tersebut, dugaan kuat saya, kisah sukses Triyan tidak lagi menjadi sukses personal, tapi bergeser menjadi sukses komunal, bahkan sangat mungkin berubah menjadi sukses kolosal.♦

Komunitas Literasi 3.0

Written By Agus M. Irkham on 31 Jul 2010 | 15:58


: agus m. irkham


Membaca buku, semula bersifat personal, kini komunal. Para penggila buku berhimpun dalam sebuah komunitas, kelompok, paguyuban, atau apapunlah namanya. Mereka saling berbagi pengalaman membaca, bertukar informasi perihal buku baru, dan lain sebagainya. Kelompok ini biasa disapa dengan sebutan komunitas literasi. Kata komunitas untuk menunjukkan himpunan orang-orang yang disatukan oleh kesamaan hobi dan nilai (value). Sedangkan literasi merujuk pada makna baca tulis (buku).

Komunitas literasi ini lahir, tumbuh, dan berkembang tidak di lingkungan yang vakum. Siklus dan gaya gerakan mereka senantiasa bertalian dengan aktivitas dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Itu sebab, komunitas literasi mengalami perubahan bentuk dan gaya pula. Akibat dari upaya mengakomodasi, dan imitasi terhadap perubahan itu.

Dalam hitungan saya, komunitas literasi telah mengalami tiga kali gelombang pergeseran, jika tidak mau disebut sebagai perubahan. Boleh juga disebut sebagai tiga generasi. Generasi pertama, komunitas literasi yang semata-mata berbasis pada perpustakaan. Kegiatannya melulu meminjam, membaca buku, mengembalikan. Sudah itu saja. Inilah kegiatan paling minimal yang dapat dihelat oleh komunitas literasi generasi pertama (1.0). Karena aktivitasnya bersifat sangat teknis, birokratis, dan formal, menyebabkan sifat keanggotannya memiliki angka turn over (keluar-masuk) tinggi. Aktivisnya selalu gonta-ganti. Keberadaannya sering kali on off. Masih sangat tergantung pada satu ketokohan. Yang biasanya selain menjadi ujung tombak, juga menjadi ujung tombok.

Komunitas literasi generasi pertama ini masih bisa dijumpai, terutama di desa-desa. Masih terjadi demikian karena memang akibat dari terbatasnya sumber daya, fasilitas, askes informasi, jaringan, dan sarana-prasarana. Komunitas literasi masih sama dengan perpustakaan. Kalau mau kita perluas makna komunitas literasi generasi pertama ini, khususnya dari segi model kegiatannya, maka perpustakaan pemerintah, baik yang berada di kecamatan, kabupaten dan provinsi, jika operasi perpustakaan hanya mendasarkan pada pinjam, baca, mengembalikan, maka perpustakaan yang demikian masih masuk ke dalam kelompok komunitas literasi generasi pertama. Semua aktivitas berjalan dengan sistem temu langsung atau tatap muka.

Itu komunitas literasi generasi pertama. Bagaimana yang kedua (2.0)?

Komunitas literasi generasi kedua, adalah komunitas baca tulis yang telah memperluas kegiatannya/varian layanannya tidak semata-mata pinjam buku, baca, dan mengembalikan. Ada banyak acara yang digelar untuk menambah efektifitas gerakan pemasyarakatan minat baca. Mulai dari peluncuran dan bedah buku, jumpa penulis, workshop kepenulisan, lomba membacakan buku cerita (read aloud), dan lain sebagainya. Pendek kata, komunitas literasi 2.0 ini telah menyadari betul, buku, meskipun sebagai produk budaya bersifat sangat superior (unggul), sekaligus mulia, tapi jika tidak dipasarkan, atau dipasarkan tapi dengan cara-cara yang kuno (tradisional/lama/inferior) maka tidak ada atau hanya sedikit saja orang yang mau “beli”.

Varian layanan itu didasarkan pada satu kausa mendasar. Yaitu adanya kesadaran: isi (content-buku) itu penting, tapi belum cukup. Agar menarik konsumen (pengunjung), dan mereka mau membeli (membaca), maka isi tersebut harus dikemas secara menarik (context). Jadi (aktivitas membaca)buku tidak ”dijual” tapi ”dipasarkan.” Maka buku itu harus dipasarkan dengan beragama kegiatan yang mengarah pada mobilisasi massa, populer, dan nyatai tanpa harus kehilangan substansi.

Sekarang ini di Indonesia, komunitas literasi yang demikian (generasi kedua ini) telah menjadi kecenderungan umum. Seperti yang bisa kita baca di katalog program World Book Day 2010 Indonesia. Di katalog bertajuk “Kepergok Membaca” yang dikeluarkan oleh Forum Indonesia Membaca tersebut memuat kurang lebih 50 komunitas literasi. Mereka berasal dari beragam daerah: Jakarta, Wonosobo, Muntilan, Serang, Surabaya, Solo, Bandung, Sumedang, hingga Manado.

Ada banyak bentuk dan strategi memarketingkan budaya baca. Tapi dari sekian banyak siasat itu, mayoritas masih bertemu pada satu lokus yaitu menjadikan buku sebagai pijakan awal gerakan, untuk kemudian dikemas dengan beragam program kreatif. Di dalam komunitas literasi generasi kedua ini, dari segi modus kontak para eksponennya agak sedikit berbeda dengan komunitas literasi generasi pertama. Selain dengan tatap muka (offline), mereka juga melengkapinya dengan model komunikasi maya (online).

Terakhir, komunitas literasi generasi ketiga (3.0). Komunitas ini memaknai entry literasi tidak terbatas pada “baca tulis” apalagi “buku” belaka. Lebih luas dari itu. Literasi mereka artikan sebagai kemampuan yang diperlukan oleh seorang atau sebuah komunitas untuk ambil bagian dalam semua kegiatan yang berkaitan dengan teks dan wacana. Dengan deskripsi yang berbeda: Literasi tidak semata-mata mencakup persoalan membaca dan menulis (performative), namun bergandengan pula dengan aspek lain, seperti ekonomi, politik, hukum, teknologi (fuctional), serta pendidikan, sejarah, dan gaya hidup (informational-epistic).

Maka ciri paling kentara dari komunitas literasi generasi ketiga ini adalah dijadikan ikon budaya pop (musik, nonton, jalan-jalan, bermian, film, fotografi, internet, game online, animasi, ngobrol) sebagai titik pijak gerakan. Semuanya bisa digerakkan secara online. Artinya sesama eksponennya tidak harus atau wajib bertatap muka langsung. Dan nampaknya ke depan, komunitas literasi generasi ketiga inilah yang bakal mendominasi. Baik dari segi kelahirannya (munculnya komunitas baru), magnet perhatian publik, maupun publikasi aktivitasnya.♦

Membangun Budaya Baca


: agus m. irkham

Budaya baca. Frase itu sering kita dengar dan baca saat kita berbicara atau mendaras tulisan bertema “membaca.” Ada satu istilah lagi yang tak kalah sering kita dengar/baca, yaitu “minat baca”. Kedua frase itu memiliki intensitas makna yang berbeda. Lantas di mana letak perbedaannya?

Sejauh bacaan saya tentang keberaksaraan, minat baca maknanya lebih bersifat datar, sekadar menggambarkan tingkat ketertarikan seseorang (bangsa) terhadap teks, tidak harus buku. Yang penting teks, medianya bisa macam-macam: buku, koran, majalah, dan lain sebagainya.

Sedangkan budaya baca, adalah suatu kondisi dimana aktivitas membaca sudah/belum menjadi bagian yang lekat dan mengikat kehidupan sehari-hari seseorang. Pendek kata, untuk seseorang yang sudah memiliki budaya baca tinggi, buatnya tiada hari tanpa membaca! Dan rujukan teks yang dibaca biasanya buku.

Mengacu pada judul artikel ini ”Membangun Budaya Baca”. Jika “budaya baca” kita sepakati sebagai satu lema (entry), maka ada dua lema dalam tajuk tersebut: “membangun”, dan “budaya Baca”. Tentu saja, meskipun tanpa ada kata “tinggi” yang mengikuti lema budaya baca, saya yakin 100 persen, pembaca mengerti arah dari frase itu, yaitu ”Budaya Baca (yang) Tinggi.”

Lantas timbul tanda tanya lagi, apa ukuran suatu masyarakat/bangsa dikatakan memiliki budaya baca yang tinggi? Siapa (institusi) yang paling berhak (kompeten) mengukur tingkat minat suatu bangsa? Bagaimana cara mengukurnya?

Artikel ini ditulis bukan untuk tujuan menjelaskan secara khusus ukuran-ukuran yang biasa dipakai untuk mengategorikan level budaya baca seseorang/masyarakat. Atau perdebatan yang terjadi mengenai acuan-acuan tersebut. Meski demikian, ada satu ukuran yang, jika belum diterima sepenuhnya, paling tidak telah dijadikan ukuran tingkat budaya baca di mayoritas negara. Yaitu jumlah judul buku baru yang diterbitkan per tahun per satu juta penduduk.

Berdasarkan data terkini, dengan penduduk 225 juta setiap tahun, Indonesia baru bisa menghasilkan 8.000 judul buku. Artinya di Indonesia, 35 judul buku baru per satu juta penduduk. Dari angka itu, kita tidak bisa mengelak, budaya baca bangsa Indonesia masing rendah. Karena tergolong di rerata negara berkembang, ukuran paling minimal (sedang) adalah 55 judul buku baru per satu juta penduduk.

Bertalian dengan lema pertama judul artikel ini: “membangun” maka, menurut saya, ada dua pihak penting yang memiliki peran dan keharusan membangun budaya baca (buku). Pertama Pemerintah. Baik yang berada di daerah (kabupaten/kota dan propinsi), maupun pusat. Wujud peranannya berupa aturan atau regulasi (undang-undang, kepres, perda, dan lain-lain yang sejenis dengan itu).

Karena saya (kita?) bukan pemerintah, juga tidak (sedang) mewakili pemerintah, maka pembicaraan tentang peran pemerintah saya cukupkan sampai di sini. Kita beralih ke pihak yang memiliki peran penting membangun budaya baca berikutnya yaitu masyarakat. Untuk memudahkan membaca peta partisipasi, masyarakat ini saya pecah menjadi beberapa bagian, yaitu penerbit, penulis, distributor, toko buku, pers (jurnalis), dan individu. Karena sebagian besar dari kita—adalah individu, yang bukan penerbit, distributor buku, dan jurnalis maka saya lebih tertarik untuk meneruskan artikel ini dengan pertanyaan: peran apa yang bisa kita (sebagai individu maupun kelompok individu) mainkan untuk membangun budaya baca?

Beberapa waktu lalu, Mendiknas M. Nuh mengatakan bahwa minat baca masyarakat kita di sementara golongan tinggi. Hanya saja tingginya kesadaran membaca itu tidak ditransfer ke golongan masyarakat lain yang minat bacanya masih rendah. Kalaupun ada jumlahnya masih sangat kecil/minimal, sehingga hasilnya tidak siknifikan.

Terlepas dari sangkaan Pak Menteri yang menurut saya sangat layak untuk diperdebatkan, taruhlah kita yang rajin membaca koran ini adalah golongan yang dikatakan pak Nuh sebagai golongan yang berminat baca tinggi, maka sudah selayaknyalah kita membagi kesadaran pentingnya aktivitas membaca itu kepada khalayak yang lebih luas. Caranya? Salah satunya adalah dengan berjejaring membentuk komunitas.

Tentang komunitas ini, pertengahan April lalu, secara khusus saya diminta menyunting teks katalog program World Book Day Indonesia 2010 yang dirayakan di Pasar Festival dan Museum Mandiri, Jakarta. Katalog tersebut selain berisi rangkaian acara, terutama adalah memuat profil beragam komunitas literasi. Ada sekitar 50 (lima puluh) komunitas literasi tersurat di katalog tersebut.

Secara sederhana komunitas dapat diartikan sebagai kumpulan atau himpunan sekelompok orang yang peduli satu sama lain lebih dari yang semestinya. Biasanya mereka dipersatukan oleh kesamaan kepentingan, hobi, dan nilai. Sedangkan literasi secara mudah bisa kita maknai sebagai tingkat kemampuan (minat) seseorang berelasi dengan dunia teks (buku).

Di katalog tersebut, ada komunitas yang aktivitas keaksaraannya masih terbatas pada kemampuan teknis mengenal huruf, ada yang sudah mulai meningkat ke fungsional (membaca buku berkaitan dengan aktivitas/pekerjaan), ada pula yang sudah tiba pada kemampuan tertinggi, membaca sebagai aktivitas wajib dalam setiap jelujur waktu hidup sehari-hari (sudah menjadi budaya/gaya hidup).

Unik, khas, dan beda. Simpulan itu yang saya dapatkan saat menekuni lembar demi lembar profil komunitas (jejaring) literasi yang terhimpun di katalog tersebut. Ada banyak komunitas yang strategi gerakannya melalui “jalan melingkar”. Untuk sampai pada aktivitas membaca sebagai bagian dari hidup (budaya baca) mereka menjadikan hobi dan kesenangan—dua penanda utama budaya pop—sebagai pintu masuknya.

Sekadar menyebut contoh, ada komunitas nonton film (Indo-Startrek), komunitas penggemar foto 3 dimensi (Stereofoto-ID), komunitas role play (rp) game online berbasis tek (IndoHogwarts), komunitas ngobrol berbahasa Inggris (BritZone English Club), dan komunitas FOSCA (Forum of Scientist Teenagers).

Simpul akhir saya, tingginya budaya menonton dan bicara, sudah tidak relevan lagi dipakai sebagai biang kerok rendahnya minat baca buku. Mengingat keduanya bisa “ditindih” untuk membangun budaya baca. Kuncinya hanya satu: berjejaringlah!

TBM @ Mall


: agus m. irkham

Akhir Mei lalu, di Balai Belajar Bersama City of Tomorrow (CiTo) Surabaya untuk kali kedua, Mendiknas Mohammad Nuh meresmikan Taman Bacaan di Mal (TBM@Mall, baca TBM at Mall). Sebelumnya TBM@Mall dibuka di Jakarta, Serang, dan Makassar. Pembukaan TBM di mal ini bertujuan mendorong minat baca pengunjung mal, yang mayoritas remaja. Asal tahu saja, skor minat baca remaja Indonesia saat ini adalah 393 atau di bawah rata-rata negara-negara anggota OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development), yakni 492. Padahal skor Korea mencapai 556 dan Hong Kong-China 536.

Dengan kehadiran TBM@Mall diharapkan akan memperluas minat baca masyarakat. Sehingga mereka bukan hanya datang ke mal untuk belanja atau mencari hiburan, melainkan mencari ilmu, informasi, serta mengembangkan karakter serta jiwa wirausaha melalui beragam bacaan.

Karena sasaran utamanya adalah remaja, diharapkan TBM@Mall tidak melulu menyiadakan buku bacaan, tapi juga berderet varian layanan lainnya, misalnya (bisa nonton) film, berselancar di dunia maya (internet), pelatihan, dan cafe. Dengan begitu paling tidak TBM bisa menjadi alternatif tempat anak-anak muda nongkrong.

Program ini menjadi bagian dari target Kemdiknas di tahun 2010, yaitu membuka 561 TBM, yang terdiri atas 23 TBM@Mall, dua TBM di rumah sakit, 36 TBM di Balai Belajar Bersama (TBM di ruang publik yang bukan di mal), 50 TBM untuk daerah terpencil guna mengantisipasi putus sekolah (peningkatan minat baca), dan 450 TBM keaksaraan (rumah singgah dan panti-panti sosial).

Ketika awal prakarsa TBM@mall disosialisasikan ke publik, muncul banyak keberatan. Di antaranya menganggap program ini tidak pro rakyat kecil. Daripada digunakan membuat dan membiayai TBM di mal bukankah lebih baik digunakan untuk membuka TBM di pasar tradisional, di pesantren, di masjid, dan lain-lain tempat yang lebih mewakili kebutuhan mayoritas khalayak. Begitu dalih pihak yang kontra.

Dalih terebut tidak salah, meskipun tidak seluruhnya benar. Karena Kemdiknas secara simultan juga membuka TBM di luar mal. Bahkan dari segi jumlah, jauh di atas TBM yang didirikan di mal. Tak terkecuali pula dari segi anggaran. Untuk program TBM@Mall, dalam setahun pemerintah hanya menyediakan uang sebesar Rp70.000.000 per TBM. Tentu dalam hitung-hitungan matematika ekonomi manapun uang segitu tidak akan cukup. Untuk sewa tempat, rekening listrik, dan kebersihan saja besar kemungkinan kurang. Dan memang pada akhirnya demi kesuksesan program ini, pengelola menggandeng pihak swasta dan pemerintah daerah (propinsi).

Makna filosofis
Ada beberapa alasan filosofis yang patut dipahami mengapa TBM@Mall ini diluncurkan. Pertama, mal sekarang ini telah menjadi tempat tetirah banyak orang. Tidak saja bagi mereka yang termasuk ke dalam kelas menengah (secara ekonomi dan pendidikan), tapi juga kelas rendah. Tidak pula memandang asal daerah (desa-kota), gender (laki-perempuan), usia (anak-muda-tua). Semua lumer dalam kesibukan aktivitas di mal. Merayakan kegembiraan di mal adalah hak setiap warga negara. Begitu kira-kira kalimat mudahnya.

Nah, dengan adanya TBM di mal, diharapkan ada internalisasi kesadaran yang kurang lebih sama. Yaitu membaca (buku) adalah hak setiap warga negara. Tidak peduli kaya miskin, muda tua, semua berhak mendapatkan kemudahan akses bacaan. Tiap warga negara memiliki kesempatan membaca dan memaknai apa yang baca itu. Dan yang diharapkan dari pemaknaan itu akan meningkatkan pula pemahaman terhadap situasi kehidupan, sekaligus meningkatkan kualitas hidupnya. Baik secara sosial maupun ekonomi.

Kedua, mal identik dengan aktivitas membeli (konsumsi), terutama barang guna memenuhi kebutuhan fisik. Dan aktivitas tersebut dilakukan dengan segenap rasa suka cita. Secara tidak langsung, mal juga menjadi ukuran identifikasi golongan menengah (mapan). Dengan kata lain, saat seseorang pulang dari mal, citra diri dan gengsi diri meningkat. Tingkat penghargaan terhadap diri menaik.

Dari titik itu, pintu makna filosofis yang kedua, kehadiran TBM di mal bisa dimasuki. Kehadiran aktivitas membaca (buku) di mal sama penting dan menggembirakannya dengan belanja di mal. Kesejajaran posisi itu yang hendak disasar. Membaca buku ada adalah aktivitas yang bergengsi. Membaca buku tidak identik dengan kacamata tebal, kuper, tidak gaul, terasing, dan membosankan. Yang kemudian berlangsung adalah 2 in 1 (two in one). Dua jenis belanjaan dapat dilakukan dalam satu tempat. Belanja barang untuk pemenuhan kebutuhan fisik, dan belanja (membaca) buku untuk pemenuhan kebutuhan otak dan hati. Dan keduanya tidak lagi ditempatkan dalam posisi saling menegasi. Tapi saling melengkapi. Simbiosis mutualisme.

Semarang
Secara khusus, Semarang (representasi dari Jawa Tengah) sebenarnya telah ”dipesan” oleh Mendiknas untuk dibuka pula TBM@Mall. Amanah itu dalam beberapa kesempatan telah saya konsultasikan dengan beberapa pihak terkait. Menyangkut siapa yang dipandang mampu menjadi pengelolanya. Baik satu lembaga tertentu maupun konsorsium. Dari segi tempat, saya juga sudah sempat survei, dan DP Mall menjadi tempat yang saya andalkan. Karena berada di lokasi yang sangat setrategis. Terletak di bilangan perkantoran pemerintah, bisnis serta lembaga pendidikan.

Hanya saja, karena kendala (terutama) komunikasi, serta ketiadaan lembaga pengelola yang memenuhi syarat (legal, kapabel, dan kredibel), amanah itu harus saya kembalikan lagi ke Pak Menteri. Sayang sekali memang.

Lima Reposisi Komunitas Literasi

Written By Agus M. Irkham on 7 Feb 2010 | 01:10



: agus m. irkham


”Yang utama sebenarnya bukan membaca,” terang Jaya Suprana dalam esai berjudul Buku: Sebuah Kontemplasi (2007). ”Melainkan mengerti makna sebuah buku kemudian didayagunakan untuk satu langkah karsa dan karya nyata produktif dan konstruktif,” lanjut Jaya.

Jadi, dalam pandangan pakar kelirumologi itu letak persoalan minat baca, bukan pada tinggi rendahnya, namun sejauh mana (isi) suatu bacaan bisa mempengaruhi hidup pembacanya. Membantu proses perbaikan kualitas hidup—terutama ekonomi—pendarasnya.

Lima Pergeseran
Ikhtisar itu pula yang menjadi entri pertama perubahan posisi komunitas literasi—relasinya dengan gerakan keberaksaraan. Buku bukan menjadi tujuan akhir. Tapi sekadar alat, atau tujuan antara. Maka yang dikejar bukan jumlah koleksi buku yang dimiliki, banyaknya eksponen yang bergabung, atau bilangan peminjam yang berjebah, tapi sejauh mana buku yang tersedia dekat dengan aktivitas keseharian pemustaka. Reposisi ini melahirkan satu gerakan: keberaksaraan fungsional. Pengetahuan tentang sesuatu (declarative knowledge) tidak lagi cukup, masyarakat harus memiliki pula pengetahuan melakukan sesuatu (procedural knowledge). Bergema (Bersama Geliat Masyarakat) di Wonosobo, dan Tobucil (Toko Buku Kecil) di Bandung dapat saja ajukan sebagai representasi penanda (ikon) reposisi itu.

Input kedua perubahan posisi komunitas literasi adalah menyangkut label atau nama yang digunakan. Tidak lagi terbatas pada penggunaan kata ”taman baca” dan ”perpustakaan” tapi sudah sangat variatif. Sekadar menyebut contoh: Rumah Pelangi, Taman Pintar, Jala Pustaka, Mentari Pagi, Rumah Cahaya, Teras Puitika, Cahaya Lentera, Kandangpati, Lentera Kalbu, Rumah Belajar, Istana Rumbia, Rumah Dunia, dan Gandok Sari Lempeni.

Keragaman itu didasarkan pada dua kausa mendasar. Yaitu pertama, adanya kesadaran: isi (content-buku) itu penting, tapi belum cukup. Agar menarik konsumen (pengunjung), dan mereka mau membeli (membaca), maka isi tersebut harus dikemas secara menarik (context). Jadi (aktivitas membaca) buku tidak ”dijual” tapi ”dipasarkan.” Kausa kedua, didasarkan pada sejarah—lebih bersifat sosio-antropologis—dan potensi yang dimiliki tiap tempat (kearifan lokal). Dengan begitu komunitas literasi yang berada di daerah bukan menjadi kepanjangan tangan dominasi ”Konsepsi Jakarta” ihwal bentuk, isi, dan strategi gerakan literasi di tingkat lokal.

Lema ketiga, reposisi gerakan komunitas literasi adalah terletak pada bentuknya yang tidak harus dimulai dengan membuat perpustakaan. Komunitas Historia Indonesia, Stereo Foto Id, Komunitas open source Athenaeum Light, dan FOSCA (Forum of Scientist Teenagers) adalah beberapa contoh komunitas literasi yang tidak menjadikan buku (perpustakaan) sebagai ayunan langkah pertama saat masuk ke gerakan keberaksaraan. Memang pada akhirnya mereka akan tiba juga pada (membaca) buku. Tapi melalui jalan yang melingkar-lingkar. Dan jalan itu semula terkesan tidak ada sangkut pautnya dengan buku.

Tilikan keempat, reposisi komunitas literasi mencakup luasan wadah. Yaitu dua dunia: online dan offline. Ada komunitas yang wadahnya hanya online (pasarbuku, penulislepas, pasarnaskah). Ada juga yang hanya offline (ini berlaku pada sebagian besar komunitas literasi). Ada pula yang gabungan dari keduanya (1001buku, Indonesiabuku, forumlingkarpena). Biasanya sarana yang dipakai untuk berinteraksi, komunikasi dan berrelasi berupa kelompok milis (mailinglist groups).

Masukan kelima reposisi komunitas literasi berupa penindihan terhadap ikon budaya pop. Kalau kita mau sederhanakan, aktivitas paling menonjol dan populer saat ini yang merupakan penanda atau ikon budaya pop adalah: menonton (film), nge-game (online), ngobrol, bermain, kecenderungan menghabiskan waktu libur/luang dengan jalan-jalan (traveling), (menonton dan bermain) musik, animasi, dan kuliner.

Penanda aktivitas populer itu dalam pandangan para eksponen komunitas literasi bukan menjadi sesuatu yang harus dicaci dan dijauhi. Sebaliknya, harus didekati, kalau perlu “dikawini”. Ada banyak komunitas literasi yang aktivitasnya merupakan bentuk kawin campuran itu. Kawin campuran antara buku sebagai situs budaya “tradisional” yang identik dengan keseriusan dan kedalaman dengan budaya pop yang sering dilekati dengan sifat kedangkalan dan remeh temeh. Manis, melayani, selintas, puas!—meminjam istilah yang disangkakan oleh Garin Nugroho.

Jejak telah terjadinya ”kawin campuran” dapat kita candra melalui munculnya Komunitas Jelajah Budaya, IndoHarryPotter, IndoHogwart, Britzone Speaking Club, Komunitas Yo-Yo Indonesia, Komunitas Indo Star Trek, dan Komunitas Layang-Layang Indonesia.

Perspektif Literasi
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan terjadinya pergeseran posisi tersebut?

Pergeseran posisi itu disebabkan, paling kurang, oleh dua faktor. Pertama perubahan situasi dan kondisi lingkungan. Baik yang menyangkut orang (persona) maupun teknologi (informasi). Jadi kelima ”posisi baru” baru di atas dapat dibaca sebagai bentuk penyesuaian diri (akomodasi, adopsi, imitasi) komunitas literasi atas perubahan kurun.

Yang kedua, pergeseran posisi komunitas literasi didorong oleh munculnya kesadaran atas pemaknaan entri ”literasi” itu sendiri. Literasi tidak lagi dimaknai sebagai ”kemelek-hurufan” semata tapi meluas menjadi ”keberaksaraan”.

”Literasi mencakup semua kemampuan yang diperlukan oleh seorang atau sebuah komunitas,” ungkap Peter Freebody dan Allan Luke dalam The Literacy Lexicon (2003). ”Untuk ambil bagian dalam semua kegiatan yang berkaitan dengan teks dan wacana (diskursus).

Berdasarkan pengertian itu, menjadi orang yang literate berarti menjadi orang yang mampu berpartisipasi secara aktif dan mandiri dalam komunikasi tekstual, termasuk dalam komunikasi menggunakan media cetak, visual, analog, dan juga media digital.

Dengan deskripsi yang berbeda: Literasi tidak semata-mata mencakup persoalan membaca dan menulis (performative), namun bergandengan pula dengan aspek lain, seperti ekonomi, politik, hukum, teknologi (fuctional), serta pendidikan, sejarah, dan gaya hidup (informational-epistic).♦

Catatan:
Ada beberapa bagian dalam tulisan ini yang juga terdapat di tulisan saya yang lain. Itu, tak lain untuk menunjukkan bahwa yang saya ulang tersebut memang (sangat) penting.

Praktik Kurang Ajar Buku Ajar



: agus m. Irkham

Sulit diterima akal sehat. Bagaimana mungkin pihak yang mestinya bertanggung jawab memuliakan kehidupan—salah satu tujuan pendidikan—justru menjadi aktor utama pencemar kehidupan. Bagaimana mungkin, pihak yang seharusnya memastikan para peserta didik mendapatkan buku ajar yang baik dan benar, baik dari sisi jumlah, maupun isi, justru berlaku kurang ajar.

Pertanyaan-gugatan itu yang muncul saat saya (kita?) membaca berderet berita kasus korupsi buku ajar. Seperti yang dilansir Suara Merdeka (28/12/2009), di Kota Salatiga, dugaan korupsi buku ajar banyak melibatkan pejabat penting. Di antaranya Drs H Sutedjo mantan Sekda, Sri Wityowati SE mantan Kabid Perbendaharaan pada Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD), Drs Mardiono mantan Kepala BPKD, mantan Kasubbid Belanja Pembangunan Sartono SH, dan Sri Utami Djatmiko, mantan Ketua DPRD

Sebelumnya, dalam kasus dan tempat yang sama, tiga tersangka telah divonis, yakni mantan Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Drs Bakri MS Ed dan mantan Kasubdin Sarana dan Prasarana Disdik yang juga Pimpinan Proyek (Pimpro) pengadaan buku ajar Kadarisman SPd, dan mantan anggota DPRD Kota Salatiga Ahmadi.

Ahmadi bersama-sama Sri Utami Djatmiko, dan anggota DPRD lainnya, menerima gratifikasi Rp600 juta dari Murod Irawan, Kepala Divisi Pemasaran PT Balai Pustaka Wilayah Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Ahmadi mengaku menerima Rp 24 juta. Berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangungan (BPKP) Jateng tahun 2007, kerugian negara akibat korupsi proyek pengadaan buku ajar PT BP tahun 2003/2004 itu sebesar Rp7,47 miliar.

Kutukan buku ajar juga terjadi di Surakarta. Kali ini melibatkan Drs. Pradja Suminta SH MM, dan Drs Amsori SH MPd. Keduanya, mantan Kepala Dinas Pendidikan Pemkot Surakarta, telah resmi ditahan pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Surakarta (SM, 31/11/2009). Pradja selaku penanggung jawab proyek dan Amsori, pimpinan proyek, didakwa melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam proyek bantuan buku dan alat peraga pendidikan TA 2003. Kerugian negara akibat aksi keduanya, ditaksir sekitar Rp3,7 miliar. Bahkan kasusnya terus berkembang. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap pada persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Solo, Selasa (19/1), indikasi keterlibatan mantan Walikota Solo Slamet Suryanto menguat.

Di Jateng, selain Kota Salatiga dan Surakarta tulah praktik hina (korupsi) di industri mulia (buku ajar) juga terjadi di 14 kabupaten/kota lainnya. Di antaranya di Boyolali, Tegal, Wonogiri, Semarang, Magelang, Batang, dan Pati. Hanya saja, di 5 kabupaten/kota terakhir disebut, belum bisa disentuh karena terhalang oleh persoalan izin presiden yang belum juga turun.

Tidak hanya di Jateng, laknat manajemen kurang ajar buku ajar juga menghampiri DIY. Kali ini menjerat 11 orang tersangka, satu di antaranya adalah Bupati Sleman nonaktif Ibnu Subiyanto. Selain itu melibatkan pula Kepala Dinas Pendidikan M Bachrum, dan mantan Ketua DPRD Jarot Subiyantoro. Uang proyek buku ajar yang ditilep senilai Rp12,1 miliar. Pada persidangan yang berlangsung hari Rabu (13/1), Ketua Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sleman Hery Supriyono mengetuk palu mengesahkan vonis empat tahun penjara bagi Ibnu.

Memuliakan kehidupan
Apa makna di balik kenyataan yang menorehkan ketidakmengertian, sakitati sekaligus apatisme terhadap para penyelenggara praksis pendidikan itu?

Pertama, ternyata korupsi tidak mengenal tempat, waktu, wilayah sosial, posisi kekuasaan, gelar akademik, dan label-label lainnya. Karena yang pertama dan utama klausa prima seseorang berlaku korup adalah lantaran pikirannya yang sejak awal telah terkorup. Pun semakin tinggi gelar akademik (magister pendidikan misalnya, seperti yang terjadi di Surakarta) seseorang tidak menjamin semakin tinggi pula tingkat kesadaran dan keadaban penyandangnya. Pada titik ini, kasus korupsi buku ajar dapat dibaca sebagai bentuk kegagalan lembaga dan sistem pendidikan (sekolah, universitas) memenuhi tujuan esensialnya, yakni menghasilkan lulusan yang mampu memuliakan kehidupan.

Kedua, korupsi buku ajar juga dapat dimaknai sebagai asnad atau bukti centang perenangnya politik perbukuan ajar kita. Sistem yang terbangun dan dibangun justru lebih banyak dengan sengaja memunculkan konflik kepentingan. Yang kemudian muncul adalah praktik insider trading. Hasil kongkalikong antara pemerintah, anggota dewan, dan penerbit.

Kasus korupsi buku ajar hampir seluruhnya dikreasi dari praktik insider trading ini. Modusnya bisa bermacam-macam, mulai dari mark up harga buku, penggelembungan anggaran, hingga penunjukkan langsung rekanan (penerbit) tanpa melalui mekanisme tender. Buku ajar tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mulia dan akan dimanfaatkan untuk tujuan mulia oleh karena itu teknis pengadaannya pun harus melalui proses yang mulia. Buku ajar menjadi sekadar mainan bisnis belaka. Tak lebih.

Siasat baru
Sebenarnya pemerintah, melalui mendiknas, telah melakukan upaya untuk mengurai kusutnya praktik manajemen buku ajar itu. Mulai dari Peraturan Menteri (Permen) Pendidikan Nasional No 11/2005 yang melarang sekolah dan penerbit menjual buku ajar langsung kepada siswa, hingga ”penggratisan” buku ajar melalui program buku sekolah elektronik (e-book). Tapi hasilnya masih jauh dari yang diharapkan, jika tidak mau disebut gagal.

Menurut hemat saya, kusutnya manajemen buku ajar—berujung pada maraknya praktik kurang ajar (korupsi) buku ajar—tidak bisa diatasi selama para siswa (sekolah) tetap ”diwajibkan” memakai, yang pada pengertian tertentu diwajibkan membeli. Kekusutan tersebut bisa diatasi jika dan hanya jika siswa dan sekolah dibebaskan untuk (tidak) memakai buku. Baik buku teks pelajaran maupun buku umum.

Masing-masing gurulah yang berkewajiban menyiapkan kurikulum (silambus) bahan ajar tiap-tiap mata pelajaran. Siswa diberi kebebasan untuk memperkaya kurikulum tersebut. Bisa dari buku ajar, buku umum, maupun internet. Sudah barang tentu, diperlukan keberanian, kepercayaan diri, dan komitmen yang kuat untuk melakukan terobosan ini. Mengingat siasat tersebut bukan siasat yang populer.♦
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. kumpulan artikel gratis - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger